Jakarta, CNN Indonesia -- "
Banyak tawaran cashback (pengembalian uang) dari e-money (uang elektronik). Akhirnya, bikin semua akun," curhat Asteria, salah satu konsumen.
Tawaran
cashback cukup menggiurkan Asteria hingga akhirnya ia memiliki empat e-money sekaligus. Alasannya sederhana, demi menikmati momentum 'bakar duit' para pelaku usaha e-money.
Walaupun, ketika ditanya sampai kapan akan menggunakan keempat e-money itu, Asteria tak menjawab pasti. "Pasti akan mengurangi dua dari 4 e-money sekarang. Sambil menunggu yang mana yang mulai sedikit memberi promo atau
cashback," jelasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cerita senada datang dari konsumen lain, Surya. Karyawan swasta ibu kota tersebut mengaku ketergantungan menggunakan ojek online (ojol).
Nah, untuk memudahkan mobilitas sehari-hari bersama ojol, ia memilih dua e-money yang terhubung dengan aplikasi transportasi daring itu.
"Belum tahu nih bakal terus pakai yang mana. Sementara sih, pakai yang lagi banyak kode promo saja," ungkap Surya.
Cashback memang menjadi fenomena sejak kehadiran e-money dalam 4 tahun-5 tahun terakhir. Tidak cuma di ibu kota, tetapi juga kota-kota besar lainnya.
Tengok saja, jika Anda berjalan ke satu pusat perbelanjaan (mal), tidak jarang papan bertuliskan diskon dengan angka ciamik menghias halaman muka restoran dan tempat jajan. Padahal, gimmick diskon atau
cashback itu diiringi sederet syarat dan ketentuan.
Jika Anda kurang jeli melihat syarat dan ketentuan tersebut, kedok diskon atau
cashback 'selangit' ternyata cuma 'janji surga.' Pun demikian, tidak dapat dipungkiri iming-iming diskon selangit berhasil membuat konsumen merogoh kocek mereka.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan volume transaksi uang elektronik hingga akhir 2018 meroket 209,8 persen menjadi 2,9 miliar transaksi. Hingga Juli 2019, angka transaksinya bahkan nyaris menyamai sepanjang tahun lalu dengan total transaksi 2,7 miliar.
Secara nilai, transaksi uang elektronik mencapai Rp47,2 triliun per 2018. Per Juli 2019, nilai transaksi ini tembus Rp69 triliun.
Riset iPrice bersama App Annie memprediksi transaksi e-money bisa menyentuh US$25 miliar atau Rp350 triliun pada 2023 mendatang. Potensi transaksi ini memperhitungkan penetrasi internet yang baru 32,3 persen dan pasar ponsel pintar (
smartphone) sebesar 40 persen.
Peningkatan transaksi boleh dibilang tak terlepas dari banyaknya promo dan
cashback yang diberikan penyelenggara demi memanjakan konsumen. Tak cuma itu, ruang untuk berkembangnya digital payment, khususnya e-money, masih sangat luas.
Data iPrice per 12 Agustus 2019 melansir tiga pemain e-money besar dengan pengguna terbanyak masih diduduki oleh pemain lokal, yaitu Go-Pay, OVO, DANA.
Pertanyaannya, sampai kapan para e-money akan 'bakar uang' menggunakan
cashback untuk menggaet konsumen?
[Gambas:Video CNN]Gaet Konsumen LoyalHead of Corporate Communications GoPay Winny Triswandhani mengakui semua orang menyukai apapun yang berhubungan dengan promosi. Ia menilai promosi dengan menawarkan
cashback merupakan usaha yang wajar.
"Promosi merupakan hal wajar dilakukan di segala jenis usaha maupun skala bisnis. Begitu juga di Go-Pay, kami menerapkan promosi untuk mendorong pengguna baru yang awalnya menggunakan
cash (tunai) untuk mencoba Go-Pay agar bisa bertransaksi nontunai yang lebih praktis dan efisien," imbuh dia.
Itu pun, lanjut Winny, tak cuma menyasar pengguna di perkotaan yang terbiasa dengan transaksi nontunai, melainkan seluruh lapisan konsumen. "Tantangan mengedukasi sektor ini cukup signifikan karena mereka sangat terbiasa bertransaksi tunai, malah banyak yang belum tersentuh jasa keuangan formal (belum memiliki rekening bank)," paparnya.
Managing Director OVO Harianto Gunawan mengakui
cashback menjadi salah satu cara untuk mengedukasi pengguna agar mau menggunakan layanan mereka. Selanjutnya, ia akan mendengarkan kebutuhan konsumen untuk menggaet konsumen setia.
"Di era yang serba cepat,
demand (permintaan) dari pasar dan konsumen juga dengan cepat berganti, sehingga kami sebagai perusahaan teknologi harus segera beradaptasi dan mengikuti layanan yang dibutuhkan oleh konsumen," ujarnya.
Chief Communication Officer DANA Chrisma Albandjar pun memaparkan konsep
cashback merupakan bentuk edukasi. Bukan program bakar duit. Pasalnya, poin terpenting dalam perusahaan teknologi adalah pengalaman sehingga
cashback digunakan untuk menarik pelanggan agar mencoba aplikasi tersebut.
"
Cashback itu jangan dibilang bakar duit. Uang kalau dibakar jadi abu. Kalau
cashback itu biar pelanggan ada
experience (pengalaman). Kalau nyaman
cashless ya, apakah mereka akan
stay? atau tidak?," terang dia.
Chrisma menilai dengan uang tunai yang lebih mahal karena pemerintah harus mencetak uang, opsi cashless dengan e-money bisa menjadi solusi. Ia yakin jika
cashback ditarik atau dihentikan, dan perusahaan sudah mendapatkan kepercayaan pelanggan, nantinya akan muncul konsumen setia.
"Makanya, kami memberikan
cashback per
merchant itu satu kali dalam setiap pekan. Dengan harapan, mereka akan terus menerus menggunakan DANA," ujar Chrisma.
Baik Go-pay, OVO maupun DANA menyakini masih banyak ruang untuk industri e-money bertumbuh. Harianto, misalnya mengungkap adopsi pembayaran non-tunai masih di bawah 10 persen. Sehingga lanskap pembayaran digital masih memiliki potensi yang besar.
"Menurut data dari Boston Consulting Group, prediksi populasi
Middle-class and
Affluent Customer Indonesia di 2020 sebesar 141 juta orang atau 64 persen dari total populasi Indonesia saat ini. Mereka adalah
early adopter dari teknologi baru, di mana mereka sudah sangat terbiasa dengan transaksi yang bersifat online. Menurut kami, faktor inilah yang mengakibatkan cepatnya perkembangan fintech di Indonesia," papar Harianto.
Ia melanjutkan saat ini platform mereka memiliki pertumbuhan nilai transaksi sebesar 55 persen selama 2019 dan memproses 1 miliar transaksi dalam satu tahun secara
real-time dengan peningkatan jumlah transaksi lebih dari 70 persen.
Chrisma menilai dengan banyaknya pemain e-money justru akan semakin bagus untuk industri
digital payment di Indonesia.
"Makin banyak pemain makin bagus, justru akan semakin teredukasi. Pasar Indonesia masih sangat luas," ujarnya.
DANA sendiri saat ini tercatat memiliki 30 juta pengguna. Menurut data Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), ada 61 penyedia layanan
digital payment. Jika dirinci berdasarkan fungsinya, iPrice mengungkap ada 10 e-money yang tercatat di Indonesia.
Dengan banyaknya pemain, Peneliti LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Febrio Kacaribu menilai pemain e-money di Indonesia idealnya berjumlah dua hingga tiga pemain saja. Ia bilang konsolidasi di antara pemain yang kecil itu wajar agar bisa bersaing dengan pemain besar.
"Konsolidasi itu sudah terjadi di China dalam kurun waktu 10 tahun. Sekarang, tinggal tersisa Alipay dan WeChat Pay yang menguasai pangsa pasar dompet digital China," ujarnya saat workshop fintech (18/12) lalu.
Febrio menekankan pemain kecil penting melakukan konsolidasi dan menyisakan dua hingga tiga pemain, agar 'cara bermain' e-money bisa wajar dan tidak harus membakar uang dengan promo
cashback.
"Pemain di bawah, jika tidak bisa jadi tiga besar. Tidak ada alasan untuk hidup," tandasnya.
Di China, misalnya dalam kurun waktu satu dekade, dari e-money yang banyak pemain. Akhirnya mulai susut dan didominasi oleh Alipay dan WeChat. Sehingga, di pasar China persaingan yang terjadi tidak perlu berlomba
cashback.
Pasar uang elektronik pun lebih matang. Makanya, ia menyarankan Indonesia belajar dari strategi e-money Negeri Tirai Bambu tersebut, sehingga tidak kalah saing dengan e-money asing yang akan masuk ke Indonesia.