Jakarta, CNN Indonesia -- Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) pekan lalu sempat anjlok paling buruk di antara indeks di bursa saham Asia. Hal itu seiring dengan pelemahan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Bayangkan saja, khusus Rabu (5/9) kemarin, IHSG terkoreksi hampir empat persen ke level 5.683. Padahal, pada saat bersamaan indeks di bursa saham Asia lainnya hanya turun berkisar nol hingga tiga persen.
Tak heran memang, karena rupiah saat itu bergerak begitu fluktuatif dari kisaran Rp14.800 per dolar AS, nyaris menyentuh Rp15 ribu per dolar AS. Pelaku pasar pun panik, sehingga banyak melakukan aksi jual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini lebih dipengaruhi oleh sentimen global, terkait dengan kekhawatiran pelaku terhadap ekonomi
emerging market (negara berkembang) di tengah isu perang dagang," ungkap Analis Phintraco Sekuritas Rendy Wijaya kepada
CNNIndonesia.com, Senin (10/9).
Menurut Rendy, krisis ekonomi di Argentina dan Turki juga memberikan andil terhadap pelemahan rupiah dan indeks saham. Hal ini lantaran Indonesia masuk sebagai negara berkembang (
emerging market) di mata investor, sama seperti Argentina dan Turki.
Yang mengkhawatirkan, kondisi ini terjadi sebelum
The Fed menaikkan suku bunga acuan. Seperti diketahui, kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS selalu direspons negatif karena pelaku pasar asing kerap menarik dananya dari negara berkembang dan kembali ke AS untuk meraih untung lebih banyak.
"Untuk rupiah apabila ada kenaikan suku bunga acuan The Fed mungin bisa menyentuh kisaran Rp15 ribu hingga Rp15.200 per dolar AS," tutur Rendy.
Walhasil, bukan tidak mungkin IHSG kembali terjun bebas hingga ke level 5.400. Namun, pelemahannya akan bertahap di mulai ke level 5.600 terlebih dahulu dan kemudian terus turun di bawah 5.500.
Pada pagi ini, IHSG bergerak melemah hingga sempat turun satu persen dan mencapai titik terendahnya di level 5.776. Sementara rupiah di pasar spot pagi ini juga diperdagangkan melemah di level Rp14.860 per dolar AS, setelah sempat menguat dan berakhir di level Rp14.820 per dolar AS pada akhir pekan lalu.
Setali tiga uang, Kepala Riset Paramitra Alfa Sekuritas Kevin Juido menyebut kemungkinan besar The Fed menaikan suku bunga acuannya dua pekan lagi.
"Asumsinya dana asing yang keluar bisa lebih tinggi lagi," terang Kevin.
 Ilustrasi investasi asing. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Makanya, jangan kaget jika rupiah dan IHSG ke depan masih akan bergerak fluktuatif, meski IHSG di akhir pekan lalu berusaha bangkit (
rebound) menuju area 6.000.
Pada akhir pekan lalu IHSG menguat 1,3 persen ke level 5.851. Walaupun begitu, sepanjang pekan lalu IHSG jeblok 2,77 persen dibandingkan dengan pekan sebelumnya yang berada di level 6.018.
"IHSG mungkin bisa tahan di level 5.550 untuk jangka menengah atau hitungan bulanan. Pelaku pasar asing akan wait and see," jelas Kevin.
Kevin tak menampik jika data ekonomi dalam negeri tak cukup kuat menopang indeks dan pergerakan rupiah. Pasalnya, defisit neraca transaksi berjalan (
current account deficit) Indonesia pada kuartal II 2018 terus melebar hingga menyentuh tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Bank Indonesia (BI) mencatat defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 sebesar US$8 miliar. Sementara, pada kuartal I 2018 jumlah defisit transaksi berjalan hanya US$5,7 miliar atau 2,2 persen terhadap PDB.
"Kondisi itu merupakan dampak dari impor yang kemarin tumbuh signifikan, tapi kenaikan ekspor kalah dengan impor," ujar Kevin.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan sepanjang semester I 2018 tercatat defisit sebesar US$1,02 miliar. Hal ini seiring ekspor yang tercatat US$88,02 miliar dan impor yang mencapai US$89,04 miliar.
William Hartanto, Analis Panin Sekuritas bahkan memproyeksi rupiah tembus ke level Rp15.700 per dolar AS terdampak sentimen kenaikan suku bunga acuan The Fed.
"Untuk rentang IHSG jangka pendek 5.700-5.900," ucap William.
Sektor Tambang Paling MerahPekan lalu, pelaku pasar banyak menarik dananya di pasar saham yang ditempatkan di saham berbasis tambang. Tak ayal, sektor tersebut paling berdarah dari indeks lainnya yang juga melemah sepanjang pekan lalu.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan sektor tambang melemah sebesar 6,09 persen ke level 1.868,400. Diikuti dengan sektor industri dasar yang turun 5,14 persen dan properti sebesar 4,97 persen.
Padahal, sebelumnya sektor tambang cukup menguat merespons pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Maklum, mayoritas pendapatan emiten sektor tambang berbentuk dolar AS karena sebagian produksinya dieskpor. Dengan begitu, produsen batu bara akan mendulang untung lebih banyak dengan kondisi seperti ini.
 Ilustrasi batu bara. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Namun, Rendy menilai kenaikan yang sudah cukup tinggi itu dimanfaatkan pelaku pasar untuk melakukan aksi ambil untung (
profit taking) ketika pasar juga tak kondusif pekan lalu.
"Dan dengan intervensi pemerintah (terhadap rupiah), efeknya juga jadi mulai berbalik," kata Rendy.
Sementara, William menyebut pelaku pasar juga banyak melepas portofolionya di sektor perbankan dan properti.
"Karena kenaikan dolar AS akan memicu kenaikan harga produk, masyarakat akan mengurangi belanja. Aset properti akan lesu dan kredit juga akan menurun," terang Willam.
Senada, Analis Danpac Sekuritas Harry Wijaya mengaku pesimis dengan saham berbasis properti untuk waktu mendatang. Kenaikan suku bunga acuan The Fed, menurut dia, berpotensi membuat suku bunga kredit perumahan ikut naik, seiring dengan kenaikan suku bunga Bank Indonesia.
"Dolar AS naik, suku bunga Bank Indonesia akan naik, maka sektor properti paling bahaya," tutur Harry.
Kendati bursa saham anjlok dan rupiah melemah, sejumlah analis efek dan ekonomi sepakat kondisi fundamental ekonomi dalam negeri masih cukup baik untuk jangka panjang.
Salah satu data ekonomi yang terbilang masih positif, yakni pertumbuhan ekonomi kuartal II 2018 yang mencapai 5,27 persen dan akumulasi semester I 2018 sebesar 5,17 persen.
Selain itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2018 meningkat 5,14 persen dan berkontribusi sebesar 55,43 persen terhadap ekonomi Indonesia.
Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelitianingsih mengatakan tingkat konsumsi masyarakat pada kuartal III 2018 kemungkinan besar tak akan setinggi pada kuartal II 2018, karena momen bulan Ramadan dan Lebaran sudah lewat.
"Tapi ini namanya siklus ekonomi dan sudah biasa, melambat bukan berarti buruk. Tetap tumbuh tingkat konsumsinya tapi tumbuhnya menurun. Itu saja," kata Lana.
Meski menurun, ia optimistis pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada akhir tahun tetap bisa menyentuh 5,1 persen. Jadi, tegas Lana, sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari ekonomi Indonesia.
"Indonesia itu beda dengan Turki dan Argentina, Indonesia memang defisit tapi tidak sebesar kedua negara itu," ucap Lana.
Apalagi, kini pemerintah sedang fokus untuk membenahi defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan dengan mengeluarkan sejumlah jurus jitu.
Beberapa jurus yang dikeluarkan pemerintah, misalnya pembatasan impor barang konsumsi dan implementasi kebijakan pencampuran biodiesel sebesar 20 persen ke dalam Solar (B-20) nonsubsidi.
"Kemudian juga pengeluaran pemerintah pada kuartal III dan IV akan mengompensasi perlambatan konsumen masyarakat," jelas Lana.
Adapun, William berpendapat jika usaha pemerintah untuk menurunkan defisit pada neraca transaksi berjalan berhasil, maka nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan kembali stabil.
"Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator utama (yang membuat pelaku pasar berinvestasi di Indonesia). Lalu urutan kedua nilai tukar," papar William.
Kemudian, tingkat inflasi juga akan mempengaruhi penilaian pelaku pasar terhadap suatu negara. Jika mata uang melemah dan inflasi terlalu tinggi atau rendah, William menyebut negara itu tak layak investasi.
"Sekarang pelaku pasar tinggal memperhatikan hasil dari upaya pemerintah memperbaiki neraca transaksi berjalan dan membendung pelemahan rupiah," pungkas William.