Faisal Basri: Dana PEN BUMN Untuk Bayar Utang Pemerintah

CNN Indonesia
Kamis, 11 Jun 2020 08:34 WIB
Pengamat Ekonomi Politik, Faisal Basri saat sesi diskusi di Jakarta, Rabu, 27 September 2017. CNNIndonesia/Safir Makki
Ekonom Senior Faisal Basri menilai dana program PEN dari pemerintah kepada BUMN bukan stimulus untuk membantu di tengah pandemi virus corona. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Senior Faisal Basri menilai dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari pemerintah kepada BUMN sejatinya bukan stimulus khusus untuk membantu para perusahaan pelat merah di tengah pandemi virus corona atau covid-19. Dana tersebut hanyalah pembayaran utang pemerintah kepada BUMN.

Kendati begitu, pemerintah merancang pembayaran utang tersebut pada saat ini ketika pandemi corona. Sebab, bila tidak dibayarkan tekanan keuangan bagi para perusahaan negara akan semakin besar dan berpotensi merugikan perusahaan bahkan pemerintah.

"Jadi tidak ada hubungannya dengan covid-19, itu adalah utang negara kepada BUMN yang sebelumnya tidak dibayar tepat waktu, bahkan bertahun-tahun," ujar Faisal saat diskusi virtual, Rabu (10/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Faisal mengatakan utang pemerintah ini umumnya berasal dari penugasan yang diberikan kepada BUMN. Selain itu, berasal dari subsidi tidak langsung yang tidak disertai dengan ketidakdisiplinan fiskal dari pemerintah, di mana pengeluaran yang seharusnya masuk pos subsidi justru tidak disertakan sebagai beban di APBN, namun menjadi beban BUMN.

"Saya dapat informasi dari pimpinan PLN bahwa utang pemerintah ke PLN dari sebelum covid-19 bisa mencapai Rp73 triliun sampai akhir tahun ini. Nah, ini pun yang dibayarkan tidak semua. Pertamina juga, saya kira separuhnya saja yang dibayarkan," ungkapnya.

Faisal pun memberi contoh dari mana saja utang pemerintah kepada para BUMN dan seperti apa ketidakdisiplinan fiskal pemerintah. Pertama, PLN. Pemerintah disebutnya tidak memperbolehkan perusahaan setrum negara untuk menaikkan tarif listrik sejak 2017.

Hal ini membuat PLN mengalami kesulitan keuangan selama beberapa tahun terakhir karena tarif listrik yang dibayarkan sejatinya sudah tidak sesuai. Padahal seharusnya tarif listrik ditentukan sejalan dengan pergerakan inflasi, harga minyak, dan kurs rupiah.

"Akibatnya PLN pada Desember 2019, mereka tidak bisa membayar utang," katanya.

Kedua, Pertamina. Pemerintah hanya memasukkan pos subsidi energi untuk BBM jenis minyak tanah dan solar. Padahal, ada BBM jenis tertentu, yaitu Premium, di mana bahan bakar ini tidak disubsidi tapi harganya diatur pemerintah dan merugi.

Lalu, ada pula BBM satu harga yang anggarannya mencapai Rp1 triliun, namun tidak masuk dalam pos subsidi di APBN sehingga harus ditanggung oleh Pertamina. "Padahal seharusnya kalau disiplin fiskal, setiap kebijakan pemerintah yang menyebabkan ongkos lebih mahal dari harga, itu masuk subsidi, tapi praktis ini tidak naik," jelasnya.

Sebagai gantinya, kata Faisal, pemerintah memberikan dana kompensasi. Namun, karena tidak berstatus subsidi jadi pembayaran anggarannya bisa ditunda dan ini yang kemudian seolah disulap menjadi dana PEN.

Selain PLN dan Pertamina yang kerap menjadi diutangi, Faisal mengatakan kini pemerintah sebenarnya juga menambah beban beberapa BUMN yang diminta membangun fasilitas rumah sakit penanganan virus corona.

"Kinerja BUMN kalau dilihat dari pembukuannya masih oke, tapi masalahnya di cash flow, karena di masa direksi PLN yang lalu itu, utang pemerintah sudah dianggap sebagai penerimaan, padahal cash-nya belum ada, sehingga membuat kesulitan bayar utang (BUMN)," jelasnya.

Lebih lanjut, Faisal juga mengkritik pemberian dana PEN dari pemerintah ke BUMN yang menurutnya kurang pas, misalnya ke Hutama Karya. Faisal bilang alasan pemerintah adalah Hutama Karya tengah mengerjakan penugasan jalan Tol Trans Sumatera.

"Katanya pembangunan jalan tol ini menyerap banyak tenaga kerja, masya Allah ini sudah keterlaluan, jalan tol sekarang sudah tidak ada tenaga kerjanya, semua adalah alat berat, jadi dipaksakan sekali. Kalau menyerap tenaga kerja itu bangun jalan desa, ini tidak padat karya sama sekali," jelasnya.

"Menurut saya ini bisa ditunda, jalan tol tidak harus disambung tahun ini," sambungnya.

Penugasan kepada Hutama Karya pun seolah-olah dirancang tanpa APBN. Padahal, pemerintah menyuntikkan dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp6,4 triliun.

Sisanya, Hutama Karya diminta mencari pendanaan sendiri. Perusahaan karya itu pun akhirnya memilih jalan dengan menerbitkan surat utang dengan estimasi mencapai US$600 juta menurut perhitungan Faisal.

"Untuk keluarkan bonds, harus keluarkan aset, di-rating, asetnya diambil dari BUMN lain, jadi makin tidak tertib. Memang kalau tidak ada krisis tidak kelihatan, tapi dengan ada krisis, satu per satu BUMN mengeluh. Krisis ini menunjukkan betapa ada yang salah dalam pengelolaan ekonomi kita," tuturnya.

Lebih lanjut, ia melihat pemerintah harus mengkaji kembali program PEN dan alokasi serta potensi ketepatsasarannya. Bila tidak, stimulus ini tidak akan mampu mendongrak perekonomian. Ia pun melihat pemulihan ekonomi nasional baru akan selesai dalam lima tahun ke depan.

Dana Sawit

Faisal turut mengkritik program biodiesel pemerintah yang dinilainya akan menjadi permasalahan di kemudian hari. Sebab, program biodiesel membuat pemerintah harus menggunakan dana sawit untuk membayar subsidi atas selisih harga FAME dan minyak kepada para pengusaha sawit.

Masalahnya, program yang diklaim pemerintah bisa menjadi solusi untuk penyerapan hasil perkebunan rakyat dan energi baru terbarukan ini justru dikhawatirkan justru hanya memperkaya pengusaha saja.

"Sekarang ada lagi subsidi biofuel, itu jumlah Rp2,8 triliun kalau tidak salah untuk operasi Rp1 triliun, tapi untuk Martua Sitorus dan kawan-kawan Rp2,8 triliun plus Rp700 miliar dari tambahan dana sawit yang naik dari US$50 menjadi US$55 per ton," katanya.

Program ini, sambungnya, hanya akan menghabiskan dana sawit yang diambil dari pungutan hasil ekspor para pengusaha kepada negara. Dengan begitu, dana hasil pungutan kembali lagi ke kantong para pengusaha.

"Jadi penghematan subsidi BBM yang turun karena adanya FAME menimbulkan subsidi jenis baru. Jadi efek keberadaan B20, B30, B50 ini tidak seperti yang dikatakan pemerintah," jelasnya.

Di sisi lain, pemerintah memberikan alokasi dana PEN kepada program biodiesel yang dipastikan juga hanya menguntungkan pengusaha sawit. Alokasinya sekitar Rp2,78 triliun.

"Ini dinikmati segelintir orang saja dan mereka masih terus minta. Masalah Covid ini seperti keranjang sampah, semua dimasukkan di dana Covid untuk menghilangkan jejak tidak disiplin fiskal," pungkasnya.

[Gambas:Video CNN]

(uli/age)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER