Kebijakan Belt and Road China Sebabkan Utang Besar

AFP | CNN Indonesia
Minggu, 02 Sep 2018 17:38 WIB
Negara-negara peserta kebijakan Belt and Road China dikhawatirkan tidak bisa membayar utang kepada China yang lebih besar dari kemampuan mereka.
Proyek Belt and Road China membantu pembangunan infrastruktur di negara-negara berkembang, namun banyak negara mulai khawatir akan kemampuan untuk membayar utang pembangunannya. (Ilustrasi proyek infrastruktur/CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Proyek-proyek infrastruktur perdagangan yang merupakan bagian kebijakan "Belt and Road" China menghadapi rintangan besar karena sejumlah negara mulai mengeluh akan lilitan utang ke negara itu.

Kebijakan yang juga dikenal sebagai "Jalur Sutra baru" ini pertama kali dicanangkan pada 2013 oleh Presiden Xin Jinping. Kebijakan ini meliputi pembangunan rel kereta, jalan dan pelabuhan di seluruh dunia dengan dana pinjaman Beijing bernilai miliaran dolar di sejumlah negara.

Lima tahun kemudian, Xi Jinping harus membela idenya ini setelah muncul kekhawatiran bahwa China membuat jebakan utang ke negara-negara yang kemungkinan tidak mampu membayarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini bukan klub China," ujar Xi Jinping dalam pidato memperingati lima tahun proyek ini. Dia menggambarkan Belt and Road sebagai proyek "terbuka dan inklusif".
Dalam pidato yang dikemukan minggu lalu, Xi mengatakan perdagangan China dengan negara-negara Belt and Road melebihi US$5 triliun, dan investasi langsung melebihi US$60 miliar.

Tetapi sejumlah pihak mulai mempertanyakan kepantasan biaya itu.

Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pada Agustus lalu mengatakan negaranya akan menghentikan proyek-proyek yang didukung dana dari China, termasuk jalur kereta senilai US$20 miliar.

Partai Perdana Menteri Paksitan yang baru Imran Khan bertekad untuk lebih transparan akibat muncul kekhawatiran akan kemampuan negara itu membayar kembali utang untuk proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan.

Sementara itu, pemimpin Maladewa yang diasingkan Mohamed Nasheed mengatakan kegiatan China di kepualauan Lautan Hindia serupa dengan "perebutan tanah" dan "penjajahan", karena 80 persen utang negara-negara itu berasal dari China.
Kebijakan Belt and Road China Sebabkan Utang BesarPemimpin Maladewa yang mengasingkan diri Mohamed Nasheed mengatakan kegiatan China di kepulauan Lautan Hindia serupa dengan "perebutan tanah" dan "penjajahan". (Reuters/Waheed Mohamed)
Sri Lanka telah merasakan dampak negatif utang besar ke China.

Tahun lalu, negara ini harus memberi izin penggunaan pelabuhan strategis ke Beijing selama 99 tahun karena tidak bisa membayar pinjaman bagi proyek bernilai US$1,4 miliar itu.

Mitra Ambigu

"China tidak memiliki kompetensi dalam birokrasi internasional sektor bantuan asing, yang bertujuan menyebarkan kekuatan secara halus," kata Anne Stevenson-Yang, salah satu pendiri dan direktur riset J Capital Research kepada AFP.

"Jadi tidak mengejutkan jika mereka tidak piawai dalam hal ini dan proyek itu memicu isu politik yang tidak diantisipasi, seperti yang terjadi di Malaysia," ujarnya.
"Ketika nilai RMB (yuan) melemah, dan di tingkat internasional China dipandang sebagai mitra ambigu, besar kemungkinan negara-negara itu akan lebih mengamati proyek-proyek tersebut."

Proyek besar ini menghasilkan perbaikan infrastruktur di negara-negara berkembang, sementara China mendapat pasar bagi hasil industri yang memiliki kapasitas berlebih dan juga fasilitas untuk memasok bahan mentah.

Tetapi satu studi yang dilakukan oleh Pusat Pembangunan Global, satu lembaga peneliti AS, menemukan "kekhawatiran serius" terkait keberlanjutan utang asing di delapan negara penerima dana Jalur Sutra ini.

Negara itu adalah Pakistan, Djibouti, Maladewa, Mongolia, Laos, Montenegro, Tajikistan dan Kyrgyztan.

Studi ini memaparkan bahwa biaya proyek kereta China-Laos, sebesaru US$6,7 miliar, adalah hampir setengah dari PDB negara-negara Asia Tenggara.
Di Djibouti, IMF telah memperingakan bahwa negara ini menghadapi "risiko tinggi akibat tekanan utang" karena utang negara itu naik dari 50 persen dari PDB pada 2014 menjadi 85 persen pada 2016.

Afrika sejak lama telah memanfaatkan investasi China dan membantu Beijing menjadi mitra perdagangan terbesar di benua itu dalam satu dekade terakhir.

Minggu lalu, sejumlah pemimpin Afrika berkumpul di Beijing untuk menghadiri pertemuan puncak yang membicarakan hubungan ekonomi dengan topik pembicaraan, antara lain, tentang program "Belt and Road".

Tidak Gratis

China sendiri bereaksi atas kritik-kritik tersebut.

Dalam jumpa pers harian pada Jumat (31/8) juru bicara kemenlu China, Hua Chunying, membantah tudingan bahwa Beijing membebani mitranya dengan utang besar dan mengaatakan pinjaman untuk Sri Lanka dan Pakistan adalah bagian kecil dari utang asing keseluruhan negara itu.

"Sangat tidak masuk akal memuji dana dari negara Barat sebagai langkah bagus dan apik, sementara dana dari China disebut jahat dan satu jebakan," ujarnya.

Stevenson-Yang mengatakan pinjaman China dikonversi dalam mata uang dolar, "tetapi pada kenyataannya pinjaman itu setara dengan traktor, pengapalan batu bara, jasa rekayasa dan hal-hal seperti itu. Kemudian mereka meminta bayaran dalam bentuk uang."
Kebijakan Belt and Road China Sebabkan Utang BesarPM Malaysia memutuskan untuk membatalkan sejumlah proyek Belt and Road yang dibiayai dari utang China. (How Hwee Young/Pool via Reuters)
Standard & Poor's mengatakan Beijing memperlakukan proyek-proyek infrastruktur di bawah kebijakan Belt and Road itu sebagai utang dalam bentuk konsesi jangka panjang, dimana satu perusahaan China mengoperasikan fasilitas itu dengan konsesi 20-30 tahun dan membagi keuntungannya dengan mitra lokal atau pemerintah negara setempat.

Direktur IMF Christine Lagarde mengemukakan kekhawatiran akan masalah utang ini pada April lalu dan meminta agar ada transparansi yang lebih besar.

"Ini bukan gratis, ini adalah sesuatu yang harus dibayar oleh semua pihak," ujarnya. (yns)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER