Jakarta, CNN Indonesia -- Raut muka kurang bergembira terpancar dari wajah Presiden
Joko Widodo di Kantor Presiden, beberapa waktu lalu. Maklum, saat itu,
ekonomi dalam negeri tengah menghadapi masalah. Defisit
neraca transaksi berjalan makin melebar.
Pada Agustus lalu, Bank Indonesia (BI) merilis data yang menunjukkan defisit neraca transaksi berjalan kuartal II 2018 melebar menjadi 3 persen dari produk domestik bruto (PDB), naik jika dibandingkan kuartal I 2018 yang hanya sekitar 2,2 persen.
Pada kuartal III, defisit makin lebar ke 3,37 persen dari PDB. Masalah tersebut menjalar kemana-mana. Nilai tukar rupiah yang saat itu tertekan oleh sentimen krisis keuangan di Turki kian terperosok dalam ke Rp14.600.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi neraca transaksi berjalan yang defisit membuat BI kekurangan amunisi untuk mengintervensi pelemahan rupiah. Akibatnya, rupiah terus merosot. Bahkan, rupiah terus merosot dan tembus ke atas Rp15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS). Cadangan devisa juga kian merosot.
Tidak ingin masalah tersebut semakin menjadi, Jokowi memerintahkan jajarannya untuk segera bergerak cepat. Ia memerintahkan agar masalah defisit transaksi berjalan segera diatasi. Salah satu perintah yang dikeluarkannya, segera kendalikan impor.
"Segera kendalikan impor. Betul-betul cermati secara detail dan cepat sehingga impor yang memang tidak penting bisa dikurangi," katanya waktu itu.
Tak ingin mengecewakan bosnya, pembantu presiden, salah satunya Menteri Keuangan Sri Mulyani bergerak cepat. Ia mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110 Tahun 2018 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
Melalui aturan tersebut Ani menaikkan PPh 22 impor terhadap 1.147 pos tarif. Melalui kenaikan tersebut, satu pos tarif bisa mendapat tarif PPh 22 sebesar 2,5 persen, 7,5 persen, atau bahkan 10 persen dari harga barang impor tersebut.
Ani sapaan akrab menteri keuangan itu, mengatakan kebijakan tersebut diterapkan untuk menekan impor barang konsumsi dan memperbaiki neraca perdagangan. Semakin baik neraca perdagangan, maka defisit transaksi berjalan akan menyempit.
Kenaikan PPh 22 impor sejatinya tidak dibebankan langsung ke masyarakat. Instrumen ini berbeda dibanding Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atau bea masuk yang dampaknya langsung terjadi di barang yang dibeli masyarakat.
Apalagi, PPh 22 impor tetap dipungut setiap bulan dan bisa dikreditkan kala Wajib Pajak (WP) menghitung PPh badan di akhir tahun. Namun, beban pajak yang naik tentu bisa bikin harga barang impor ikut melonjak.
Ketua Umum GINSI Anton Sihombing menuturkan pembatasan impor seharusnya berbanding dengan suplai domestiknya. Jika tidak, kenaikan PPh impor ini bisa kurang efektif. Salah-salah, justru kebijakan bisa melahirkan inflasi barang impor (
imported inflation).
"Makanya inventarisasi dan identifikasi produk yang kena kenaikan PPh impor ini benar-benar dikaji betul. Dilihat, apakah suplai dalam negeri sudah memadai," jelas Anton.
Anton mengatakan sejatinya produk Indonesia bisa menggantikan kehadiran barang impor. Namun, masyarakat ternyata menganggap, ada faktor lain yang membuat mereka gemar barang dibanding lokal.
"Secara kualitas, memang barang impor lebih bagus," ujar Fedina, wanita berusia 27 tahun yang bekerja sebagai karyawan swasta.
Menurutnya, alasan itu yang mendasari dirinya masih menggunakan barang impor, khususnya kosmetik. Meski, PPh 22 impor untuk kosmetik naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen.
Fedina mengaku getol dalam membeli kosmetik. Hampir 99 persen koleksi yang dimilikinya merupakan kosmetik impor. Bukan berarti dia tidak cinta produk lokal, hanya saja fitur kosmetik dalam negeri tidak selengkap impor.
Ia mencontohkan, kosmetik berjenis
foundation. Menurutnya,
foundation keluaran impor memiliki formula yang lebih baik. Biasanya, merek impor memiliki formula
foundation beragam.
Formula tersebut biasanya cocok untuk kulit kering, normal, atau berminyak. Hal itu, berbeda dengan
foundation keluaran Indonesia yang ia anggap hanya punya satu formula.
"
Brand dari Indonesia, biasanya formula
foundation-nya hanya satu, yakni
foundation dengan
finish matte untuk kulit berminyak. Dan kalau dilihat dari segi warna, kosmetik impor lebih variatif," ujar dia.
Fedina mengakui dalam memilih kosmetik, harga tetap menjadi pertimbangan. Jika harganya naik karena PPh 22, maka mau tak mau ia akan beralih ke kosmetik dalam negeri.
Tentu saja, tak semua koleksi impornya akan diganti ke kosmetik lokal. Jika harganya naik, ia bilang tetap akan membeli
foundation impor. Namun, untuk kosmetik seperti lipstik dan perona wajah (
blush on), ia kemungkinan akan berganti hati ke produk lokal.
Menurutnya, saat ini banyak lipstik dan
blush on merek dalam negeri yang kualitasnya tidak kalah dengan produk impor. Namun, ia mengaku belum punya niatan untuk menambah koleksi riasannya.
"Sejauh ini saya belum mencoba untuk beli kosmetik lagi. Tapi kalau saya datang ke gerai kosmetik, penjaga tokonya selalu kasih wanti-wanti bahwa harganya akan naik sebentar lagi," jelas dia.
Niat serupa juga akan dilakukan oleh Ricky Siahaan. Pria berusia 29 tahun dan bekerja di salah satu maskapai ini mengaku tetap akan menggunakan barang impor, khususnya pakaian. Padahal, produk tekstil dikenakan kenaikan tarif PPh 22 impor dari 25 persen ke angka 75 persen.
Ia bilang, pakaian yang ia kenakan merupakan merek terkenal dengan banderol yang tidak murah. Ujung kepala hingga ujung kaki Ricky bisa bernilai jutaan rupiah. Namun, hal itu bukan ditujukan untuk terlihat mentereng semata.
Menurut Ricky, pakaian impor sangat membantu performanya dalam bekerja. Jika ia menggunakan pakaian impor bermerek, maka rekan atau mitra kerjanya tidak akan meremehkan dirinya. Penampilan, lanjut dia, adalah kunci dalam memberikan impresi maupun meningkatkan kepercayaan diri.
Di samping itu, pakaian impor dan bermerek disebutnya memberi kepuasan diri yang lebih besar. Karena harganya yang mahal, maka Ricky merasa bangga bisa membeli baju-baju tersebut. Kebanggaan tersebut tak ia dapati ketika mengenakan produk Indonesia.
"Kalau kita pakai baju bermerek dan impor, maka semua
attention akan jatuh ke kita. Itu sangat penting dalam dunia karier. Selain itu, baju yang kita kenakan juga merupakan simbol aktualisasi diri kita dalam pergaulan," katanya.
Ia menyadari kenaikan PPh 22 impor tentu akan menaikkan harga jual baju impor di Indonesia. Namun, Ricky malah mengaku tak pernah belanja baju impor di dalam negeri.
Nafsu belanja barang impor di dalam negeri sudah tidak ada sebelum kenaikan PPh 22 impor diterapkan. Menurutnya, berbelanja di Indonesia selalu dibumbui unsur perpajakan yang bejibun.
Selain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, barang impor yang ia beli juga merupakan subjek bea masuk, atau terkadang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Rentetan pajak ini bikin dia malas menghabiskan uangnya di dalam negeri.
Makanya, ia lebih memilih untuk membeli baju impor di luar negeri. Selain harganya lebih murah, model pakaiannya pun lebih variatif ketimbang Indonesia. Ia mencontohkan, harga pakaian bermerek di Singapura bisa lebih murah 30 persen dibanding Indonesia.
Ia justru khawatir PPh 22 impor ini akan membuat orang berduit semakin enggan belanja di dalam negeri, dan malah lari menghabiskan uang di luar negeri. Ia yakin, aktivitas itu akan semakin sering terjadi seiring banyaknya maskapai yang menawarkan tiket pesawat murah untuk pergi ke Malaysia atau Singapura.
"Banyaknya pajak inilah itulah justru, menurut saya, membuat orang jadi memilih belanja di luar negeri. Kalau tidak ada yang belanja di dalam negeri, kan penerimaan pajak juga tidak ada. Apakah efektif kenaikan pajak-pajak ini? Malah mengurangi konsumsi tapi penerimaan pun tak ada," imbuh dia.
Hal serupa juga ia terapkan dalam membeli parfum, yang saat ini dikenakan PPh 22 impor sebanyak 10 persen. Terkadang, ia menggunakan kesempatan ke luar negeri untuk membeli parfum. Ia pun kadang juga menitip parfum kepada temannya yang dapat giliran dinas ke luar negeri.
Alasan yang ia lontarkan pun serupa, yakni harga di Indonesia lebih mahal ketimbang di luar negeri. Ia masih tetap memilih parfum impor dengan alasan kualitas yang lebih mumpuni.
Saking menggandrungi parfum impor, saat ini ia mengaku punya sembilan botol parfum. Dari sembilan tersebut, empat botol disimpan di kantor dan sisanya ditaruh di rumah. Semuanya memiliki harga di atas Rp1 juta.
"Saya pernah coba parfum dalam negeri, tapi dia memberikan bekas di baju, dan itu bikin saya tidak nyaman. Makanya saya pilih parfum impor saja. Tapi kalau misalnya ada PPh 22 impor, mending saya beli di luar negeri saja, sama seperti koleksi baju saya," imbuh dia.
Tak hanya kebutuhan eksternal, makanan impor pun tak luput dari objek pengenaan PPh 22 impor. Contohnya, adalah makanan ringan. Agung, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) berusia 26 tahun ini mengaku kaget bahwa harga kudapan impor yang kerap dibeli olehnya tiba-tiba melonjak dalam beberapa waktu terakhir.
Agung mengatakan, saat ini ia tengah doyan mengonsumsi
almond honey butter yang berasal dari Korea Selatan. Biasanya, ia membeli penganan tersebut dengan harga di bawah Rp150 ribu per bungkus. Namun, kini harganya sudah sudah menyentuh Rp150 ribu.
Belakangan, ia baru tahu bahwa penganan kacang yang berbalut gula ini dikenai PPh 22 impor sebesar 7,5 persen. Padahal, ketentuan ini tidak ada di beleid sebelumnya.
"Bisa jadi karena PPh 22 impor, tapi bisa jadi juga karena kurs rupiah yang tengah melemah. Tapi yang jelas, kenaikan harga ini berdampak langsung bagi saya," imbuh dia.
Kenaikan harga ini tentu bikin Agung putar otak dalam mengelola keuangannya. Biasanya, rata-rata ia menghabiskan Rp400 ribu dalam sebulan hanya demi mengunyah kudapan impor favoritnya. Mungkin, setelah ini, ia harus mengencangkan ikat pinggang dengan membeli makanan ringan dalam negeri saja.
"Bagi saya, harga masih sangat penting. Kalau
snack itu sudah mahal, ya saya mau tak mau beralih ke produk lokal," imbuhnya.
Sebetulnya, masalah kepuasan dalam mengonsumsi barang impor atau lokal dinilai oleh individu masing-masing. Setiap orang tentu memiliki preferensi tersendiri dalam mengonsumsi barang. Agung sendiri mengaku tak mempermasalahkan konsumsi produk lokal atau produk impor. Hanya saja, ia berharap produksi makanan dan minuman Indonesia bisa lebih variatif, sehingga bisa memenuhi permintaan seperti dirinya.
"Sampai saat ini belum ada substitusi bagi
almond honey butter, jadi saya juga tidak tahu substitusinya dengan apa. Sejauh ini saya ganti dengan
snack lokal saja. Apalagi
snack sudah merupakan kebutuhan hidup bagi saya," pungkas Agung.