Jakarta, CNN Indonesia -- Pelemahan harga
minyak mentah dunia diramalkan menggiring cuan ke saku perusahaan penerbangan PT
Garuda Indonesia Tbk dan perusahaan
petrokimia PT Barito Pacific Tbk. Penyebabnya, kedua emiten ini memiliki ketergantungan yang besar terhadap komoditas minyak.
Selama ini, Garuda Indonesia dan Barito Pacific membutuhkan pasokan hasil produk minyak mentah sebagai pendukung operasional perusahaan. Kini, kantong belanja kedua emiten sementara akan lebih longgar karena harga minyak mentah yang merosot.
Garuda Indonesia misalnya, membutuhkan avtur sebagai bahan bakar untuk operasional penerbangan pesawat. Bisa dibilang, beban terbesar dompet perusahaan adalah pembelian avtur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semakin tinggi harga minyak mentah dunia, maka dana yang harus dikucurkan perusahaan juga semakin besar. Begitu juga sebaliknya, beban Garuda Indonesia akan menyusut jika harga minyak mentah dunia terkoreksi seperti sekarang.
Pada Jumat (23/11), harga minyak mentah Brent merosot 6,07 persen menjadi US$58,8 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) tergelincir hingga 7,71 persen menjadi US$50,42 per barel.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama mengatakan kinerja keuangan Garuda Indonesia berpotensi membaik ditopang oleh penurunan harga minyak mentah dunia. Seperti diketahui, keuangan maskapai penerbangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu masih rugi hingga saat ini.
"Jadi pelaku pasar bisa memanfaatkan kondisi ini untuk trading jangka pendek, bisa jadi strategi yang bagus untuk melakukan aksi beli," kata Nafan kepada CNNIndonesia.com, Senin (26/11).
Terlebih, harga saham Garuda Indonesia pada akhir pekan kemarin terkoreksi cukup dalam, yakni 2,75 persen ke level Rp212 per saham. Maka itu, pelaku pasar bisa membeli saham itu dengan harga yang lebih murah.
"Untuk satu pekan ke depan, kemungkinan Garuda Indonesia pergerakan sahamnya bisa di rentang Rp205-Rp230 per saham," tutur Nafan.
Untuk jangka panjang, saham emiten berkode saham GIAA itu berpotensi menyentuh level Rp262 per saham. Dengan catatan, harga saham Garuda Indonesia tidak kembali ke level terbawahnya di angka Rp199-Rp200 per saham.
Lebih lanjut, Nafan meramalkan kinerja Garuda Indonesia juga akan terbantu oleh penjualan tiket pesawat jelang libur panjang tahun baru dan Natal pada Desember mendatang. Sebab, penjualan tiket berjadwal masih menjadi kontributor utama penjualan perusahaan.
"Kemarin juga Garuda Indonesia sudah kerja sama dengan Sriwijaya Air Group, itu kan menambah rute yang sebelumnya tidak tersentuh Garuda Indonesia," papar Nafan.
Lebih detil, kerja sama itu diteken Garuda Indonesia melalui anak usahanya bernama PT Citilink Indonesia. Kerja sama ini khususnya pengambilalihan pengelolaan finansial dan operasional Sriwijaya Air.
 Ilustrasi. (REUTERS/Beawiharta) |
Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara menyebut kerja sama itu bakal memberikan dampak positif untuk perusahaan, khususnya dalam memperluas pasar hingga kapasitas dan kapabilitas Citilink Indonesia. Di sisi lain, sinergi ini juga dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Sriwijaya Group pada salah satu anak perusahaan Garuda Indonesia.
Berdasarkan laporan keuangan Garuda Indonesia kuartal III 2018, Sriwijaya Air memiliki utang pemeriksaan menyeluruh (overhaul) 10 mesin pesawat sebesar US$9,33 juta.
Kemudian, utang lainnya berupa perawatan pesawat sebesar US$6,28 juta yang telah dipindahkan menjadi piutang kepada PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Bila dijumlahkan, total utang Sriwjaya Air mencapai Rp433 miliar.
Dari sisi keuangan Garuda Indonesia, perusahaan membukukan kerugian bersih sebesar US$114,08 juta setara Rp1,66 triliun (kurs Rp14.600 per dolar AS) pada kuartal III 2018. Rugi bersih perusahaan turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$222,03 juta atau Rp3,24 triliun.
"Tapi ingat Garuda Indonesia masih punya utang denominasi dolar AS, utang itu lebih baik segera dilunasi ketika rupiah menguat seperti sekarang," kata Nafan.
Di tengah penguatan rupiah saat ini, sambung Nafan, perusahaan yang memiliki utang berbentuk dolar AS akan diuntungkan karena tak perlu menggelontorkan dana besar dibandingkan ketika rupiah keok terhadap dolar AS.
Dalam sembilan bulan pertama tahun ini, jumlah liabilitas jangka pendek Garuda Indonesia tercatat sebesar US$2,28 miliar dan liabilitas jangka panjang sebesar US$1,01 miliar.
"
Debt to equity ratio (rasio utang terhadap ekuitas) Garuda Indonesia selalu bertambah setiap tahunnya, jadi perlu diselesaikan juga utangnya," jelas Nafan.
Selain Garuda Indonesia, Analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai Barito Pacific akan mendulang untung dari turunnya harga minyak mentah dunia. Maklum, bisnis perusahaan di bidang petrokimia sangat berkorelasi dengan komoditas minyak.
"Pelemahan harga minyak memang menjadi sentimen positif bagi petrokimia, pilihannya Barito Pacific," ujar William.
Menurut William, minat pelaku pasar terhadap saham Barito Pacific juga sudah terlihat dari sisi volume perdagangannya. Meski memang, jumlah aksi beli pelaku pasar tersebut belum mampu mengangkat harga saham Barito Pacific secara signifikan pada perdagangan terakhirnya.
Tercatat, harga saham Barito Pacific meningkat tipis 0,5 persen ke level Rp2.030 per saham dengan jumlah volume perdagangan sebanyak 3,23 juta saham pada Jumat kemarin.
"Saham Barito Pacific bagus dan
liquid. Cocok untuk
trader," tutur William.
Sayangnya, kinerja keuangan Barito Pacific pada kuartal III 2018 tak bisa dibilang cukup baik. Laba bersih perusahaan merosot menjadi US$70,38 juta dari sebelumnya US$121,12 juta. Padahal, pendapatan perusahaan meningkat dari US$2,1 miliar menjadi US$2,35 miliar.
"Untuk Barito Pacific bisa buy dengan target Rp2.200 untuk sepekan," pungkas William.
(lav)