ANALISIS

Mencari 'Obat Penawar' Defisit Perdagangan

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 18 Sep 2018 13:22 WIB
Defisit neraca perdagangan pada Agustus kian melebar. Totalnya sepanjang tahun ini mencapai US$4,09 miliar.
Ilustrasi ekspor impor. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia kembali dirundung defisit neraca perdagangan sebesar US$1,02 miliar secara bulanan pada Agustus 2018. Kondisi itu membuat total defisit secara kumulatif Januari-Agustus 2018 kian melebar ke US$4,09 miliar.

Dalam neraca perdagangan, defisit terjadi jika nilai ekspor lebih kecil dari impor. Pada bulan lalu, ekspor Indonesia hanya senilai US$15,82 miliar, sedangkan impor mencapai US$16,84 miliar. Begitu pula secara kumulatif, total ekspor delapan bulan pertama tahun ini sebesar US$120,1 miliar, namun impor mencapai US$124,18 miliar.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan defisit pada bulan lalu dipicu oleh impor komoditas minyak dan gas (migas) yang mencapai dua kali lipat dari ekspor migas. Impor migas mencapai US$3,04 miliar, sedangkan ekspor hanya US$1,38 miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Impor migas itu terbagi atas minyak mentah senilai US$1,04 miliar dan hasil minyak US$1,69 miliar. "Penyebab utama karena impor migas naik 14,5 persen, yang bila ditelisik itu berasal dari impor minyak mentah yang naik 67,5 persen," ujarnya, Senin (17/9).


Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus memperkirakan impor migas masih akan terus membayangi defisit neraca perdagangan Indonesia hingga akhir tahun. Hal ini lantaran produksi dalam negeri memang terbatas untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar masyarakat.

"Ini memang sudah 'kadung' defisit, karena sektor migas domestik memang masih perlu pembenahan sebagai kompensasi dari terlambatnya pengembangan sektor ini. Misalnya, target lifting masih terbilang kecil, progres kilang baru lambat, begitu pula dengan bauran energi dengan diversifikasi," ujar Ahmad kepada CNNIndonesia.com.

Ia bahkan menilai kebijakan pemerintah untuk memperluas penggunaan biodiesel 20 persen (B20), yaitu pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) ke Bahan Bakar Minyak (BBM) tak akan maksimal mengurangi impor minyak. Kebijakan ini dinilai berdampak jangka panjang.
(CNN Indonesia/Fajrian)
Selain itu, penetrasi konsumsi solar di dalam negeri terbilang kecil, yaitu hanya pada beberapa perusahaan dan proyek.

"Salah satunya juga karena yang dikonsumsi masyarakat secara luas itu masih BBM seperti premium, pertalite, pertamax, sehingga kebutuhan akan minyak mentah tetap saja akan besar," katanya.

Kebijakan B20 yang dirilis pemerintah juga dirasa kurang ampuh. Pasalnya, meski impor migas berkurang, ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oils/CPO) yang menghasilkan devisa juga berkurang.

"Ini sebenarnya tidak jadi untung, tapi hanya impas saja. Tidak impor banyak, tapi tidak dapat devisa juga," terangnya.


Menurut Ahmad, sebenarnya ada jalan lain untuk mengurangi impor minyak agar neraca perdagangan tak defisit melulu, yaitu melakukan penyesuaian kebijakan BBM subsidi. Penyesuaian dilakukan dengan menaikkan harga atau mengurangi volume BBM bersubsidi.

Namun, ia mengaku langkah ini memiliki risiko meningkatkan inflasi, menurunkan daya beli, hingga risiko suara di tahun politik bagi calon pertahana. "Untuk golongan bawah juga akan sangat berat," ungkapnya.

Jalan keluar terakhir untuk menekan defisit neraca dagang, menurut dia, adalah dengan menggenjot ekspor dan membatasi impor nonmigas, khususnya dari jenis barang konsumsi. Pada Agustus lalu, misalnya, impor susu, mentega, dan telur terbilang meningkat.

"Yang seperti barang konsumsi itu harus ditekan, apalagi sebenarnya masih mungkin diproduksi di dalam negeri kan," ujarnya.


Genjot Ekspor

Ahmad menyebut, ketimbang membatasi impor, meningkatkan ekspor sebenarnya lebih menguntungkan. Untuk itu, pemerintah perlu melihat lebih jeli komoditas apa saja yang sebenarnya bisa ditingkatkan penetrasi ekspornya.

Berdasarkan data BPS, penyumbang ekspor terbesar, yaitu komoditas bahan bakar mineral, lemak, dan minyak hewan/nabati, serta migas. Namun, karena kebutuhan lokal saja masih sulit ditutup sektor migas, maka komoditas ini tak bisa banyak diharapkan. Apalagi kenaikan ekspor migas bulan lalu, tak lepas dari tren harga minyak yang sedang melambung.

Namun, untuk komoditas bahan bakar mineral dan lemak serta minyak hewan/nabati sebenarnya masih ada peluang bagi Indonesia. "Untuk bahan bakar mineral ini misalnya batu bara, ini mungkin masih bisa terbantu tren harga, meski sebenarnya value added-nya masih kecil. Kalau mau, tentu harus kembangkan hilirisasi," jelasnya.

Sementara untuk komoditas lemak dan minyak hewan/nabati, Indonesia memang lagi-lagi masih harus bergantung pada penghasil devisa terbesar, yaitu CPO. Namun, pemerintah perlu turut membantu dunia usaha untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada di pasar sawit.

Misalnya, isu lingkungan yang sering dipermasalahkan Uni Eropa kepada Indonesia. Begitu pula dengan masalah tarif tinggi dari India. "Para atase perdagangan hingga hubungan bilateral harus lebih dimaksimalkan, agar tantangan itu tidak menghambat peningkatan ekspor CPO," tuturnya.


Sementara Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan di luar komoditas yang sudah menyumbang ekspor besar bagi Tanah Air, pemerintah, dan sektor industri memang perlu menemukan andalan baru, misalnya produk makanan dan minuman (mamin) serta farmasi.

Ia menyontohkan Kamboja kerap menyerap hasil produksi farmasi dari Indonesia. Namun, kalaupun Indonesia meningkatkan ekspornya, negara tersebut kemungkinan tak memiliki dana. Namun, hal ini bisa disiasati dengan menukar produk farmasi Indonesia dengan produk lain dari Kamboja.

"Misalnya mereka punya apa, itu bisa diambil. Kalau pun Indonesia tidak butuh produk itu, tinggal instruksikan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk ambil dan jual lagi ke negara lain," katanya.

Hal terpenting lain yang tak boleh ketinggalan dalam upaya menggenjot ekspor, yaitu pemerintah juga harus ambisius menggenggam pasar ekspor baru, misalnya negara-negara nontradisional, seperti Afrika Selatan dan Asia. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER