Alasan Maskapai Khawatir Bangkrut karena Tes PCR

CNN Indonesia
Kamis, 04 Jun 2020 17:23 WIB
Awak kabin maskapai citilink di Terminal 2, Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.
Maskapai penerbangan dibuat ketar-ketir dengan aturan pemerintah soal tes PCR atau rapid test sebelum bepergian menggunakan pesawat.(CNN Indonesia/ Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Maskapai penerbangan dibuat ketar-ketir dengan aturan pemerintah terkait tes Polymerase Chain Reaction (PCR) atau rapid test sebelum bepergian menggunakan pesawat. Pasalnya, ketentuan tersebut diprediksi bakal membuat masyarakat enggan bepergian di tengah pandemi virus corona.

Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Prosedur tes PCR dan rapid test ini menimbulkan persoalan baru. Pasalnya, masyarakat perlu merogoh kocek cukup dalam yaitu Rp1,8 juta-Rp2,5 juta untuk sekali tes PCR dan rapid test seharga Rp300 ribu-Rp500 ribu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mengeluhkan aturan ini. Menurutnya biaya tes PCR lebih mahal ketimbang harga tiket pesawat sehingga mempengaruhi minat seseorang untuk membeli tiket pesawat. Alhasil, bisnis di sektor penerbangan akan sulit untuk bangkit.

"Tes PCR yang Rp2,5 juta dan beberapa sudah menurunkan harganya itu jauh lebih mahal daripada (tiket) untuk bepergian," ucap Irfan dikutip pada Kamis (4/6).

Langkah drastis bahkan diambil Lion Air Group yang menghentikan sementara penjualan tiket kepada penumpang domestik dan internasional mulai 5 Juni mendatang. Lion Air Group beralasan banyak calon penumpang yang tidak bisa memenuhi kelengkapan dokumen untuk melakukan perjalanan.

Seperti diketahui, salah satu syarat dalam kelengkapan dokumen itu adalah surat pernyataan sehat bermaterai. Surat ini berisi pernyataan terkait riwayat menjalani rapid test atau tes PCR yang dilakukan calon penumpang.

Pengamat penerbangan Jaringan Penerbangan Indonesia Gerry Soejatman mengatakan kewajiban calon penumpang untuk memiliki hasil tes negatif virus corona sangat memberatkan industri penerbangan. Masalahnya, ada aturan yang berbeda antara pemerintah pusat dan daerah.

Gerry menyatakan pemerintah pusat memberikan dua opsi kepada masyarakat, yakni tes PCR dan rapid test. Jadi, jika harga tes PCR dirasa terlalu mahal maka masyarakat bisa memilih rapid test.

Namun, beberapa pemerintah daerah justru mengharuskan masyarakat melakukan tes PCR jika hendak bepergian ke daerah tersebut. Daerah yang dimaksud, seperti DKI Jakarta, Bali, Balikpapan, Pangkalpinang, Padang, dan Tanjung Pandan.

"Ini sangat memberatkan maskapai, baik Garuda Indonesia dan maskapai lain," kata Gerry.

Gerry menilai jika kebijakan pemerintah pusat dan daerah tak disamakan maka akan lebih banyak pesawat yang hanya parkir untuk sementara waktu karena permintaan yang melandai. Jika ini terjadi dalam beberapa bulan ke depan, potensi kebangkrutan industri penerbangan pun di depan mata.

"Iya, kalau industri penerbangan sudah bangkrut berikutnya siapa? Ya hotel, restoran, tempat-tempat pertemuan, dan lain-lain," tutur dia.

Gerry menyarankan agar pemerintah pusat dan daerah menyamakan persepsi dengan mengizinkan penggunaan hasil rapid test untuk masyarakat yang hendak bepergian. Dengan begitu, permintaan berpeluang kembali meningkat di sektor penerbangan.

"Intinya disamakan dulu aturannya di pusat dan daerah. Rapid test juga kan sebenarnya tidak murah-murah sekali tapi masih saja bisa ditolak. Misalnya surat perjalanan dinas ditolak dan yang lainnya padahal sudah mengeluarkan dana sekian," ucapnya.

[Gambas:Video CNN]

(jal/age)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER