Di sektor migas, nasionalisasi juga terjadi pada sejumlah blok migas andalan domestik. Pada 1 Januari 2018, PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) resmi mengelola Blok Mahakam pasca ditinggal Total E&P Indonesie.
Kemudian, pada 31 Juli 2018, pemerintah juga menyerahkan hak pengelolaan Blok Rokan, Riau kepada Pertamina selepas masa kontrak Chevron Pacific Indonesia habis pada 2021 nanti.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan keputusan tersebut diambil atas dasar pertimbangan bisnis dan ekonomi setelah mengevaluasi pengajuan proposal Pertamina dalam pengelolaan blok yang dinilai lebih baik dari Chevron yang juga ingin memperpanjang kontraknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pemerintah juga menyerahkan hak pengelolaan blok-blok terminasi yang habis masa kontraknya pada 2018 lalu, di antaranya Wilayah Kerja (WK) Tuban, WK Ogan Komering, WK Sanga Sanga, WK North Sumatra Offshore, WK Southeast Sumatra dan WK East Kalimantan & Attaka.
Dengan menyerahkan kepada Pertamina, pemerintah berharap dapat mendukung ketahanan energi nasional. Terlebih, saat ini, Indonesia merupakan net importir migas. Artinya, produksi dalam negeri masih di bawah kebutuhan.
Setelah menerima hak pengelolaan blok migas dari kontraktor sebelumnya, Pertamina dihadapkan pada tantangan untuk menahan laju penurunan alami dari blok-blok migas yang sudah uzur.
Pada Blok Mahakam, misalnya, setelah diambilalih Pertamina, lifting gas bumi Blok Mahakam hanya mencapai 832 mmscfd atau hanya berkisar 75 persen dari target APBN 2018 yang dipatok 1.110 mmscfd. Capaian tersebut merosot 35,3 persen dari realiasi tahun sebelumnya, yakni 1.286 mmscfd.
Produksi Blok Rokan juga terus melandai. SKK Migas mencatat tahun lalu, produksi Blok Rokan Chevron hanya 209,47 ribu bph atau 98 persen realisasi target APBN 2018 yang dipatok 213 ribu bph. Jika dibandingkan dengan 2017 lalu, produksinya turun 10 persen dari sebelumnya sebesar 223 ribu bph.
Di sisi lain, dengan mendapatkan hak pengelolaan blok migas baru, pundi-pundi pendapatan Pertamina bisa terangkat karena tambahan produksi. Mantan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Ego Syahrial pernah menyebut tambahan pendapatan Pertamina atas pengelolaan Blok Mahakam mencapai Rp7 triliun per tahun.
Namun, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai Jokowi gagal dalam menjalankan amanat konstitusi. Pasalnya, Pertamina yang mengemban tugas negara dalam mengelola blok migas tetap harus membayar bonus tanda tangan atas pengambilalihan blok yang masa kontraknya berakhir.
Misalnya, untuk Blok Rokan, Pertamina harus membayar bonus tanda tangan senilai US$784 juta atau berkisar Rp11,3 triliun. Selain itu, Pertamina juga dipaksa untuk membayar bonus tanda tangan Blok Rokan dua tahun sebelum perusahaan BUMN tersebut benar-benar mengelola.
"Sementara, mengelola blok migas merupakan tugas konstitusional Pertamina. Jadi, tidak ada urusan dia harus membayar bonus tanda tangan. Itu suatu kejahatan saya kira karena melanggar konstitusi. Tugas konstitusionalnya kok disuruh bayar," tegas Marwan.
Tak cuma itu, ia juga menilai seharusnya Pertamina tidak perlu mengikuti proses tender untuk bersaing dengan kontraktor terdahulu, misalnya dengan Chevron di Blok Rokan. Marwan mengingatkan pemerintah memiliki hak untuk tidak memperpanjang kontrak bagi hasil migas meski kontraktor ingin memperpanjang.
Terlebih, Pertamina selama ini juga telah menjalankan tugas negara dengan menjual harga BBM di bawah keekonomian "Kalau mau (penyerahan pengelolaan blok migas kepada Pertamina) diklaim sebagai keberhasilan, saya melihat itu sebagai kegagalan, kejahatan terhadap konstitusi dan kejahatan kepada BUMN," tandasnya.
(sfr/bir)