Jakarta, CNN Indonesia -- PT
PLN (Persero) memproyeksi kebutuhan
batu bara untuk pembangkit mencapai 100 juta ton sampai tahun depan. Angka ini meningkat 7,2 persen dibandingkan kebutuhan tahun ini yang sebanyak 93,2 juta ton, sesuai kontrak kewajiban penyerapan batu bara dalam negeri (
domestic market obligation/
DMO).
Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan sebagian besar kebutuhan batu bara tahun depan sudah terkontrak, sesuai dengan harga DMO yang ditetapkan pemerintah, yaitu US$70 per metrik ton berdasarkan Harga Batu Bara Acuan (HBA).
"Kebutuhan tahun depan bisa saja tembus 100 juta ton," ujarnya, Selasa (27/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan dua faktor dibalik kenaikan kebutuhan batu bara tahun depan. Pertama, dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan besaran 2 ribu megawatt (MW) yang akan beroperasi.
Dua pembangkit tersebut adalah PLTU Jawa 7 dengan besaran kapasitas 2x1.000 MW yang dikerjakan oleh anak usaha PLN, yaitu PT Pembangkitan Jawa Bali, bekerja sama dengan perusahaan asal China, Shenhua Energy Company Ltd.
Selain itu, PLTU Cilacap ekspasi berkapasitas 1.000 MW. Keduanya diharapkan dapat beroperasi pada September dan Oktober 2019 mendatang.
"Mungkin dari pembangkit baru saja, kenaikan kebutuhan batu bara bisa 4 juta ton," imbuh Iwan.
Selain karena pembangkit baru, kenaikan kebutuhan batu bara juga disebabkan karena permintaan listrik yang semakin meningkat. Di tahun depan, PLN memprediksi kenaikan permintaan listrik sebesar 6 persen.
Jika di akhir tahun ini PLN menargetkan permintaan listrik di angka 239 Terawatt-hour (TWh), maka artinya permintaan listrik tahun depan berkisar 253,34 TWh.
"
Demand (permintaan) naik, semua naik, asumsi kami di angka 6 persen. Jadi kenaikan konsumsi batu bara bukan karena ada pembangkit baru saja," jelasnya.
Dengan demikian, artinya kebutuhan batu bara bagi pembangkit masih tetap akan mendominasi. Hal itu akan terbaca di dalam bauran energi yang akan dicantumkan di dalam revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019 hingga 2028, yang saat ini tengah disusun perseroan.
Iwan menuturkan porsi batu bara di dalam RUPTL mendatang tidak akan berbeda jauh dibandingkan RUPTL yang berlaku saat ini, yaitu 54,4 persen hingga 10 tahun ke depan.
"Selain karena permintaan listrik meningkat, namun kami juga berencana untuk menggunakan batu bara sebagai backbone untuk pembangkit di pulau-pulau kecil di Indonesia timur. Tapi, ini masih belum final, kami masih memilih antara gas atau batu bara," tandasnya.
Hingga Oktober 2018, serapan batu bara PLN sudah mencapai 66 juta ton dan diperkirakan mencapai 92 juta ton hingga akhir tahun. Angka ini sedikit lebih kecil dari target lantaran kenaikan beban puncak di pulau Jawa ditanggulangi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG).
(glh/bir)