Langkah BI Mitigasi 'Gelembung' Properti karena DP Nol Rupiah

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 03 Jul 2018 05:47 WIB
BI mengaku telah menyiapkan upaya mitigasi menyeluruh agar penggelembungan harga properti tidak terjadi akibat pembebasan rasio pinjaman (Loan to Value/LTV).
Pekerja membangun perumahan di Jatirunggo, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) mengaku telah menyiapkan upaya mitigasi menyeluruh agar penggelembungan harga properti (property bubble) tidak terjadi akibat pembebasan rasio pinjaman (Loan to Value/LTV).

Langkah mitigasi turut melibatkan para bank pemberi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hingga para pengembang perumahan (developer).

Filianingsih Hendarta, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial mengatakan bank sentral nasional meminta kepada bank dan developer untuk turut memantau pembelian rumah ke depan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Bila kebijakan ini mengerek permintaan dan membuat harga meningkat tajam secara cepat, maka bank dan developer perlu menahan diri untuk memenuhi permintaan rumah tersebut.

Kepada developer, ia bilang, ketika permintaan rumah meningkat terlalu tinggi dan cepat, developer jangan menaikan harga terlalu tinggi pula. Sebab, kebijakan ini bertujuan agar pemenuhan rumah bagi individu dan investasi meningkat, setelah kurang bergairah dalam tiga tahun terakhir.

"Developer juga harganya jangan dinaikan tinggi-tinggi. Semua harus berkontribusi, kalau mau bergerak semua harus kontribusi ke sektor ini agar pertumbuhan ekonomi juga tercapai," ujarnya di Kompleks BI, Senin (2/7).

Sedangkan kepada bank, BI meminta ketika permintaan KPR terlalu tinggi (overheating), bank dapat memberikan KPR dengan lebih selektif kepada nasabah. Tujuannya, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, misalnya kredit macet.


Selain melihat profil risiko nasabah, bank juga diwajibkan memberi persetujuan KPR hanya kepada developer yang memenuhi kebijakan manajemen risiko bank, antara lain kelayakan usaha dan lainnya. Khususnya, bagi developer yang akan menerima skema pembiayaan inden ketika rumah baru akan dibangun.

"Bank harus memiliki kebijakan tersendiri yang memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit," katanya.

Kemudian, BI meminta bank untuk memastikan bahwa tidak terjadi pengalihan kredit kepada debitur lain pada bank yang sama maupun bank lain minimal dalam jangka waktu satu tahun.

"Jadi misalnya ketika sudah ada perjanjian inden untuk pencairan kredit 30 persen, dengan harga rumah Rp100 juta. Lalu, dicairkan lagi kreditnya 50 persen dan seterusnya, itu kan harga rumah mulai meningkat. Jangan sampai ketika rumah belum selesai dalam waktu setahun, nasabah bisa jual ke orang lain dengan harga yang sudah lebih tinggi," jelasnya.


Kendati begitu, ia mengaku hingga saat ini tidak ada kebijakan tersendiri yang mengatur penerapan uang muka yang akan ramai-ramai ditetapkan bank. Hal ini, katanya, juga tidak disepakati secara khusus oleh BI kepada pengawas industri perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sedangkan mitigasi property bubble dari BI, ia bilang sudah cukup ketat agar risiko ini tak terjadi. Mulai dari pembebasan uang muka hanya berlaku bagi bank yang memiliki rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) net di bawah 5 persen dan NPL KPR gross di bawah 5 persen.

Lalu, pembebasan uang muka hanya berlaku pada pembelian rumah pertama. Sedangkan pembelian rumah kedua, ketiga, dan seterusnya tetap dikenakan uang muka sekitar 10-20 persen. Kemudian, pembiayaan inden ketika rumah baru dibangun hanya diperbolehkan maksimal hingga lima fasilitas kredit.

Terakhir, risiko property bubble dan pelaksanaan pelonggaran kebijakan LTV ini akan dievaluasi secara bertahap di Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan, triwulanan, hingga satu tahun ke depan.

"Kalau memang overheating, maka kami akan sesuaikan. Tapi paling tidak setahun kami akan evaluasi, melihat mana yang harus kami lakukan," tuturnya.

Bila sudah overheating dan semakin dekat dengan risiko property bubble, maka bukan tidak mungkin BI segera merubah kembali kebijakannya. Namun, ia menegaskan perubahan kebijakan itu adalah hal yang wajar di sisi makroprudensial.

"Kalau ini booming, kebijakan itu akan kami perketat. Tapi ketika belum terlalu tinggi seperti saat ini, itu kami longgarkan," tekannya.

Property Bubble Masih Jauh

Kendati telah menyiapkan serangkaian mitigasi, namun ia bilang sejatinya risiko property bubble masih jauh dari Indonesia.

Pertama, siklus pembiayaan KPR masih berada dalam fase akselerasi dan belum mencapai puncak. Hal ini terjadi karena sejak 2012, bank sentral nasional mulai mengerem pertumbuhan rumah yang jor-joran.

Pada 2012, BI mengenalkan kebijakan LTV yang mengatur rasio pinjaman kredit bank untuk sektor perumahan. Kebijakan ini memberlakukan batasan uang muka terhadap penjualan rumah.


"Saat LTV jilid 1 diterapkan, pertumbuhan KPR yang semula tinggi, mulai turun. Lalu, pada 2013 diterapkan LTV jilid 2, pertumbuhan KPR masih memuncak, tapi berhasil turun juga," katanya.

Kemudian, setelah pertumbuhan kredit turun cukup drastis, barulah pada 2015 dan 2016, BI menerapkan kebijakan LTV jilid 3 dan jilid 4. Namun rupanya, pelonggaran uang muka kala itu tak cepat menumbuhkan kredit. Sebab, hingga saat ini, pertumbuhannya belum kembali ke masa-masa 2012-2013.

Data BI menunjukkan bahwa pertumbuhan total kredit belum mencapai dua kali llipat dari fase setelah LTV jilid 4 diterapkan. LTV jilid 4 diterapkan pada Agustus 2016, kala itu pertumbuhan kredit 6,83 persen. Kini, per Mei 2018 kredit baru di angka 10,26 persen.

Meski, secara KPR, sudah tumbuh hingga dua kali lipat dari 6,21 persen menjadi 12,75 persen. Namun, kredit konstruksi justru turun dari 17,24 persen menjadi 13,49 persen. Begitu pula dengan pertumbuhan real estate dari 6,21 persen menjadi 12,75 persen. "Artinya kami melihat masih ada ruang untuk pertumbuhan kredit ini, makanya kami longgarkan," imbuhnya.

Selain itu, kebijakan ini belum besar risikonya karena dari sisi NPL masih cukup terjaga. Pada Agustus 2016, BI mencatat NPL bank di angka 3,22 persen, sedangkan per Mei 2018 turun menjadi 2,79 persen.

Khususnya, pada sektor kredit real estate, pelonggaran LTV jilid 4 membuat NPL sektor ini turun tipis dari 2,22 persen menjadi 2,19 persen. Namun catatannya ada di NPL KPR yang justru bengkak dari 2,77 persen menjadi 2,87 persen dan NPL konstruksi dari 4,97 persen menjadi 6,43 persen. "Tapi ini NPL-nya masih cukup terkendali," celetuknya.

Kedua, pasokan rumah masih cukup besar terlihat dari progres pembangunan rumah dari developer yang terus meningkat. Ketiga, harga properti masih cenderung stabil. Keempat, bunga kredit bank saat ini masih cukup rendah, khususnya di sektor KPR.

Dari sisi masyarakat, property bubble tidak akan terjadi karena kemampuan bayar rumah tangga masih relatif tinggi. Hal ini tercermin dari debt service ratio rata-rata secara nasional di angka 10,46 persen. Sedangkan pangsa pasar jumlah debitur yang memiliki lebih dari satu fasilitas KPR, debt service rationya 5,17 persen. (lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER