Asosiasi Minta Kedua Capres Prioritaskan Energi Terbarukan

CNN Indonesia
Sabtu, 09 Feb 2019 14:05 WIB
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) meminta komitmen kedua calon presiden periode 2019-2024 untuk memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan.
Ilustrasi energi terbarukan panas bumi. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja).
Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) meminta komitmen kedua pasangan calon presiden periode 2019-2024 untuk memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan.

Hal itu dilakukan dalam rangka upaya pencapaian target energi terbarukan dalam bauran energi yaitu 23 persen pada 2025, penyediaan akses energi di wilayah terpencil dan terluar, serta memenuhi komitmen Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 di Paris (COP 21).

"Kami berharap dalam debat terkait energi tanggal 17 Februari 2019 kedua pasangan calon presiden bersedia menyampaikan komitmen ini," ujar Ketua Umum METI Surya Darma dalam acara Press Briefing METI dan Institute for Essential Service Reform (IESR) di Jakarta, Jumat (8/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Implementasi komitmen bisa dimulai dengan menata ulang regulasi sektor energi terbarukan yang tidak pro investasi. Misalnya, dalam Permen ESDM Nomor 50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan, skema membangun, memiliki, mengoperasikan, dan mengalihkan (build, own, operate, and transfer/BOOT) dinilai memberatkan swasta.


Kemudian, dalam Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-pokok dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL), pembagian risiko yang berat ke investor menyebabkan pembangunan pembangkit energi terbarukan menjadi sulit untuk mendapatkan pendanaan dari bank (unbankable).

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan insentif kepada sektor energi terbarukan agar dapat berkembang.

"Pemerintah jangan hanya menyediakan insentif untuk energi fosil," ujarnya.

Ketua Dewan Asosiasi METI sekaligus Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) M RIza Husni mengungkapkan selama ini pemerintah kurang fokus mengembangkan EBT karena dianggap biayanya masih mahal. Padahal, saat ini, pengadaan listrik dari EBT sudah turun bahkan lebih murah dari biaya pengadaan listrik dari energi fosil.


Riza menyebutkan biaya listrik dari PLTA di Jawa ada yang hanya Rp800 rupiah per kilowatthour (kWh). Sedangkan rata-rata biaya pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara bisa mencapai Rp1.500 hingga Rp2.000 jika memperhitungkan fluktuasi harga batu bara dan nilai tukar.

"Listrik dari PLTA sekarang sudah lebih murah dari pembangkit energi fosil," ujarnya.

Maka itu, Riza menilai perlu ketegasan pemimpin negara dalam mengembangkan EBT. Jika tidak, perkembangan energi terbarukan akan berjalan lambat.

Sebagai catatan, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, porsi EBT bauran energi di sektor ketenagalistrikan baru mencapai 12,4 persen. Bahkan, porsi energi terbarukan terhadap bauran energi terbarukan baru 8 persen. Padahal, pemerintah menargetkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi bisa mencapai 23 persen pada 2025.


Ketua Komisi Tetap Energi Panas Bumi dan Energi dari Pengolahan Sampah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Fauzi Imron menambahkan METI, Kadin, dan asosiasi terkait akan menyampaikan dokumen terkait komitmen pengembangan energi terbarukan kepada ketua tim sukses masing-masing capres.

"Dengan harapan, ketua tim sukses masing-masing sudah menyampaikan kepada capres untuk menandatangani (komitmen) itu. Nantinya, hak kami untuk memviralkan itu," ujarnya.

Fauzi mengingatkan Indonesia wajib mengembangkan energi terbarukan demi generasi ke depan. Dalam membuat kebijakan energi terbarukan, menurut Fauzi, pemerintah seharusnya juga memikirkan dampak positif terhadap lingkungan dan kesehatan tidak hanya sekedar biaya pengadaan.

"Saya sih sangat optimistis di debat materi ini (EBT) akan terungkap walaupun tergantung dari masing-masing capres saja apakah mereka akan menjawabnya atau tidak," ujarnya.


Fauzi mengingatkan komitmen Indonesia dalam COP 21 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29 persen pada 2030 merupakan komitmen negara negara. Untuk mencapainya, salah satu caranya dengan mengerek porsi energi terbarukan dalam bauran energi.

"Kalau komitmen itu tidak dipenuhi siapa yang rugi? Kita, apalagi kalangan milenial," ujarnya. (sfr/lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER