KALEIDOSKOP 2018

'Benci Tapi Rindu' Parfum Hingga Kosmetik Impor Era Jokowi

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Kamis, 27 Des 2018 13:12 WIB
Upaya pemerintah mengendalikan impor barang konsumsi belum menghilangkan minat masyarakat berbelanja barang impor.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Hesti Rika).
Jakarta, CNN Indonesia -- Raut muka kurang bergembira terpancar dari wajah Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, beberapa waktu lalu. Maklum, saat itu, ekonomi dalam negeri tengah menghadapi masalah. Defisit neraca transaksi berjalan makin melebar.

Pada Agustus lalu, Bank Indonesia (BI) merilis data yang menunjukkan defisit neraca transaksi berjalan kuartal II 2018 melebar menjadi 3 persen dari produk domestik bruto (PDB), naik jika dibandingkan kuartal I 2018 yang hanya sekitar 2,2 persen.

Pada kuartal III, defisit makin lebar ke 3,37 persen dari PDB. Masalah tersebut menjalar kemana-mana. Nilai tukar rupiah yang saat itu tertekan oleh sentimen krisis keuangan di Turki kian terperosok dalam ke Rp14.600.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi neraca transaksi berjalan yang defisit membuat BI kekurangan amunisi untuk mengintervensi pelemahan rupiah. Akibatnya, rupiah terus merosot. Bahkan, rupiah terus merosot dan tembus ke atas Rp15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS). Cadangan devisa juga kian merosot.


Tidak ingin masalah tersebut semakin menjadi, Jokowi memerintahkan jajarannya untuk segera bergerak cepat. Ia memerintahkan agar masalah defisit transaksi berjalan segera diatasi. Salah satu perintah yang dikeluarkannya, segera kendalikan impor.

"Segera kendalikan impor. Betul-betul cermati secara detail dan cepat sehingga impor yang memang tidak penting bisa dikurangi," katanya waktu itu.

Tak ingin mengecewakan bosnya, pembantu presiden, salah satunya Menteri Keuangan Sri Mulyani bergerak cepat. Ia mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110 Tahun 2018 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.

Melalui aturan tersebut Ani menaikkan PPh 22 impor terhadap 1.147 pos tarif. Melalui kenaikan tersebut, satu pos tarif bisa mendapat tarif PPh 22 sebesar 2,5 persen, 7,5 persen, atau bahkan 10 persen dari harga barang impor tersebut.


Ani sapaan akrab menteri keuangan itu, mengatakan kebijakan tersebut diterapkan untuk menekan impor barang konsumsi dan memperbaiki neraca perdagangan. Semakin baik neraca perdagangan, maka defisit transaksi berjalan akan menyempit.

Kenaikan PPh 22 impor sejatinya tidak dibebankan langsung ke masyarakat. Instrumen ini berbeda dibanding Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atau bea masuk yang dampaknya langsung terjadi di barang yang dibeli masyarakat.

Apalagi, PPh 22 impor tetap dipungut setiap bulan dan bisa dikreditkan kala Wajib Pajak (WP) menghitung PPh badan di akhir tahun. Namun, beban pajak yang naik tentu bisa bikin harga barang impor ikut melonjak.

Ketua Umum GINSI Anton Sihombing menuturkan pembatasan impor seharusnya berbanding dengan suplai domestiknya. Jika tidak, kenaikan PPh impor ini bisa kurang efektif. Salah-salah, justru kebijakan bisa melahirkan inflasi barang impor (imported inflation).


"Makanya inventarisasi dan identifikasi produk yang kena kenaikan PPh impor ini benar-benar dikaji betul. Dilihat, apakah suplai dalam negeri sudah memadai," jelas Anton.

Anton mengatakan sejatinya produk Indonesia bisa menggantikan kehadiran barang impor. Namun, masyarakat ternyata menganggap, ada faktor lain yang membuat mereka gemar barang dibanding lokal.

"Secara kualitas, memang barang impor lebih bagus," ujar Fedina, wanita berusia 27 tahun yang bekerja sebagai karyawan swasta. 

Menurutnya, alasan itu yang mendasari dirinya masih menggunakan barang impor, khususnya kosmetik. Meski, PPh 22 impor untuk kosmetik naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen.


Fedina mengaku getol dalam membeli kosmetik. Hampir 99 persen koleksi yang dimilikinya merupakan kosmetik impor. Bukan berarti dia tidak cinta produk lokal, hanya saja fitur kosmetik dalam negeri tidak selengkap impor.

Ia mencontohkan, kosmetik berjenis foundation. Menurutnya, foundation keluaran impor memiliki formula yang lebih baik. Biasanya, merek impor memiliki formula foundation beragam.

Formula tersebut biasanya cocok untuk kulit kering, normal, atau berminyak. Hal itu, berbeda dengan foundation keluaran Indonesia yang ia anggap hanya punya satu formula.

"Brand dari Indonesia, biasanya formula foundation-nya hanya satu, yakni foundation dengan finish matte untuk kulit berminyak. Dan kalau dilihat dari segi warna, kosmetik impor lebih variatif," ujar dia.


Fedina mengakui dalam memilih kosmetik, harga tetap menjadi pertimbangan. Jika harganya naik karena PPh 22, maka mau tak mau ia akan beralih ke kosmetik dalam negeri.

Tentu saja, tak semua koleksi impornya akan diganti ke kosmetik lokal. Jika harganya naik, ia bilang tetap akan membeli foundation impor. Namun, untuk kosmetik seperti lipstik dan perona wajah (blush on), ia kemungkinan akan berganti hati ke produk lokal.

Menurutnya, saat ini banyak lipstik dan blush on merek dalam negeri yang kualitasnya tidak kalah dengan produk impor. Namun, ia mengaku belum punya niatan untuk menambah koleksi riasannya.

"Sejauh ini saya belum mencoba untuk beli kosmetik lagi. Tapi kalau saya datang ke gerai kosmetik, penjaga tokonya selalu kasih wanti-wanti bahwa harganya akan naik sebentar lagi," jelas dia.


Niat serupa juga akan dilakukan oleh Ricky Siahaan. Pria berusia 29 tahun dan bekerja di salah satu maskapai ini mengaku tetap akan menggunakan barang impor, khususnya pakaian. Padahal, produk tekstil dikenakan kenaikan tarif PPh 22 impor dari 25 persen ke angka 75 persen.

Ia bilang, pakaian yang ia kenakan merupakan merek terkenal dengan banderol yang tidak murah. Ujung kepala hingga ujung kaki Ricky bisa bernilai jutaan rupiah. Namun, hal itu bukan ditujukan untuk terlihat mentereng semata.

Suara Pengguna Barang Impor

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER