Bicara pinjaman, memang tak lengkap jika tak membahas bunga. Tahun lalu, masih banyak fintech yang mengklaim menerapkan bunga satu persen per hari. Bunga itu bahkan diklaim yang terendah.
Bayangkan jika Anda meminjam selama 30 hari, maka Anda membayar bunga sebesar 30 persen. Contoh, jika Anda meminjam Rp1 juta. Berarti, Anda harus membayar paling tidak Rp1,33 juta hingga sebulan ke depan.
Belakangan, lewat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), para pelaku industri fintech P2P Lending sepakat menawarkan bunga maksimal 0,8 persen per hari dengan akumulasi denda maksimal tidak lebih dari nilai pinjaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, tetap saja jumlah tersebut tidak boleh disepelekan.
Perhitungannya begini, jika Anda meminjam Rp1 juta dengan bunga 0,8 persen untuk tenor 30 hari. Berarti, Anda harus membayar bunga 24 persen atau sekitar Rp1.250.000.
Bandingkan jika Anda menggunakan kartu kredit, bunga maksimal yang diatur BI adalah 2,25 persen per bulan atau 26,95 per tahun. Artinya, jika masih menggunakan asumsi pinjaman Rp1 juta, bunga yang harus Anda bayar dalam satu bulan hanya Rp22.500.
Sementara, untuk Kredit Tanpa Agunan (KTA) dari bank umum, bunganya bervariasi mulai dari kurang dari satu persen hingga 2 persen per bulan.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Niki Santo Luhur mengungkapkan acuan bunga fintech sebetulnya tak jauh berbeda dengan acuan bunga bank umum. Prinsipnya, bunga mencakup premi risiko dan biaya.
“Benchmark-nya dari bank juga,” tutur dia.
Di bank umum, bunga yang ditawarkan ke nasabah mengacu kepada Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Rata-rata SBDK per Maret 2019 untuk segmen konsumsi non-Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bervariasi mulai dari 8,98 persen hingga 15,75 persen per tahun.
SBDK ini merupakan suku bunga dasar terendah yang dipatok suatu bank. Namun, harap diingat, SBDK belum menghitung premi risiko yang besarannya bergantung penilaian bank terhadap risiko masing-masing debitur.
Director of Retail & SME Business Bank Commonwealth Rustini Dewi mengatakan bank akan mempertimbangkan beberapa faktor yang menjadi landasan penentuan bunga, namun tidak terbatas pada suku bunga acuan BI, dan kondisi likuiditas perbankan, tingkat profil risiko calon debitur, dan biaya seperti biaya dana dan operasional.
“Selain itu, bank juga senantiasa mempertimbangkan kondisi pasar dalam menentukan suku bunga kreditnya. Penentuan bunga dilakukan dengan tetap mengacu pada prinsip transparansi terhadap konsumen yang diawasi oleh OJK,” imbuh Rustini.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan bunga bank satu dengan bank lain tentunya berbeda. Umumnya bank besar menawarkan bunga lebih rendah. Sebaliknya, bank kecil akan memungut bunga lebih tinggi. Selanjutnya, suku bunga itu pun berbeda bergantung peruntukannya.
Ia mencontohkan, segmen kredit modal kerja (KMK) tentu berbeda dengan segmen kredit konsumsi dan investasi. Di antara ketiganya, segmen kredit konsumsi menawarkan bunga paling tinggi.
OJK pun mengawasi bunga-bunga yang ditawarkan bank kepada nasabah. Artinya, bank tidak bisa ‘seenak jidat’ mematok bunga selangit.
“Nah, kalau fintech dibandingkan dengan bank tentu (bunganya) tinggi. Tetapi kan, ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Bagus sekarang sudah diatur batas tertingginya. Meskipun masih tinggi wajar lah, karena mereka risikonya pun tinggi,” jelasnya.
Kepala Ekonom BTN Winang Budoyo menuturkan bunga tinggi di pinjaman online karena pinjaman diberikan tanpa jaminan. Artinya, risiko pemberi pinjaman tak mendapatkan uangnya kembali lebih tinggi. Memang, bank umum pun kerap memiliki produk kredit tanpa jaminan, namun prosesnya lebih ketat dan hati-hati. Berbeda dengan pinjaman online yang lebih longgar.
“Saya kira berapapun bunga yang dipatok di fintech, ke depannya tetap harus ada regulator yang bisa memberikan rambu-rambu. Selain itu, fintech harus terbuka. Karena, bunga sangat berkaitan dengan kemampuan bayar nasabah. Masyarakatnya juga harus diedukasi,” tandasnya.
Sepakat Batasi BungaWakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko tak merinci struktur bunga pinjaman online. Namun, ia menegaskan bahwa bunga pinjaman online dibatasi sebesar 0,8 persen per hari sesuai kesepakatan pelaku. Kesepakatan itu tertuang dalam kode etik antar pelaku usaha.
“Di P2P Lending, orang yang punya uang bisa memilih memberikan dananya ke peminjam dengan bunga sekian. Semakin tinggi risikonya, semakin tinggi bunganya. Kalau di cash loan juga mirip. Nanti ada biaya dari lender (pemberi pinjaman), biaya dari platform dan administrasi atau biaya transaksi. Tetapi, semua dibatasi maksimal 0,8 persen,” katanya.
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan OJK Hendrikus Passagi membenarkan bahwa pelaku usaha menelurkan kode etik yang salah satu isinya ialah mematok bunga maksimal pinjaman online sebesar 0,8 persen. Hitung-hitungan tersebut diinisiasi oleh pelaku berdasarkan risiko dan biaya yang timbul.
Itu pun, sambung dia, akumulasi denda maksimal sebesar 100 persen dari nilai pokok. Tidak hanya itu, pelaku juga hanya dapat menagih maksimal dalam waktu 90 hari.
“Sehingga, seluruh biaya yang timbul, bunga dan denda, tidak boleh nilainya lebih dari nilai pinjaman. Misalnya, pinjam 1 juta, maka maksimal dibayar Rp2 juta,” ucapnya.
CEO Finmas Peter Lydian Sutiono menyatakan sebetulnya tak semua fintech mematok bunga 0,8 persen per hari. Toh, angka tersebut cuma menjadi acuan batas tertinggi bunga yang bisa diberikan pelaku ke nasabah.
Di Finmas, misalnya, ia mengklaim menawarkan bunga 9,95 persen per bulan, plus biaya pemrosesan (processing fee) sebesar 5 persen. Artinya, total bunga yang dibayarkan nasabah cuma 14,95 persen per bulan atau rata-rata, sekitar 0,50 persen per hari.
“Ingat, kami (fintech) tidak diperbolehkan mencari keuntungan dari bunga. Makanya, kami punya processing fee. Lagipula, bunga itu untuk masyarakat dari masyarakat, karena bunga kembali ke investor (lender), bukan untuk kami platform,” tegas dia.
Di Uang Teman, CEO sekaligus Co-Founder Aidil Zulkifli bahkan menyebut platform-nya tak memungut bunga. Melainkan, biaya layanan. Biaya layanan itu mencakup beberapa komponen biaya.
Biaya itu terdiri dari suku bunga pemberi pinjaman sebesar 15 persen, biaya kredit yang meliputi assesment risiko, mitigasi risiko, risiko hukum, dan penagihan sebesar 50 persen, biaya operasional 15 persen, termasuk komisi untuk plafform penyelenggara 20 persen.
Adapun, biaya layanan yang dimaksudkan dipatok sebesar 0,8 persen per hari. Biaya itu berlaku untuk peminjam yang baru pertama kali mengajukan pinjaman.
“Untuk peminjam yang melakukan pinjaman berulang, mereka mendapat biaya layanan yang lebih rendah,” tutur Aidil.
Hati-hati Pinjaman Online Ilegal
Bagi industri Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), khususnya yang bergerak di segmen kredit mikro tanpa agunan, Aidil menyebut biaya layanan sebagai refleksi dari tingkat risiko bagi pemberi pinjaman.
Sebab, segmen ini merupakan masyarakat golong
underserved (belum terlayani oleh jasa keuangan formal). Artinya, mereka tidak memiliki rekam jejak kredit yang menjadi tolak ukur kelayakan dalam menerima kredit.
Oleh karena itu, terobosan menggunakan teknologi hadir dengan basis sumber data yang kemudian diolah menjadi skor kredit. Skor itu lah yang menentukan kelayakan seseorang menerima pinjaman.
“Informasi ini yang kami berikan kepada calon pemberi pinjaman, sehingga mereka dapat membuat keputusan lebih nyaman dan akurat. Berdasarkan hal-hal itu kami menerapkan biaya layanan,” imbuh Aidil.
Apabila marak penawaran pinjaman online dengan iming-iming bunga rendah, ia menilai sejatinya hasil dari ‘discounting’ profil risiko dari calon peminjam semata. Praktik seperti ini pada akhirnya justru akan merugikan pemangku kepentingan di dalamnya.
Lebih bahaya lagi, jika tawaran pinjaman online datang dari fintech ilegal. Meski, tidak dapat ditampik, kebutuhan yang tinggi di masyarakat menjadi salah satu faktor utama menjamurnya fintech-fintech ilegal.
Berdasarkan data OJK, sebanyak 144 perusahaan fintech P2P Lending tak berizin hingga April 2019. Angka ini menambah panjang daftar fintech abal-abal menjadi 947 entitas yang berhasil disisir OJK sejak 2017 silam.
“Mereka kemudian beroperasi seperti fintech terdaftar pada umumnya, lewat aplikasi, tidak memiliki alamat kantor yang jelas, dan mematok bunga tinggi. Masyarakat juga tidak cermat memilih, dan ketika menjadi persoalan baru tahu kalau ternyata ilegal,” tambah Sunu Widyatmoko.
Sekadar mengingatkan, sebelumnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat menerima 3.000 pengaduan terkait pelanggaran yang dilakukan pinjaman online hingga akhir tahun lalu.
Di antaranya, tekanan dalam penagihan utang dengan membocorkan data pribadi hingga pelecehan seksual. Bahkan, sempat terjadi kasus sopir taksi bunuh diri akibat terjerat pinjaman online.
Namun, sayangnya, Sunu menyatakan LBH tak merilis daftar lengkap penyedia jasa pinjaman online yang bermasalah. Sehingga, ia belum bisa memastikan pelanggaran dilakukan oleh penyedia jasa yang terdaftar dalam asosiasi, atau pun lembaga yang terdaftar dan diawasi OJK.
Menurut Hendrikus Passagi, cara terbaik untuk masyarakat mengetahui fintech ilegal atau tidak adalah dengan memeriksa nama penyedia jasa di situs resmi OJK.
“Jika terdaftar, seharusnya aturan mainnya jelas ya. Apabila yang legal bermasalah, silakan laporkan ke kami,” ujar Hendrikus.
(vws)