Jakarta, CNN Indonesia -- Pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat bisa berjalan lancar dan dimanfaatkan dengan baik, salah satunya berkat peran dan kepedulian tokoh masyarakat. Mereka menerjemahkan visi pentingnya Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) dan Tempat Pengelolaan Sampah dengan Pendekatan Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) serta mengkomunikasikannya kepada masyarakat di sekitarnya.
Tokoh masyarakat sudah selayaknya membawa perubahan ke arah yang lebih baik karena peran tokoh masyarakat dapat menginspirasi masyarakat lainnya. Ada beberapa tokoh masyarakat yang ikut ambil peran dalam gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) untuk memajukan masyarakat dan desa.
Salah satunya Desa Bergas Kidul, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Desa ini memiliki tokoh lingkungan hidup yang menjadi inisiator hadirnya TPS3R lewat program dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR).
"Masyarakat ini secara kultur sudah turun temurun apalagi pedesaan itu kan punya lahan yang luas. Apalagi kalau sudah bergabung di TPS3R ini kita sudah ada perdesnya jadi harus ada iuran. Jadi dengan iuran mereka bisa buang sampah dan halamannya bersih," ujar Kepala Desa Bergas Kidul, Sultan.
Dulu sampah dibuang di mana saja oleh warga dan penanganannya pun hanya sekadar memilah dan memanfaatkan sampah yang memiliki nilai ekonomis. Namun hal tersebut berdampak pada menumpuknya sampah yang tidak terpakai di desa.
Akhirnya pada 2015 beberapa tokoh desa berinisiatif membuat tungku pembakaran sehingga masalah sampah terselesaikan. Namun langkah ini justru menyebabkan pencemaran udara sehingga tungku tersebut tidak digunakan kembali. Tungku pembakaran tersebut pun dijadikan monumen sebagai pengingat awal mula pengolahan sampah.
"Kalau tungku mestinya habis di tempat tapi itu kan melanggar aturan bahwa membakar sampah itu menyebabkan polusi, berpengaruh terhadap emisi, dan berpengaruh juga dengan iklim. Makanya kita berkomitmen untuk kita hentikan," ujar inisiator TPS3R di Desa Bergas Kidul Abdul Aziz.
Program TPS3R hadir di Bergas Kidul pada 2015 lalu dan dibangun dengan APBN senilai Rp 500 juta. Program ini mulai berjalan pada 2016 sekaligus menggantikan tungku pembakaran. Program ini kemudian dikelola oleh tokoh masyarakat yang bergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Bergas Sehat Berseri (BSB).
"Lanjutannya biar kami mampu menggerakkan masyarakat lebih luas, warga di sini mau memilah sampah, mengelola sampahnya sendiri, dan mempunyai prinsip bahwa sampahku adalah tanggung jawabku," lanjut Abdul.
Pengelolaan sampah yang dikumpulkan setiap 2 minggu sekali di desa ini dibantu oleh 4 warga sebagai operator menggunakan mesin konveyor dan pencacah. Sampah anorganik yang terkumpul pun dijual ke pengepul sementara sampah organik diolah menjadi kompos yang dikembalikan secara gratis kepada warga. Sehingga warga semakin semangat untuk menghijaukan lingkungan mereka.
Dari program TPS3R ini, 900 rumah tangga sudah terlayani dari total 1.700 KK di Desa Bergas. Untuk mendapatkan manfaat dari program ini, warga harus membayar iuran Rp 8 ribu untuk rumah tangga dan Rp 750 ribu untuk pabrik di sekitarnya.
"Lingkungan sekarang sangat bersih sekali. Jadi semua sampah kita kumpulkan 2 minggu sekali, dibawa ke TPS3R jadi lingkungan sekarang bersih. Dalam rumah, luar rumah, semua bersih," ujar salah seorang warga penerima manfaat, Sugianto.
Manfaat Sanimas dari Kementerian PUPR juga dirasakan di Desa Delod, Tabanan, Bali. Salah satu manfaatnya dirasakan setelah wilayah ini membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal sebagai solusi masalah sanitasi.
"Sebelum ada program ini, lingkungan kami kotor, sangat tergenang dengan air. Karena penyaluran limbah, baik limbah rumah tangga, limbah kamar mandi, termasuk juga dari air hujan itu tergenang di mana-mana," ujar Kepala Desa Delod, I Gede Komang Restan Wisnawa.
Setelah IPAL rampung dalam 3 bulan, pengelolaan dilakukan oleh masyarakat yang membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Dharma Duta pada 2014.
"Kalau yang di rumah kita harapkan setiap hari dibersihkan. Kalau yang di sini kita sebulan sekali. Karena ini program kita juga. Sehingga yang di rumah lancar, yang di sini juga lancar," ungkap Ketua KSM I Gusti Ngurah Mayun Niksana.
Dana program ini berasal dari Kementerian PUPR melalui Satuan Kerja Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Satker PPLP) Provinsi Bali senilai Rp 400 juta, APBD Kabupaten Tabanan Rp 500 juta, dan kontribusi warga senilai Rp 1,5 juta.
KSM Dharma Duta pun melayani 57 KK dari 257 KK atau 1.278 jiwa dari keseluruhan penduduk desa. Setiap KK dikenakan iuran Rp 5 ribu per bulan. Dalam setahun, dana yang terkumpul mencapai Rp 3.420.000. iuran ini digunakan untuk operasional dan keberlanjutan manfaat IPAL Komunal.
"Di Bali itu ada yang namanya juru arah. Lewat mereka kita menyampaikan sosialisasi seperti kalau ada kegiatan baru, mereka yang mengumumkan kepada warga. Kalau ditinjau dari segi agama tidak ada efek negatifnya. Malah efek positifnya yang banyak," kata salah seorang tokoh adat I Gusti Ngurah Agung.
Salah satu program infrastruktur berbasis masyarakat di Kota Bandung berhasil
mengubah perilaku hidup bersih masyarakatnya menjadi lebih baik. Di Kelurahan Sukawarna, Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung, sistem pengelolaan air limbah domestik terpusat dibangun di tengah jalan umum.
"Khawatirnya mereka itu kalau mendengar kata septic tank atau IPAL itu kan identik dengan limbah. Khawatir bau, bocor, serapan ke sumur-sumur, dan lain sebagainya," tutur Lurah Sukawarna Ajat Sudrajat.
Pembangunan sistem pengelolaan air limbah domestik terpusat menggunakan anggaran 2016 senilai Rp 425 juta. Program ini pun diharapkan dapat membentuk perilaku hidup bersih dan sehat.
Operasional Sanimas pun dikelola oleh Kelompok Pemanfaat dan Pemeliharaan (KPP) Ngahiji yang dimotori oleh warga, aparatur desa, aktivis lingkungan, sampai tokoh pemuda. KPP Ngahiji melayani 382 jiwa, sementara sistem pengelolaan air limbah domestik terpusat berhasil melayani hingga 75 sambungan rumah.
"Dari sisi infrastruktur alhamdulillah aman karena didesain sesuai keberadaannya, yaitu di jalan," ujar Ketua KSM Ngahiji Nurdiyana.
KPP juga sering bereksperimen membuat pupuk organik sendiri menggunakan sekam yang diproses terlebih dahulu agar bermanfaat untuk tanaman yang bukan untuk dikonsumsi. Pupuk tersebut diolah menjadi dua jenis, yaitu Pupuk Organik Cair (POK) dan Pupuk Organik Kering (POK).
"Kalau sekarang sih alhamdulillah sudah tambah bagus, sudah nggak sering mampet lagi. Kalau hujan juga lancar. Lebih bersih dan lebih tertata antara sampah dan pembuangannya. Jadi lebih bagus kalau sekarang," ujar salah satu warga penerima manfaat Yuni.
KPP juga mengembangkan
urban farming yang berlokasi di atas kantor kelurahan karena keterbatasan lahan. Kegiatan ini pun dikelola oleh anak muda di lingkungan tersebut.
(adv/adv)