Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah merosot pada perdagangan Kamis (27/12), waktu AS. Pelemahan terjadi seiring perhatian pelaku pasar yang terpusat pada sinyal perlambatan
pertumbuhan ekonomi global serta menanjaknya produksi
minyak mentah.
Dilansir dari Reuters, Jumat (28/12), harga minyak mentah berjangka Brent turun 4,24 persen atau US$2,31 menjadi US$52,16 per barel. Penurunan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,16 atau 3,48 persen menjadi US$44,61 per barel.
"Pasar mengembalikan sebagian kenaikan yang terjadi kemarin yang dibawa bersama euforia di pasar saham," ujar Presiden Lipow Oil Associates Andrew Lipow di Houston, AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai catatan, harga minyak mentah dunia melonjak lebih dari delapan persen pada perdagangan Rabu (27/12) kemarin. Hal itu terjadi seiring lonjakan di pasar Wall Street setelah pemerintahan Donald Trump berupaya untuk mengerek kepercayaan diri pasar.
Harga Brent dan WTI telah merosot lebih dari 30 persen sejak awal Oktober 2018. Melihat perkembangan harga hingga kini, kedua harga acuan diperkirakan menurun lebih dari 20 persen sepanjang tahun ini.
Kekhawatiran terhadap perlambatan laju pertumbuhan ekonomi telah menekan permintaan investor terhadap kelas aset yang berisiko dan menekan harga minyak mentah berjangka. Selain itu, pelaku pasar juga khawatir terhadap membanjirnya pasokan minyak mentah.
Di AS, Institut Perminyakan Amerika (API)mencatat persediaan minyak mentah AS naik sebesar 6,9 juta barel menjadi 448,2 juta barel pada pekan yang berakhir pada 21 Desember 2018. Kenaikan tersebut melampaui ekspektasi sejumlah analis yang memperkirakan penurunan sebesar 2,9 juta barel.
Tiga bulan lalu, pasar minyak global seolah akan kekurangan pasokan saat musim dingin di belahan bumi utara mengingat AS mengenakan sanksi terhadap ekspor minyak Iran. Kendati demikian, eksportir minyak lain mampu mengkompensasi berapa pun kurangnya pasokan.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya, termasuk Rusia, pada bulan telah menyepakati kebijakan pemangkasan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) atau setara dengan 1 persen konsumsi global.
Kendati demikian, pemangkasan produksi baru akan berlaku mulai Januari 2019. Sementara, produksi minyak telah mencatat rekor tertinggi di Rusia, Arab Saudi, dan AS. Ketiganya merupakan produsen minyak terbesar di dunia dengan masing-masing memproduksi lebih dari 11,6 juta bph.
Menteri Energi Rusia Alexander Novak menyatakan Rusia bakal memangkas produksi minyak sebesar tiga hingga lima juta ton pada paruh pertama 2019. Namun, secara keseluruhan produksi minyak tahun depan akan mencapai 556 juta ton atau 11,12 juta bph, setara dengan produksi rata-rata produksi 2018.
Sementara itu, meski AS telah membatasi penjualan minyak Iran, pemerintahan Iran menyatakan eksportir swasta tidak mengalami kendala dalam menjual minyaknya.
(sfr/bir)