Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah dunia tergelincir pada perdagangan Kamis (22/11), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan terjadi setelah kenaikan stok
minyak mentah AS hingga level tertingginya sejak Desember 2017 lalu.
Dilansir dari
Reuters, Jumat (23/11), harga minyak mentah Brent turun US$0,96 menjadi US$62,52 per barel. Di sesi perdagangan sebelumnya, harga Brent sempat tertekan lebih dari US$1 per barel.
Sementara, harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) merosot lebih dari US$1 per barel sebelum akhirnya ditutup melemah US$0,78 menjadi US$53,85 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membengkaknya stok minyak AS menambah kekhawatiran terkait kelebihan pasokan minyak mentah global. Namun, pembicaraan OPEC terkait rencana pemangkasan pasokan membatasi tertekannya harga minyak.
Sementara, volume perdagangan relatif tipis mengingat libur perayaan Thanksgiving pada Kamis kemarin di AS.
Analis UBS Giovanni Staunovo menyatakan harga minyak juga ditopang oleh pelemahan dolar AS terhadap mata uang negara lain.
Sebagai catatan, pelemahan kurs dolar AS membuat harga minyak mentah yang diperdagangkan dengan dolar AS menjadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain. "Dukungan tambahan lainnya mungkin berasal dari turunnya ekspor Iran," imbuhnya.
Perusahaan pencatat perjalanan tanker (tanker-tracking) membukukan ekspor minyak Iran merosot beberapa ratus ribu barel per hari (bph) bulan ini. Hal ini mengindikasikan pengenaan sanksi AS yang mulai berlaku efektif pada 5 November 2018 lalu membuat banyak pembeli mundur.
Harga minyak tetap berada di bawah tekanan oleh kenaikan persediaan minyak mentah AS sebesar 4,9 juta barel menjadi 446,91 juta barel pekan lalu. Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menyatakan kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi sejak Desember 2017 lalu.
EIA juga menyatakan produksi minyak mentah AS juga tetap berada di level 11,7 juta bph. Namun, Analis PVM Broker Tamas Varga menyatakan tren pasar cenderung menurun.
"Pertanyaannya adalah apa yang akan dilakukan OPEC pada Desember mendatang, akankah mereka memangkas (produksi), dan jika demikian, seberapa banyak?" tutur Varga.
Saat ini, OPEC masih khawatir pasar bakal kebanjiran pasokan kembali. Namun, eksportir terbesar OPEC Arab Saudi berada di bawah tekanan AS yang menginginkan tidak ada pemangkasan produksi lagi yang dapat memicu kenaikan harga.
"Harga minyak menurun. Bagus! Seperti pemangkasan pajak besar-besaran untuk Amerika dan dunia. Nikmatilah! Terima kasih Arab Saudi tetapi mari lebih rendah lagi," ujar Presiden AS Donald Trump dalam cuitan akun Twitter resminya pada Rabu (21/11) lalu.
Minyak mentah AS bakal lebih banyak di pasar seiring kemacetan di pipa AS yang akan terurai pada paruh pertama 2019. Kenaikan produksi minyak AS telah melampaui kapasitas pengangkutan tambahan minyak mentah.
Di sisi lain, untuk melawan kenaikan pasokan, OPEC tengah mempertimbangkan untuk kembali memangkas produksinya dalam pertemuan 6 Desember 2018 mendatang. Namun demikian, Iran diperkirakan bakal menolak segala bentuk pemangkasan secara sukarela. Rusia, salah satu sekutu OPEC, juga belum memberikan sinyal bakal ikut serta dalam kesepakatan pemangkasan produksi.
(sfr/bir)