Jakarta, CNN Indonesia --
Pengusaha Indonesia menyatakan penolakan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang dikeluarkan oleh
Uni Eropa sejak November 2018. Sebab, kebijakan tersebut dinilai bakal memberi dampak signifikan bagi industri
kelapa sawit Indonesia.
"Ini (RED II) dalam tahapan konsultasi publik, kalau kami tidak merespon nanti dianggap kami setuju. Makanya kami merespon untuk mengatakan kami tidak setuju," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono di kantor Kemenko Maritim, Selasa (26/2).
Tindak lanjut dari RED II, negara-negara Uni Eropa menerbitkan
delegated act atau implementasi regulasi. Joko mengungkapkan pemerintah dan pengusaha kelapa sawit tengah menyusun strategi guna menyuarakan penolakan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami akan koordinasi dengan kementerian juga, supaya suara Indonesia bisa direpresentasikan nanti oleh Kementerian Luar Negeri. Kami harus kompak untuk bilang tidak setuju," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang mengungkapkan Indonesia memiliki waktu hingga 8 Maret 2019 untuk merespon kebijakan tersebut.
Dalam hal ini, Togar bilang Gapki akan memimpin koordinasi di kalangan pengusaha kelapa sawit. Sejalan dengan itu, Gapki juga akan berkoordinasi dengan pihak pemerintah.
"8 Maret itu dimanfaatkan oleh berbagai pihak baik dari sektor swasta, mungkin akan dikoordinir oleh Gapki maupun pemerintah sendiri dari Kementerian Luar Negeri. Tetapi dari dua jawaban ini harus ada sinergi," paparnya.
Sejalan dengan langkah itu, Indonesia juga mempersiapkan diri jika penolakan tersebut harus dibawa ke meja Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam RED II, Uni Eropa menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman beresiko tinggi (
high risk) terhadap deforestasi. Uni Eropa akan membatasi dan secara bertahap bakal menghapuskan penggunaan minyak kelapa sawit atau
Crude Palm Oil (CPO) untuk biodiesel di Uni Eropa.
(ulf/lav)