Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat (
DPR) RI menegaskan pemerintah tetap tak boleh untuk meratifikasi tujuh perjanjian
perdagangan internasional secara sepihak. Ini lantaran DPR masih mengkaji untung rugi tujuh perjanjian tersebut.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana memang mengatakan pemerintah dapat mengambil sikap untuk menentukan ratifikasi perjanjian perdagangan jika DPR tidak mengambil keputusan dalam jangka waktu 60 hari setelah perjanjian itu disampaikan ke legislatif. Adapun, ketentuan itu tertuang di dalam pasal 84 Ayat 4 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014.
Hanya saja, sesuai aturan itu, pemerintah baru bisa menentukan ratifikasi jika usulan itu tak segera diproses DPR. Adapun, seluruh perjanjian dagang itu tengah diproses DPR, sehingga ia menilai pemerintah tak boleh lakukan ratifikasi sepihak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau sudah masuk DPR ya prosesnya tetap jalan terus. Tidak boleh itu (ratifikasi secara sendiri), sebab kami sedang proses. Kajian kami memang dilakukan secara mendalam, utamanya untuk melihat manfaat dan mudharat perjanjian itu," jelas Azam kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (8/11).
Menurutnya, kajian yang dilakukan oleh DPR cukup memakan waktu lantaran harus mendengar pendapat beberapa ahli. DPR juga kian berhati-hati memberikan persetujuan mengingat pakar menyarankan perjanjian bilateral terlebih dulu sebelum benar-benar melakukan perjanjian regional.
Selain itu, dari tujuh perjanjian dagang yang akan diratifikasi, DPR juga baru memproses enam perjanjian kerja sama.
Ia merinci, perjanjian yang tengah diproses antara lain First Protocol to Amend the AANZFTA Agreement, Agreement on Trade in Services under the ASEAN-India FTA (AITISA), Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA), Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA), ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD), dan Protocol to Implement the 9th ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS-9).
Sementara itu, perjanjian Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA (IP-PTA) masih belum dikaji karena DPR sangsi kerja sama ini bisa menguntungkan Indonesia. Dari kajian awal, DPR khawatir serbuan minyak nabati ethanol dari Pakistan malah membanjiri Indonesia setelah kerja sama ini berjalan. Padahal, suplai ethanol di dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan nasional.
"Indonesia kan potensi besar, maka penduduknya jangan menjadi ajang pasar saja. Makanya itu yang sedang kami evaluasi, kami sudah banyak bicara dengan pakar," imbuh dia.
Dengan demikian, Azam mengatakan DPR masih belum tentu setuju atas seluruh ratifikasi ini meski pemerintah sudah lebih dulu ambil langkah. Dalam waktu dekat, rencananya DPR akan memanggil Kementerian Perdagangan untuk membicarakan keputusan mengenai ratifikasi perjanjian perdagangan yang dimaksud.
"Harus kami undang, kami akan sampaikan," jelasnya.
Pemerintah berencana untuk segera meratifikasi tujuh perjanjian perdagangan internasional yang sebelumnya sudah disampaikan kepada DPR. Adapun, ketujuh ratifikasi ini akan dibawa ke meja Presiden Joko Widodo, di mana kesepakatan ratifikasinya akan dimuat ke dalam Peraturan Presiden.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan keputusan akhir mengenai ratifikasi berada di tangan Jokowi sebab DPR tak kunjung menyetujuinya.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 pasal 84 Ayat 4, pemerintah dapat memutuskan penting atau tidaknya ratifikasi perjanjian perdagangn jika DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang.
Sementara itu, ketujuh perjanjian ini sebelumnya sudah disampaikan ke DPR sejak 2015 hingga tahun ini.
"Kami akan sampaikan ke presiden, bahwa perjanjian perdagangan internasional ini sudah disampaikan dengan surat kepada DPR, sejak 2015, ada yang 2016 dan 2018 awal," papar Darmin, kemarin.
(glh/lav)