Jakarta, CNN Indonesia -- Selama 4 tahun menjabat, Pemerintahan Presiden Joko Widodo (
Jokowi) boleh dibilang sukses menasionalisasi sejumlah aset sumber daya alam negara, baik di sektor pertambangan maupun minyak dan gas (
migas).
Salah satu capaian terbesar yang kerap dibanggakan adalah penguasaan mayoritas saham PT
Freeport Indonesia (PTFI) oleh induk perusahaan pelat merah di sektor pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum.
Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, Inalum akhirnya berhasil mengempit 51,23 persen saham Freeport Indonesia pada Desember 2018 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menilik cerita ke belakang, keberadaan Freeport di Indonesia sudah berlangsung puluhan tahun. Kontrak karya (KK) pertama Freeport diteken pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto tepatnya pada 1967 silam. Kala itu, perusahaan asal AS ini diberikan hak untuk mengelola tambang di Papua selama 30 tahun atau hingga 1997.
Dalam perjalanannya, Freeport dan Pemerintah Indonesia kembali meneken KK jilid II pada Desember 1991 yang berlaku hingga 2021 mendatang. Dalam KK jilid II ini, Freeport diwajibkan melakukan divestasi atas 51 persen sahamnya kepada Pemerintah Indonesia paling lambat 2011.
Kewajiban divestasi saham ini juga diperkuat dengan terbitnya Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) hingga Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Namun, hingga 2011, kewajiban divestasi Freeport hanya tercantum di atas kertas. Dalam praktiknya, realisasi divestasi berjalan lamban dan terkesan setengah hati. Bahkan, hingga Jokowi menjabat sebagai presiden pada 2014, pemerintah Indonesia baru menguasai 9,36 persen saham Freeport.
Sementara, 90,64 persen sisanya masih dikuasai oleh Freeport-McMorran, di mana sebanyak 9,36 persen saham di antaranya milik PT Indocopper Investama yang 100 persen sahamnya dikuasai oleh Freeport Mc-Morran.
Jokowi sebenarnya diuntungkan oleh momentum masa berakhirnya KK Freeport Indonesia yang akan berakhir pada 2021. Sebagai investor, Freeport-McMorran membutuhkan kepastian kelangsungan bisnisnya di bumi Papua. Tak ayal, perusahaan tambang asal AS ini menginginkan segera mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 77 tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010, Freeport wajib melepas sahamnya sebesar 30 persen ke investor nasional karena diklasifikasikan sebagai perusahaan pertambangan bawah tanah (underground mining).
Sementara, kewajiban divestasi saham sebanyak 51 persen hanya berlaku bagi perusahaan yang hanya melakukan kegiatan pertambangan saja.
Mengingat pemerintah kala itu telah mengempit 9,36 persen sahamnya, Freeport hanya diwajibkan untuk melepas 10,64 persen sahamnya sehingga kepemilikan saham negara meningkat menjadi 20 persen. Sementara, 10 persen sisanya baru masuk masa penawaran divestasi pada 2020 nanti.
Pada 2015, beberapa opsi skema pengambilalihan saham dipertimbangkan mulai dari diambil langsung oleh pemerintah pusat, konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga penawaran saham perdana (IPO). Pada 2016, Freeport juga sempat menyodorkan nilai divestasi US$1,7 miliar yang ditolak oleh pemerintah.
Keseriusan Pemerintahan Jokowi untuk mencaplok saham Freeport semakin kuat dengan terbitnya PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat PP 23/2010. Beleid itu menyatakan perusahaan tambang modal asing yang telah berproduksi 10 tahun wajib melepas saham secara bertahap dalam lima tahun hingga 51 persen.
 Presiden Jokowi saat proses pengambilalihan PT Freeport Indonesia. (CNN Indonesia/Christie Stefanie). |
Skema untuk divestasi saham diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 9 Tahun 2017 tentang Tata Cara Divestasi Saham dan Mekanisme Penetapan Harga Saham Divestasi Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kemudian, pemerintah juga mengubah rezim KK menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun IUP Khusus Operasi Produksi (IUPK OP). Artinya, jika Freeport ingin terus beroperasi di Indonesia, Freeport harus mengantongi IUPK dan melepaskan 51 persen sahamnya.
Sebagai tindak lanjutnya, pada Agustus 2017, pemerintah berunding dengan manajemen Freeport dan menyepakati empat poin utama. Pertama, landasan hukum yang mengatur hubungan pemerintah dengan Freeport Indonesia adalah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi. Selama Freeport belum mengantongi IUPK, Freeport akan diberikan IUPK sementara yang bisa diperpanjang.
Kedua, Freeport sepakat untuk melakukan pelepasan saham Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional. Pemerintah mengalokasikan 10 persen kepemilikan saham untuk pemerintah daerah (pemda).
Ketiga, Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (
smelter) selama lima tahun atau maksimal pada Oktober 2022. Keempat, stabilitas penerimaan negara untuk menjamin penerimaan negara secara agregat lebih besar dibandingkan penerimaan melalui KK.
Setelah mengantongi kesepakatan tersebut, pemerintah dan Freeport berunding untuk memastikan keempat poin di atas terpenuhi.
Terkait divestasi, pemerintah akhirnya menugaskan Inalum sebagai pihak yang akan mengakuisisi saham Freeport Indonesia. Terlebih, sejak 27 November 2017 lalu, Inalum resmi menjadi holding BUMN tambang.
Kemudian, pada 12 Juli 2018, Inalum menandatangani perjanjian awal (Head of Agreement/HoA) transaksi divestasi saham Freeport. Selain tahapan divestasi, HoA tersebut juga menyepakati nilai divestasi saham sebesar US$3,85 miliar.
Nilai tersebut mencakup pembelian hak partisipasi (Participating Interest) Rio Tinto sebesar 40 persen pada tambang Grasberg yang kemudian akan dikonversi menjadi saham dan 100 persen saham Freeport-McMorran di PT Indocopper Investama.
Bagi Inalum, nilai divestasi saham tersebut wajar. Terlebih, Freeport Indonesia memiliki cadangan terbukti dan terkira yang nilainya sekitar Rp 2.400 triliun. Cadangan tersebut terdiri dari 38,6 miliar pound tembaga, 33,8 juta ounce emas, dan 156,2 juta ounce perak.
Setelah memperhitungkan saham yang terdelusi akibat konversi hak partisipasi Rio Tinto, di akhir transaksi Inalum akan menguasai 51,23 persen saham Freeport Indonesia.
Selanjutnya, pada 27 September 2018 lalu, Inalum, Freeport-McMorran dan Rio Tinto meneken perjanjian pengalihan saham Freeport Indonesia dari Freeport McMoran Inc dan Rio Tinto Indonesia kepada Inalum.
Berikutnya, pada November 2018, Inalum menerbitkan obligasi global senilai US$4 miliar untuk membayar nilai divestasi saham. Sebelumnya, Inalum sempat mempertimbangkan untuk meminjam dari sindikasi perbankan.
Hingga akhirnya, pada 21 Desember 2018, Inalum dinyatakan resmi menjadi pemegang saham mayoritas dari perusahaan asal AS itu. Hal itu diikuti dengan terbitnya IUPK Freeport yang berlaku 2x10 tahun atau hingga 2041.
Secara keuangan, akuisisi Freeport diyakini Inalum bakal memberikan untung besar. Berdasarkan prognosa perusahaan, Freeport bakal mencetak laba bersih hingga US$4,5 miliar pada 2023, setelah tambang bawah tanah Grasberg beroperasi. Setelah itu, laba bersih Freeport akan stabil di kisaran US$2 miliar.
Dari 51,23 persen saham Freeport Indonesia, Inalum akan menguasai 26,23 persen secara langsung. Sementara, 25 persen saham sisanya akan dimiliki oleh PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPMM) yang akan menjadi perusahaan patungan Inalum dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemkab Mimika dan Pemprov Papua.
Kepemilikan saham IPMM terdiri dari 60 persen dikuasai Inalum dan 40 persen BUMD Papua. Inalum juga memberikan pinjaman kepada BUMD sebesar US$819 juta yang dijaminkan dengan saham BUMD di IPMM. Nantinya, BUMD akan mencicil pembayaran pinjaman melalui dividen yang diterima.
Pengamat pertambangan dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai isu pengambilalihan mayoritas saham Freeport akan menjadi bola liar jika dilemparkan kubu petahana dalam debat capres 17 Februari 2019 nanti. Sebab, proses divestasi yang dilakukan oleh pemerintah dan Inalum memiliki banyak titik lemah.
Bahkan, sejumlah pihak ada yang meminta divestasi tersebut dibatalkan karena dianggap merugikan negara. "Misalnya, terkait harga saham yang mahal. Kemudian munculnya Rio Tinto, padahal Rio Tinto tidak ada dalam kontrak karya," imbuh Ahmad kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/2).
Selain itu, meski saham mayoritas Freeport telah dikuasai Inalum, posisi strategis dalam mengendalikan kebijakan, seperti Komisaris Utama dan Direktur Utama Freeport Indonesia masih berasal dari Freeport-McMorran.
Belum lagi, isu ketenagakerjaan terkait pemutusan hubungan kerja (phk) pekerja, isu lingkungan yang menyisakan tanggung jawab pembayaran denda sejumlah Rp 460 miliar atas penggunaan hutan lindung seluas 4.535,93 hektare (ha) tanpa izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta minimnya progres pembangunan fasilitas dan pengolahan (smelter).
"Ini tantangan berat bagi Jokowi untuk bertahan dari isu divestasi Freeport bukan malah menjadi kebanggaan," jelasnya.
Senada dengan Ahmad, Direktur Centre For Indonesian Resources Strategic Studies (CIRRUS) Budi Santoso juga menilai proses divestasi Freeport yang kurang transparan akan menjadi boomerang bagi Jokowi. Terlebih, operasional Freeport selama ini dianggap tidak patuh terhadap hukum di Indonesia.
"Sebenarnya, di balik itu, masih banyak pertanyaan sebenarnya apakah pemerintah sudah melakukan langkah-langkah yang maksimal sehingga apa yang dibayarkan oleh Indonesia sebesar US$3,85 miliar itu wajar atau sebenarnya bisa dikurangi," terang dia.
Kendati demikian, Budi tetap mengapresiasi keberhasilan Jokowi dalam menyelesaikan proses divestasi. Bagaimana pun, capaian ini belum pernah ditorehkan pemerintahan sebelumnya.
[Gambas:Video CNN]
Di sektor migas, nasionalisasi juga terjadi pada sejumlah blok migas andalan domestik. Pada 1 Januari 2018, PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) resmi mengelola Blok Mahakam pasca ditinggal Total E&P Indonesie.
Kemudian, pada 31 Juli 2018, pemerintah juga menyerahkan hak pengelolaan Blok Rokan, Riau kepada Pertamina selepas masa kontrak Chevron Pacific Indonesia habis pada 2021 nanti.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan keputusan tersebut diambil atas dasar pertimbangan bisnis dan ekonomi setelah mengevaluasi pengajuan proposal Pertamina dalam pengelolaan blok yang dinilai lebih baik dari Chevron yang juga ingin memperpanjang kontraknya.
Selain itu, pemerintah juga menyerahkan hak pengelolaan blok-blok terminasi yang habis masa kontraknya pada 2018 lalu, di antaranya Wilayah Kerja (WK) Tuban, WK Ogan Komering, WK Sanga Sanga, WK North Sumatra Offshore, WK Southeast Sumatra dan WK East Kalimantan & Attaka.
Dengan menyerahkan kepada Pertamina, pemerintah berharap dapat mendukung ketahanan energi nasional. Terlebih, saat ini, Indonesia merupakan net importir migas. Artinya, produksi dalam negeri masih di bawah kebutuhan.
Setelah menerima hak pengelolaan blok migas dari kontraktor sebelumnya, Pertamina dihadapkan pada tantangan untuk menahan laju penurunan alami dari blok-blok migas yang sudah uzur.
Pada Blok Mahakam, misalnya, setelah diambilalih Pertamina, lifting gas bumi Blok Mahakam hanya mencapai 832 mmscfd atau hanya berkisar 75 persen dari target APBN 2018 yang dipatok 1.110 mmscfd. Capaian tersebut merosot 35,3 persen dari realiasi tahun sebelumnya, yakni 1.286 mmscfd.
Produksi Blok Rokan juga terus melandai. SKK Migas mencatat tahun lalu, produksi Blok Rokan Chevron hanya 209,47 ribu bph atau 98 persen realisasi target APBN 2018 yang dipatok 213 ribu bph. Jika dibandingkan dengan 2017 lalu, produksinya turun 10 persen dari sebelumnya sebesar 223 ribu bph.
Di sisi lain, dengan mendapatkan hak pengelolaan blok migas baru, pundi-pundi pendapatan Pertamina bisa terangkat karena tambahan produksi. Mantan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Ego Syahrial pernah menyebut tambahan pendapatan Pertamina atas pengelolaan Blok Mahakam mencapai Rp7 triliun per tahun.
Namun, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai Jokowi gagal dalam menjalankan amanat konstitusi. Pasalnya, Pertamina yang mengemban tugas negara dalam mengelola blok migas tetap harus membayar bonus tanda tangan atas pengambilalihan blok yang masa kontraknya berakhir.
Misalnya, untuk Blok Rokan, Pertamina harus membayar bonus tanda tangan senilai US$784 juta atau berkisar Rp11,3 triliun. Selain itu, Pertamina juga dipaksa untuk membayar bonus tanda tangan Blok Rokan dua tahun sebelum perusahaan BUMN tersebut benar-benar mengelola.
"Sementara, mengelola blok migas merupakan tugas konstitusional Pertamina. Jadi, tidak ada urusan dia harus membayar bonus tanda tangan. Itu suatu kejahatan saya kira karena melanggar konstitusi. Tugas konstitusionalnya kok disuruh bayar," tegas Marwan.
Tak cuma itu, ia juga menilai seharusnya Pertamina tidak perlu mengikuti proses tender untuk bersaing dengan kontraktor terdahulu, misalnya dengan Chevron di Blok Rokan. Marwan mengingatkan pemerintah memiliki hak untuk tidak memperpanjang kontrak bagi hasil migas meski kontraktor ingin memperpanjang.
Terlebih, Pertamina selama ini juga telah menjalankan tugas negara dengan menjual harga BBM di bawah keekonomian "Kalau mau (penyerahan pengelolaan blok migas kepada Pertamina) diklaim sebagai keberhasilan, saya melihat itu sebagai kegagalan, kejahatan terhadap konstitusi dan kejahatan kepada BUMN," tandasnya.