KALEIDOSKOP 2018

'Benci Tapi Rindu' Parfum Hingga Kosmetik Impor Era Jokowi

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Kamis, 27 Des 2018 13:12 WIB
Upaya pemerintah mengendalikan impor barang konsumsi belum menghilangkan minat masyarakat berbelanja barang impor.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Menurut Ricky, pakaian impor sangat membantu performanya dalam bekerja. Jika ia menggunakan pakaian impor bermerek, maka rekan atau mitra kerjanya tidak akan meremehkan dirinya. Penampilan, lanjut dia, adalah kunci dalam memberikan impresi maupun meningkatkan kepercayaan diri.

Di samping itu, pakaian impor dan bermerek disebutnya memberi kepuasan diri yang lebih besar. Karena harganya yang mahal, maka Ricky merasa bangga bisa membeli baju-baju tersebut. Kebanggaan tersebut tak ia dapati  ketika mengenakan produk Indonesia.

"Kalau kita pakai baju bermerek dan impor, maka semua attention akan jatuh ke kita. Itu sangat penting dalam dunia karier. Selain itu, baju yang kita kenakan juga merupakan simbol aktualisasi diri kita dalam pergaulan," katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menyadari kenaikan PPh 22 impor tentu akan menaikkan harga jual baju impor di Indonesia. Namun, Ricky malah mengaku tak pernah belanja baju impor di dalam negeri.


Nafsu belanja barang impor di dalam negeri sudah tidak ada sebelum kenaikan PPh 22 impor diterapkan. Menurutnya, berbelanja di Indonesia selalu dibumbui unsur perpajakan yang bejibun. 

Selain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, barang impor yang ia beli juga merupakan subjek bea masuk, atau terkadang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Rentetan pajak ini bikin dia malas menghabiskan uangnya di dalam negeri.

Makanya, ia lebih memilih untuk membeli baju impor di luar negeri. Selain harganya lebih murah, model pakaiannya pun lebih variatif ketimbang Indonesia. Ia mencontohkan, harga pakaian bermerek di Singapura bisa lebih murah 30 persen dibanding Indonesia.

Ia justru khawatir PPh 22 impor ini akan membuat orang berduit semakin enggan belanja di dalam negeri, dan malah lari menghabiskan uang di luar negeri. Ia yakin, aktivitas itu akan semakin sering terjadi seiring banyaknya maskapai yang menawarkan tiket pesawat murah untuk pergi ke Malaysia atau Singapura.


"Banyaknya pajak inilah itulah justru, menurut saya, membuat orang jadi memilih belanja di luar negeri. Kalau tidak ada yang belanja di dalam negeri, kan penerimaan pajak juga tidak ada. Apakah efektif kenaikan pajak-pajak ini? Malah mengurangi konsumsi tapi penerimaan pun tak ada," imbuh dia.

Hal serupa juga ia terapkan dalam membeli parfum, yang saat ini dikenakan PPh 22 impor sebanyak 10 persen. Terkadang, ia menggunakan kesempatan ke luar negeri untuk membeli parfum. Ia pun kadang juga menitip parfum kepada temannya yang dapat giliran dinas ke luar negeri.

Alasan yang ia lontarkan pun serupa, yakni harga di Indonesia lebih mahal ketimbang di luar negeri. Ia masih tetap memilih parfum impor dengan alasan kualitas yang lebih mumpuni. 

Saking menggandrungi parfum impor, saat ini ia mengaku punya sembilan botol parfum. Dari sembilan tersebut, empat botol disimpan di kantor dan sisanya ditaruh di rumah. Semuanya memiliki harga di atas Rp1 juta.


"Saya pernah coba parfum dalam negeri, tapi dia memberikan bekas di baju, dan itu bikin saya tidak nyaman. Makanya saya pilih parfum impor saja. Tapi kalau misalnya ada PPh 22 impor, mending saya beli di luar negeri saja, sama seperti koleksi baju saya," imbuh dia.

Tak hanya kebutuhan eksternal, makanan impor pun tak luput dari objek pengenaan PPh 22 impor. Contohnya, adalah makanan ringan. Agung, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) berusia 26 tahun ini mengaku kaget bahwa harga kudapan impor yang kerap dibeli olehnya tiba-tiba melonjak dalam beberapa waktu terakhir.

Agung mengatakan, saat ini ia tengah doyan mengonsumsi almond honey butter yang berasal dari Korea Selatan. Biasanya, ia membeli penganan tersebut dengan harga di bawah Rp150 ribu per bungkus. Namun, kini harganya sudah sudah menyentuh Rp150 ribu. 

Belakangan, ia baru tahu bahwa penganan kacang yang berbalut gula ini dikenai PPh 22 impor sebesar 7,5 persen. Padahal, ketentuan ini tidak ada di beleid sebelumnya.


"Bisa jadi karena PPh 22 impor, tapi bisa jadi juga karena kurs rupiah yang tengah melemah. Tapi yang jelas, kenaikan harga ini berdampak langsung bagi saya," imbuh dia.

Kenaikan harga ini tentu bikin Agung putar otak dalam mengelola keuangannya. Biasanya, rata-rata ia menghabiskan Rp400 ribu dalam sebulan hanya demi mengunyah kudapan impor favoritnya. Mungkin, setelah ini, ia harus mengencangkan ikat pinggang dengan membeli makanan ringan dalam negeri saja.

"Bagi saya, harga masih sangat penting. Kalau snack itu sudah mahal, ya saya mau tak mau beralih ke produk lokal," imbuhnya.

Sebetulnya, masalah kepuasan dalam mengonsumsi barang impor atau lokal dinilai oleh individu masing-masing. Setiap orang tentu memiliki preferensi tersendiri dalam mengonsumsi barang. Agung sendiri mengaku tak mempermasalahkan konsumsi produk lokal atau produk impor. Hanya saja, ia berharap produksi makanan dan minuman Indonesia bisa lebih variatif, sehingga bisa memenuhi permintaan seperti dirinya.


"Sampai saat ini belum ada substitusi bagi almond honey butter, jadi saya juga tidak tahu substitusinya dengan apa. Sejauh ini saya ganti dengan snack lokal saja. Apalagi snack sudah merupakan kebutuhan hidup bagi saya," pungkas Agung. (agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER