Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Corruption Watch (
ICW) ragu kenaikan iuran
BPJS Kesehatan yang akan diberlakukan kembali oleh pemerintah pada Juli mendatang akan menyelesaikan masalah defisit keuangan kronis lembaga tersebut. Pasalnya, faktor utama penyebab defisit keuangan BPJS Kesehatan bukan terletak pada iuran tapi kecurangan (
fraud) yang dilakukan fasilitas kesehatan (faskes).
Peneliti ICW Dewi Anggraeni mengatakan pihaknya menemukan 49 dugaan
fraud yang terjadi pada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL).
Beberapa contoh
fraud yang dilakukan, misalnya FKTP yang mengeluarkan rujukan ke rumah sakit padahal pasien masih bisa ditangani di puskesmas dan jumlah obat atau tindakan dimanipulasi oleh FKTL.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi alat kesehatannya sebenarnya tidak digunakan tapi dimasukkan dalam tagihan pasien," ucap Dewi dalam video conference, Rabu (20/5).
Seharusnya, kata Dewi, BPJS Kesehatan mengecek lebih detail bentuk dan jumlah penagihan dari setiap faskes. Dengan begitu, bisa dilakukan evaluasi jika ada kesalahan penagihan dari rumah sakit.
Ia bilang jumlah yang harus dibayar BPJS Kesehatan bisa bengkak jika
fraud terus terjadi di faskes. Alhasil, persoalan defisit keuangan tak akan pernah selesai.
Sementara itu, ia menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan tak seharusnya dilakukan di tengah pandemi virus corona. Pasalnya, mayoritas masyarakat kini sedang kesulitan keuangan karena kehilangan pekerjaan, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), penurunan gaji, dan penundaan pembayaran tunjangan hari raya (THR).
"Kalau memang ingin dinaikkan bertahap tidak apa, tapi apa wajar dilakukan di tengah pandemi. Semua peserta, baik yang mandiri kan juga terdampak dengan corona," jelas Demi.
Senada, Peneliti Kebijakan Sosial Perkumpulan Prakarsa Eka Afrina Djamhari berpendapat kenaikan iuran BPJS Kesehatan tak akan membuat keuangan lembaga itu langsung positif. Masalahnya, banyak masyarakat yang berpotensi memutuskan untuk turun kelas agar mendapatkan harga yang lebih murah.
Hal ini terjadi karena pemerintah mengerek iuran BPJS Kesehatan hampir 100 persen untuk kelas 1 dan 2. Sementara, iuran kelas 3 naik sekitar 30 persen.
"Kami melihat banyak yang akan turun kelas karena mereka yang berada di kelas 1 dan 2 juga banyak yang terdampak virus corona, pindah ke kampung dan mulai hidup dari awal," ucap Afrina.
Jika banyak peserta yang turun kelas, maka otomatis pendapatan BPJS Kesehatan juga terkena imbas. Jumlahnya pasti akan ikut menurun karena nilai yang dibayar mayoritas peserta jauh lebih murah.
Di sisi lain, Afrina tak mempersoalkan jika iuran BPJS Kesehatan naik secara bertahap. Misalnya, kenaikannya hanya 15 persen sampai 20 persen selama dua tahun.
"Iuran naik secara berkala selama dua tahun sekali sebesar 15 persen sampai 20 persen. Nah itu nilainya kecil, kalau yang sekarang berat," jelas dia.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau peserta mandiri pada 2021.
Kenaikan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Pada pasal 34 poin b aturan tersebut disebutkan bahwa iuran peserta mandiri kelas III naik 37,25 persen dari Rp25.500 per orang per bulan menjadi Rp35 ribu tahun depan. Lalu, iuran peserta mandiri kelas II naik 96,07 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu, dan peserta mandiri kelas I naik 87,5 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp 150 ribu.
[Gambas:Video CNN] (aud/sfr)