di Indonesia menjadi Rp20 juta. Gagasan disampaikan Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi
demi memoles kualitas pendidikan di tanah air.
Ia menilai gaji merupakan salah satu indikator yang berkolerasi dengan kualitas pendidikan. Bila gaji besar, katanya, bukan tidak mungkin guru terbaik dari seluruh penjuru dunia akan datang ke Indonesia untuk mengajar.
Dari situ katanya, pemerintah tinggal menyeleksi dan memilih guru-guru terbaik untuk mengajar. "Karena itu perbaikan utama, mau tidak mau gaji guru dinaikkan menjadi Rp20 juta, diseleksi dengan baik gurunya," ujar Mardani, Selasa (20/11).
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyebut ide kubu Prabowo-Sandi tidak 'terlalu asal'. Ia sependapat bila kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas guru dan para tenaga pendidik lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu pula dengan korelasi antara kualitas pendidikan dengan gaji guru sebagai indikator untuk menentukan kualitas guru. "Kalau insentif untuk guru, kecil, tentu akan susah menarik orang yang mempunyai kapasitas bagus untuk mengambil profesi ini. Begitu juga untuk mempertahankan yang sudah berprofesi sebagai guru," ucapnya kepada CNNIndonesia.com.
Artinya, ia setuju bila perlu ada pembenahan terhadap gaji guru sebagai stimulus untuk mendongrak lahirnya kualitas tenaga pendidik yang lebih mumpuni sehingga nantinya bisa berdampak pada perbaikan kualitas pendidikan Indonesia. Hanya saja menurutnya, ide untuk mengerek gaji guru menjadi Rp20 juta tak benar 100 persen.
Besaran gaji yang keluar tak boleh asal dan dipukul rata. Gaji tetap perlu dihitung dan ditetapkan secara golongan tergantung pada kinerja guru.
Besaran gaji perlu juga memperhatikan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Maklum saja, jumlah guru terbanyak di Indonesia berasal dari sekolah negeri yang gaji gurunya ditanggung uang negara. Kondisi ini berbeda dengan guru swasta yang digaji oleh sekolah atau yayasan pendiri sekolah.
 Ilustrasi guru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono). |
"Angka Rp20 juta ini perlu hati-hati, semestinya perlu mempertimbangkan kualitas APBN dan ada sistem insentif
performance based, jadi tidak dipukul rata begitu saja," katanya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai ide untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia dengan mengerek gaji guru bukanlah solusi jitu. Ide menaikkan gaji guru hanya dagangan politisi untuk menggaet suara rakyat jelang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019.
"Ini politik anggaran 'ecek-ecek' untuk gaet suara guru, nanti realisasinya tidak seperti itu. Kalaupun oposisi menang, ini akan mangkrak, sekadar dagangan politik saja," ungkapnya.
Bhima bilang persoalan kualitas pendidikan tak semata-mata bisa diselesaikan dengan memberikan guru gaji besar. Perbaikan juga harus dilakukan terhadap kurikulum, metode, hingga budaya belajar.
Saat ini, pemerintah telah mengalokasikan 20 persen dari total APBN untuk sektor pendidikan. Pada APBN 2019 misalnya, Rp492 triliun digelontorkan untuk sektor tersebut, termasuk untuk gaji guru.
Tapi nyatanya, alokasi anggaran tersebut belum memberikan dampak besar pada hasil pendidikan di dalam negeri. Ranking pendidikan dan indeks modal manusia Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga. Berdasarkan data Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat 87 dari 187 negara di dunia dalam Indeks Modal Manusia (Human Capital Index/HCI).
Indonesia hanya mendapatkan nilai 0,55 dari 1,0. Nilai ini berarti hanya sekitar 55 persen anak berusia hingga 20 tahun di Indonesia yang mendapatkan pendidikan dan kesehatan maksimal. Bila dibandingkan dengan para negara tetangga, Indonesia jauh tertinggal. Misalnya, bila dibandingkan dengan Singapura berada di peringkat 1, Malaysia peringkat 55, Vietnam ke-48, dan Thailand ke-65.
Sementara berdasarkan peringkat The Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia berada di peringkat 62 dari 72 negara. Padahal, Vietnam yang merupakan tetangga Indonesia berada di peringkat 22. Ini katanya, secara jelas membuat persoalan kualitas pendidikan tak bisa secara pintas selesai hanya dengan menambah lebih banyak anggaran, termasuk untuk gaji guru.
"Seharusnya tim oposisi belajar dulu dengan Vietnam, bagaimana anggaran pendidikannya bisa sama 20 persen dari APBN, tapi peringkatnya bisa lebih baik dari Indonesia," tuturnya.
Untuk itu, Bhima menilai permasalahan kualitas pendidikan di Indonesia seharusnya lebih fokus pada sasaran anggaran dan program yang lebih tepat. Untuk itu, kurikulum dasar, standarisasi guru dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) perlu diperbaiki. Selain itu, pendidikan juga harus menekankan banyak praktik ketimbang teori.
"Juga memasukkan topik pembelajaran yang relevan dengan perkembangan teknologi baru, seperti pelatihan
coding, data analisis, pengembangan aplikasi, dan lainnya," jelasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai ide untuk membenahi kualitas pendidikan Indonesia dari kubu oposisi sejatinya sama dengan semangat dari berbagai pihak. Hanya saja, terkait gaji guru, sebagai bendahara negara, ia ingin agar ide tersebut juga diselaraskan dengan kemampuan fiskal pemerintah.
"Kalau ada ide, ada baiknya dihitung berapa jumlah guru, berapa jumlah anggarannya, dan kebutuhan anggaran itu akan dipenuhi dari sumber mana," katanya.
Selain perlu mempertimbangkan kemampuan APBN ke depan, kenaikan gaji guru yang diharapkan juga harus sesuai dengan pemanfaatan anggaran pendidikan yang selama ini telah diberikan pemerintah, mulai dari ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, hingga daerah.