Jakarta, CNN Indonesia -- Pengembang
properti disinyalir sering melupakan aspek
rawan bencana ketika membangun di suatu lahan. Padahal, pemerintah menerbitkan aturan bahwa pengembang tak bisa membangun di wilayah rawan bencana.
Peneliti Geografi dan Tata Ruang Badan Informasi Geospasial (BIG) Yosef Prihanto menyebutkan beleid itu tercantum dalam aturan undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Oleh karena itu, Yosef mengatakan Pemerintah Daerah sebagai pemberi izin pembangunan harus menegakkan peraturan. Dengan demikian, pengembang tidak membangun di wilayah rawan bencana sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yosef mengatakan tidak heran apabila likuifaksi (pencairan tanah) bisa terjadi di Balaroa dan Petobo, Palu. Pasalnya perumahan berdiri di tanah yang rentan terjadi likuifaksi.
"Saya tidak heran likuifaksi di Palu karena datarannya berupa pasir dan datarannya cekung seperti mangkok berisi pasir dan air," ujar Yosef di daerah Senopati, Jakarta Selatan, Kamis (11/10).
Menurutnya, masyarakat juga harus diberi edukasi agar mengetahui aspek lingkungan suatu wilayah. Dengan begitu, ketika membeli rumah tidak hanya memikirkan harga dan lokasi, tapi juga kerawanan bencana suatu wilayah. Masyarakat diimbau mengetahui wilayah yang layak dibangun dan tidak layak dibangun.
"Tapi culture kita selalu negotiable, dalam hal tataran pelaksana, dalam level pembeli izin di daerah lalu dengan negotiable masih bisa, tapi tidak berpikir jangka panjang," tutur Yosef.
Menurutnya, pemberian izin pembangunan yang memikirkan aspek kerawanan bencana selalu bertabrakan dengan target investasi pembangunan. Jadi, Pemda atau pemangku kebijakan sering melupakan kerawanan bencana.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Informasi Geospasial (BIG) Arief Syafi'i mengatakan pemerintah seharusnya bisa memaksa para pengembang properti untuk tidak membangun di wilayah rawan bencana.
"Pemerintah bisa memaksa developer untuk membangun sesuai RTRW. Bisa pemerintah bilang jangan bangun di area ini. Kalalu di situ tidak bisa bangun perumahan yang jangan kasih. Karena tata ruang jtu sudah ada semua aspek termasuk kebencanaan," ujar Arief.
Arief mengatakan kemungkinan besar pemerintah daerah atau pengembang bisa tersangkut kasus hukum apabila RTRW tidak dijalankan. Pasalnya hal ini sudah diatur dalam sebuah beleid.
"Bisa dijadikan masalah pidana. Di tata ruang itu ada pengendalian tata ruang, salah satunya adalah apakah itu tata ruang dijalankan. Kalau tidak dijalankan nanti pemda-nya bisa mendapat masalah dan developer bisa masalah soal perizinan. Harus dibenahi bersama-sama," kata Arief.
Indonesia yang dicap sebagai pasar swalayan bencana alam seharusnya RTRW yang berbasis pada aspek daerah rawan bencana. Rekomendasi dari BIG berdasarkan pemetaan pra-bencana dan dan tanggap bencana seharusnya bisa dijadikan sebuah prioritas.
Senada dengan Yosef, Kepala Bidang Pemetaan Kebencanaan dan Perubahan Iklim BIG Ferrari Pinem mengatakan prioritas terhadap kebencanaan selalu berbentroka dengan target investasi pemda.
"Apakah kebijakan pemda mengikuti rekomendasi karena kalau soal target investasi ini berbanding terbalik dengan bencana. Sehingga kadang-kadang masalah kebijakan sehingga rekomendasi ini bisa dijadikan prioritas dalam perencanaan tata ruang wilayah," tutur Ferrari.
(jnp/lav)