YLKI: Produk Berpemanis Buatan Harus Diberi Label Besar

CNN Indonesia
Jumat, 11 Okt 2019 20:50 WIB
YLKI mendesak pemerintah dan BPOM untuk memperketat pengawasan dengan merevisi aturan pelabelan pada produk-produk yang mengandung pemanis buatan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. (CNN Indonesia/ Aria Ananda).
Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memperketat pengawasan dengan merevisi aturan pelabelan pada produk-produk yang mengandung pemanis buatan.

"Seperti memperjelas atau memperbesar tulisan, memberikan pewarnaan khusus, bahkan memberikan peringatan berupa gambar agar mudah dipahami konsumen," ujar Peneliti YLKI Natalia Kurniawati, Jumat (11/10).

Dia mengatakan imbauan memperketan pengawasan itu bertujuan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Sebab, minimnya informasi dan penanda kandungan pemanis buatan pada label produk makanan dan minuman kemasan dapat mengancam kesehatan masyarakat, terutama kelompok rentan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua YLKI Tulus Abadi menambahkan label informasi mengenai komposisi atau penanda itu kerap disembunyikan oleh produsen. Misalnya, dengan ukuran tulisan yang kecil, dan penempatan label informasi produk di tempat yang tak terjangkau mata konsumen.
"Contohnya seperti ditaruh di sisi samping packaging produk, di bagian lipatannya, itu kan gak terlihat langsung pada konsumen ya, produsen kesannya setengah hati menampilkan informasi penting ini di label produk," kata Tulus di kantor YLKI, Jakarta, Jumat (11/10).

Saat ini, terdapat 13 jenis pemanis dan pemanis buatan yang memperoleh izin digunakan dalam pangan olahan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), seperti aspartam, poliol dan sebagainya.

Tulus menduga pemanis buatan dapat berpotensi memiliki banyak dampak negatif bagi kesehatan konsumen.

Ia mengungkap berbagai studi telah dilakukan untuk menguji dampak konsumsi pemanis buatan terhadap kejadian penyakit, seperti gangguan fungsi ginjal, kegemukan, penyakit saraf, hingga kanker.

"Bahkan, beberapa negara sudah membatasi bahkan melarang secara ketat penggunaan pemanis buatan," imbuhnya.
Peringatan kesehatan kepada masyarakat telah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.33 tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan dan keputusan BPOM No. HK.00.05.5.1.457 tahun 2014 tentang persyaratan penggunaan bahan tambahan pangan pemanis buatan dalam produk pangan.

Peraturan tersebut menjelaskan jenis dan persyaratan tertentu dalam penggunaan dan pemasangan label kepada produk yang memiliki komposisi pemanis buatan.

Selain itu, ada peraturan penandaan khusus dalam pelabelan produk yang memiliki pemanis buatan. Kedua aturan tersebut digunakan untuk melindungi konsumen, terutama kelompok rentan.

"Peringatan yang sangat minim ini berpotensi membuat banyak anak, ibu menyusui dan ibu hamil mengonsumsi makanan atau minuman yang berpemanis buatan, tanpa mengetahui kandungannya," kata Tulus.
[Gambas:Video CNN]
Berdasarkan survei yang dilakukan YLKI terhadap 90 orang yang terdiri dari tiga kelompok rentan yakni balita, ibu hamil, dan ibu menyusui, didapatkan data bahwa sebanyak 43 persen anak balita pernah mengonsumsi pangan berpemanis buatan jenis minuman serbuk.

Selain itu, didapatkan data sebanyak 70 persen Ibu hamil, dan 80 persen Ibu Menyusui mengonsumsi dan menggunakan bumbu masakan yang mengandung pemanis buatan.

Dari total keseluruhan responden, 51 persen mengaku jarang membaca label produk yang akan dibeli.

Mayoritas responden mengaku penandaan pemanis buatan dinilai dibuat secara tidak efektif dengan pemenpatan tersembunyi, dan juga sulit terbaca karena tulisan terlalu kecil dan tidak menarik perhatian pembeli.

"Mereka beranggapan tulisan kalah bombastis dengan klaim produk seperti bervitamin, less sugar, dan sebagainya," kata Peneliti YLKI Natalia Kurniawati.
(ara/lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER