Terbelenggu Kemiskinan Dalam RPJMN 2015-2019, tingkat kemiskinan diproyeksi menurun ke kisaran 7 persen sampai 8 persen pada penghujung tahun ini. Namun per Maret 2019, angka kemiskinan masih berada di angka 9,41 persen.
Sementara tingkat ketimpangan alias
gini ratio ditargetkan berada di kisaran 0,36 pada akhir tahun ini. Realisasinya, per Maret 2019 baru mencapai 0,382.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro mengakui bahwa target itu memang sulit dicapai pemerintah. Bahkan, ia memperkirakan tingkat kemiskinan hanya akan mentok di angka 9,2 persen pada akhir tahun ini.
Ia mengatakan ketika jumlah orang miskin sudah sedemikian rupa dipangkas, tentu masih ada orang yang sangat miskin yang sulit 'diselamatkan'.
Terlebih, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak cukup tinggi. "Pertumbuhan ekonomi 5 persen atau 5,1 persen belum cukup karena kita masih punya isu kemiskinan dan pengangguran, sehingga kita masih membutuhan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi," katanya.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai tingkat kemiskinan dan gini ratio sulit mencapai target karena pemerintah hanya mengandalkan banjir bantuan sosial (bansos). Apalagi, bansos yang diberikan sifatnya terus menerus dan cenderung tidak efektif.
"Padahal, tahun sebelumnya anggaran bansos lebih kecil, tapi tetap bisa menurunkan lebih banyak penduduk miskin. Artinya, ini justru semakin tidak efektif," ucapnya.
Sementara, langkah fundamental guna menekan kemiskinan dan ketimpangan justru minim dilakukan. Misalnya menciptakan lapangan pekerjaan yang mampu meningkatkan taraf hidup dan daya beli masyarakat.
Padahal, kebijakan bansos memberikan risiko, yaitu membuat masyarakat mudah bergantung kepada pemerintah dan berpotensi membuat kantong negara jebol. Untuk itu, kebijakan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan seharusnya berorientasi pekerjaan.
Namun, sebelum memberi pekerjaan, pemerintah harus turut memastikan masyarakat mendapatkan pendidikan dan keterampilan. Sebab, menurut Eko, kedua hal itu juga yang sejatinya bisa menyelamatkan masyarakat dari jerat kemiskinan.
Sedangkan bansos seharusnya hanya menjadi insentif yang sifatnya sementara dan jangan terus menerus diberikan kepada masyarakat, meski negara memiliki fungsi perlindungan sosial kepada masyarakatnya.
"Karena kunci utama pengentasan kemiskinan itu sebenarnya pendidikan, kalau mereka tidak punya pendidikan, keterampilan. Tapi, memang yang sekarang terjadi anggaran yang terus digelontorkan juga tak efektif," ungkapnya.
Warga beraktivitas di bantaran Sungai Ciliwung. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono). |
Sulit Tekan Pengangguran
Sama seperti tingkat kemiskinan, Jokowi juga berharap mampu menekan angka pengangguran. RPJMN 2015-2019 menargetkan tingkat pengangguran berada di kisaran 4 persen sampai 5 persen. Namun realisasinya, masih jauh dari harapan.
Pada 2015, tingkat pengangguran berada di angka 5,81 persen pada Februari dan 6,18 persen pada Agustus. Kemudian, pada 2016, sempat turun menjadi 5,5 persen pada Februari, namun naik lagi jadi 5,61 persen pada Agustus.
Lalu, turun lagi menjadi 5,33 persen pada Februari 2017 dan naik jadi 5,5 persen pada Agustus 2017. Selanjutnya, turun ke 5,13 persen pada Februari 2018, namun naik kembali ke 5,34 persen pada Agustus 2018. Sementara pada Februari 2019 turun menjadi 5,01 persen.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan tingkat pengangguran masih cenderung naik turun karena pemerintah belum cukup sukses meningkatkan realisasi investasi di Tanah Air. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja masih cukup terbatas.
"Semakin banyak investasi, semakin banyak bisa menciptakan lapangan kerja," jelasnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal melihat memang permasalahan utama minimnya penciptaan lapangan kerja guna menurunkan tingkat pengangguran memang karena investasi yang masih mandek. Ini terjadi karena pemerintah tidak fokus membidik investasi yang hendak masuk ke dalam negeri.
Misalnya, pemerintah cenderung mengambil investasi untuk proyek-proyek yang belum tentu bisa menciptakan lapangan kerja, seperti infrastruktur. Memang, jumlah pekerja yang dibutuhkan meningkat, namun tidak mencakup banyak sektor.
Hal ini berbeda bila pemerintah berhasil mendatangkan investasi ke industri padat karya yang memungkinkan terciptanya banyak lapangan kerja bagi kalangan buruh.
 Dalam tiga tahun terakhir angka pengangguran di Indonesia terus menurun. Walaupun begitu, persentase pengangguran lulusan pendidikan tinggi justru naik. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Itulah pentingnya investasi, kalau seperti ini ketika investasi 'mandek', penciptaan lapangan kerja rendah dan seolah-olah tenaga kerja yang ada tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan pasar. Padahal, seharusnya mereka dibuatkan pasar tenaga kerja yang sesuai dengan pendidikan mereka juga," jelasnya.
Selain itu, ada sedikit salah strategi dari pemerintah, di mana pemerintah lebih mementingkan peningkatan keterampilan tenaga kerja ketimbang kesempatan kerja itu sendiri. Memang, keterampilan itu penting, tapi menurut Faisal, tak ada salahnya bila pemerintah merealisasikannya dalam bentuk kesempatan kerja dulu, baru menambah kemampuan tenaga kerja.
"Orang itu kadang yang penting dapat uang dulu, bisa hidup, baru dia tertarik tambah
skill agar gajinya naik," katanya.
Utang Negara Membengkak
Kepala Negara sejatinya tidak pernah mematok berapa jumlah utang yang sekiranya akan ditargetkan. Kendati demikian, Tim Kampanye Jokowi kala Pemilu 2014 pernah menyatakan bakal menekan penggunaan utang luar negeri.
Sementara realisasi dalam lima tahun terakhir, jumlah dan rasio utang Indonesia terus meningkat. Pada 2015, jumlah utang pemerintah senilai Rp3.165 triliun dengan rasio sekitar 27,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jumlah itu kemudian meningkat pada 2016 menjadi Rp3.515 triliun dengan rasio 28,33 persen dari PDB. Begitu pula pada 2017 dan 2018, masing-masing Rp3.825 triliun atau 29,4 persen dari PDB dan Rp4.418 triliun atau 29,98 persen.
Sementara per Agustus 2019, jumlahnya sudah menembus angka Rp4.680,19 triliun atau 29,8 persen dari PDB. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah mau tidak mau harus menambah jumlah utang karena memiliki kebutuhan belanja yang cukup tinggi dalam rangka merealisasikan berbagai target pembangunan.
"Sehingga, untuk menutupi kekurangan anggaran tersebut, pemerintah harus mencari alternatif sumber pembiayaan lain. Salah satunya, dengan utang," ungkapnya.
Kendati begitu, ia selalu mengklaim bahwa penggunaan utang pemerintah selalu dikelola dengan baik. Bahkan, pemerintah tak akan sampai mengingkari janji rasio utang sebesar 30 persen dari PDB.
"Saya menerbitkan utang sesuai dengan undang-undang, saya menerbitkan utang bukan karena saya hobi menerbitkan," tekannya.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menilai jumlah dan rasio utang pemerintah terus meningkat memang karena kebutuhan pembangunan yang besar. Namun, menurutnya, pemerintahan Jokowi seharusnya bisa lebih cakap dalam mengelola jumlah utang yang akan ditarik.
Sebab, menurut Bhima, banyak utang yang ditarik pemerintah untuk proyek infrastruktur tetapi ketika dibangun proyek itu tidak memberikan dampak ekonomi yang cukup besar. Walhasil, utang yang sudah ditarik tidak cukup memberikan dampak positif kepada perekonomian.
Maka, tak heran bila banyak kalangan yang 'nyinyir' dengan kebijakan penarikan utang pemerintah. Selain itu, ia mengatakan tingginya penarikan utang di era Jokowi juga terjadi karena minimnya kemampuan negosiasi pemerintah terhadap investor mengenai tingkat imbal hasil (
yield) dari surat utang.
Hal ini akan membuat pemerintah menanggung beban pembayaran pokok utang dan bunga utang yang lebih besar.
"Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN di tahun berjalan," katanya.
(uli/sfr)