ANALISIS

Perppu Jokowi, Rupiah, Corona dan Ancaman Citra BI

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Kamis, 16 Apr 2020 08:24 WIB
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan pemaparan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis, 21 Februari 2019.
Restu Jokowi ke BI membeli surat utang pemerintah di pasar perdana dinilai bisa merusak citra BI. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) berupaya menyelamatkan ekonomi dalam negeri dari tekanan virus corona. Mereka menyatakan telah menggelontorkan dana hampir Rp300 triliun untuk melakukan injeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan sejak awal tahun hingga saat ini.

Upaya itu dilakukan demi menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah penyebaran wabah tersebut. Bila dirinci, dana digunakan untuk membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder agar nilai tukar rupiah bisa menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar Rp166 triliun.

Ini adalah bentuk intervensi BI karena banyak investor asing menarik dananya dari pasar keuangan Indonesia, sehingga membuat rupiah tertekan. Selain itu, BI juga melakukan injeksi likuiditas ke perbankan lebih dari Rp56 triliun melalui skema term-repo dengan underlying SBN yang dimiliki perbankan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian, bank sentral juga menurunkan giro wajib minimum (GWM) rupiah sebesar 50 basis poin (bps), sehingga menambah likuiditas di perbankan sebesar Rp22 triliun.

Lalu, BI menambah lagi likuiditas untuk perbankan sebesar US$3,2 miliar dengan menurunkan GWM valuta asing (valas) sebesar 4 persen. Seluruh keputusan ini diharapkan bisa menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan.

Namun, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menilai sampai sejauh ini langkah BI belum sepenuhnya mampu membuat sistem keuangan di Indonesia stabil.

Memang, ratusan triliun yang dikeluarkan bank sentral untuk membeli SBN telah membuat nilai tukar rupiah yang karena corona sempat tertekan hampir ke level Rp17 ribu per dolar AS kembali menguat ke kisaran Rp15 ribu.

Namun, intervensi itu belum dapat mengembalikan rupiah ke area Rp14 ribu per dolar AS seperti yang berhasil diraih pada awal 2020 kemarin. Eko menyatakan sulit bagi BI untuk membawa rupiah ke Rp14 ribu per dolar AS ketika persoalan virus corona masih di dunia dan Indonesia belum selesai.

[Gambas:Video CNN]
"Ekonomi global belum stabil, prediksi ekonomi global akan terkoreksi jadi tidak mungkin rupiah berjaya lagi di Rp14 ribu per dolar AS. Mau diinjeksi berapa pun susah ke Rp14 ribu per dolar AS," ungkap Eko kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/4).

Ia bilang injeksi BI yang mencapai ratusan triliun itu hanya mampu menahan pelemahan rupiah agar tak tembus Rp17 ribu per dolar AS. "Ini butuh langkah lain yang membuat pasar itu kembali percaya," tutur Eko.

Langkah tersebut kata Eko, menjaga independensi BI. Jika pasar menilai kebijakan yang mereka keluarkan diambil karena pengaruh dari pemerintah, maka pasar akan bereaksi negatif dengan menarik dananya dari pasar keuangan Indonesia.

Kalau itu yang terjadi, rupiah bisa kembali tertekan. "Bank sentral di mana-mana itu independen, tidak terpengaruh dari sisi fiskal atau dalam hal ini pemerintah," ucap Eko.

Berkaitan dengan independensi tersebut, ia menilai BI masih terjaga. Ia bilang intervensi pemerintah belum mendominasi kebijakan BI.

Hal itu tercermin dari kebijakan BI menahan suku bunga acuan di level 4,5 persen dalam rapat dewan gubernur (RDG) bulan ini. "Padahal kalau melihat pemerintah kan inginnya diturunkan lagi untuk bantu stimulus ekonomi, tapi BI menahan," kata Eko.

Ia bilang BI sengaja menahan suku bunga acuan karena memang kebijakan itu tak akan efektif untuk meminimalisir dampak virus corona terhadap ekonomi domestik. Maklum, di tengah kondisi sekarang, perbankan pasti menahan diri untuk menyalurkan kreditnya demi mengurangi risiko gagal bayar.

"Kalau teorinya memang bagus, bunga kredit turun seharusnya penyaluran kredit naik. Tapi situasinya sekarang berbeda karena bank juga takut risiko kredit macetnya naik," jelas Eko.

Selain itu, permintaan kredit juga tak naik signifikan meski bunga yang ditawarkan perbankan sudah murah. Sebab, banyak dunia usaha yang operasionalnya terganggu karena penyebaran virus corona. Hal itu membuat manajemen tak melakukan ekspansi besar-besaran.

"Jadi BI sebenarnya sudah tahu kalau ini tidak akan efektif, makanya suku bunga acuan ditahan di level 4,5 persen," katanya.

Selain menjaga independensi, Eko mengatakan bank sentral juga harus lebih baik fokus menjaga kepercayaan pasar agar investor asing tetap betah menempatkan dananya di pasar keuangan dalam negeri. Dengan begitu, rupiah tak anjlok lagi dari posisi sekarang.

Untuk menjaga kepercayaan pasar, BI bisa menjalin lebih banyak kerja sama dengan bank sentral dalam memasok kebutuhan dolar AS di Indonesia. Eko melihat BI sudah melakukan itu.

Beberapa waktu lalu, BI sudah bekerja samanya dengan The Fed dalam bentuk fasilitas purchase agreement (repo) line sebesar US$60 miliar. Dana itu memang tak akan menambah cadangan devisa (cadev).

Namun, BI bisa menggunakan dana itu sewaktu-waktu untuk memasok dolar AS di Indonesia jika situasi sudah semakin parah. Dan upaya tersebut ternyata berdampak positif. 

Rupiah belakangan ini mulai bergerak stabil walaupun virus corona masih belum usai. "Ini upaya yang efektif menenangkan pasar, yang penting itu pasar tenang. Kalau pasar tidak percaya maka akan terus terjadi aliran dana asing yang keluar," ujar Eko.

Diketahui, saat ini BI memiliki perjanjian kerja sama berbentuk repo line dengan Bank for International Settlements (BIS) sebesar US$2,5 miliar, bank sentral Singapura US$3 miliar, dan dengan sejumlah bank sentral lain sekitar US$500 juta sampai US$1 miliar.

Kemudian, BI juga bekerja sama dengan beberapa bank sentral lain untuk memasok dolar AS di Indonesia dalam bentuk bilateral swap. Kerja sama itu dilakukan dengan bank sentral China sebesar US$30 miliar, Jepang US$22,7 miliar, Singapura US$7 miliar, dan Korea Selatan US$10 miliar.

Repo line dan bilateral swap merupakan dua fasilitas yang dapat diberikan oleh bank sentral ke bank sentral lainnya untuk memasok dolar AS. Hal itu merupakan upaya pertahanan lapis kedua (second line of defense) BI agar rupiah tetap bergerak stabil.

Meski sudah memiliki langkah baik, Eko masih melihat ada ganjalan bagi BI dalam menjaga ekonomi dalam negeri; kebijakan pemerintah mengizinkan BI membeli surat utang pemerintah di pasar perdana. 

Restu pemerintah untuk BI membeli surat utang pemerintah di pasar perdana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Ia berharap kebijakan tersebut tidak terlaksana. Eko bilang pembelian surat utang di pasar perdana akan merusak citra BI sebagai lembaga independen.

Kalau sudah begitu, banyak investor yang bakal menjual portofolio asetnya di pasar keuangan dan rupiah otomatis terkoreksi. "Ada konsekuensi moneter yang harus diterima BI nantinya," imbuh Eko.

Menurutnya, kebijakan itu akan membuat BI terkesan sengaja mencetak uang untuk pemerintah melalui pembelian surat utang di pasar perdana. Akibatnya, uang beredar akan bertambah.

Penambahan uang beredar otomatis membuat inflasi tak terkendali karena harga barang akan meningkat signifikan. Nilai dari uang itu sendiri akan berkurang karena jumlah peredarannya di pasar lebih dari yang seharusnya.

"Kalau jumlah uang beredar lebih tinggi dari barang dan jasa, maka uang itu tak akan berharga. Inflasi akan meroket, itu yang tidak diharapkan," ucap Eko.


Kebijakan BI Sesuai Dosis

Di sisi lain, Pengamat Perbankan dari Universitas Bina Nusantara Doddy Ariefianto menilai upaya BI untuk meminimalisir dampak virus corona terhadap sistem keuangan di Indonesia sejauh ini sudah sesuai dosis. Menurutnya, meski rupiah belum kembali ke area Rp14 ribu per dolar AS, setidaknya mata uang garuda sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Untuk saat ini dosisnya sudah tepat, sudah sesuai dengan kondisi yang ada," terang Doddy.

Selain mengucurkan dana untuk melakukan injeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan, BI juga mengeluarkan beberapa kebijakan lain untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah menurunkan batas maksimal suku bunga kredit dari 2,25 persen menjadi 2 persen per bulan.

Kemudian, mengubah besaran denda keterlambatan pebayaran dari 3 persen atau maksimal Rp150 ribu menjadi 1 persen atau maksimal Rp100 ribu. Lalu, memberikan perpanjangan jangka waktu pembayaran bagi nasabah yang terdampak virus corona.

"Ini akan cukup membantu (untuk perekonomian domestik)," imbuh Doddy.

Walaupun begitu, bank sentral tetap harus bersiaga dengan menyiapkan kebijakan lain jika situasi di Indonesia dan global semakin parah karena penyebaran virus corona dan membuat sistem keuangan di dalam negeri bergejolak.

Sepakat dengan Eko, ia menilai BI juga harus tetap independen dalam menentukan kebijakan-kebijakan selanjutnya. Namun, bukan berarti bank sentral tak boleh melakukan koordinasi dengan lembaga lain atau pemerintah.

Menurut Doddy, dalam UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan disebutkan bahwa BI memang harus melakukan koordinasi dengan lembaga lain yang masuk dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga stabilitas perekonomian dalam negeri.

Lembaga lain yang dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Ini seperti perang, pasukannya BI, OJK, LPS, dan Kemenkeu. Untuk menjaga ekonomi secara keseluruhan diharapkan koordinasi dari seluruh pihak, jadi bukan hanya BI," jelas Doddy.

(agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER