Turmudi sudah tak bisa menghitung besaran biaya yang ia keluarkan untuk pengobatan cuci darah sang istri yang sejak 2009 silam. Menurutnya, jika dijumlahkan, barangkali sudah mencapai ratusan juta rupiah.
Saat istrinya didiagnosa menderita sakit gagal ginjal pada 2009 lalu, Turmudi terdiam. Ia tak dapat membayangkan penyakit berbahaya dan membutuhkan biaya besar itu akan menyerang sang istri. Seketika, kehidupan keluarga Turmudi pun berubah.
"Pada awalnya, saya bersama anak-anak tak menyangka, sebab kehidupan keluarga kami seketika berubah. Di mana, istri harus bergantung pada cuci darah yang harus dilakukannya dua kali dalam seminggu. Selain itu, biaya adalah hal utama yang mengganggu pikiran saya, karena yang saya ketahui biaya untuk sekali cuci darah tidaklah murah," tutur Turmudi yang ditemui kala menemani istri cuci darah di RS Sari Asih, Serang, Senin (22/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Turmudi pun sempat menjajal pengobatan alternatif dengan biaya sendiri. Namun awan hitam yang menyelimuti keluarga itu lambat laun tersibak, ketika pada 2014 pemerintah menghadirkan BPJS Kesehatan. Jaminan kesehatan tersebut yang lantas menolong Turmudi, yang adalah seorang pensiunan tentara. Ia segera mendaftarkan istri sebagai salah seorang peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
"Saya sangat bersyukur dan tertolong, akan hadirnya jaminan kesehatan dari pemerintah untuk masyarakat. Terlebih, layanan cuci darah dapat diperoleh semua peserta JKN-KIS dengan status kepesertaan aktif sesuai indikasi medis dan mengikuti prosedur yang berlaku," ujarnya.
Dengan demikian, kata Turmudi, biaya sepenuhnya ditanggung oleh BPJS Kesehatan dari program gotong royong yang diterapkan dari iuran peserta setiap bulan. Ia menyebut tak tahu apa yang akan terjadi, jika tak serta sebagai peserta JKN-KIS. Terlebih, biaya hemodialisis dirasa menguras tabungan.
Turmudi pun mengetuk hati masyarakat yang telah menjadi peserta JKN-KIS untuk tidak menunggak iuran bulanan BPJS Kesehatan. Iuran tersebut yang membantu peserta lain yang memang sedang membutuhkan.
"Enggak kebayang jika tidak ada BPJS Kesehatan. Sebab, uang yang sebelumnya terkumpul untuk investasi habis terkuras untuk mengobati istri,"
Ia melanjutkan sembari menahan haru, "Pasien cuci darah di Indonesia ini bukan hanya istri saya saja. Mungkin ada ratusan hingga ribuan orang yang sama deritanya, dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Andaikan disuruh memilih, saya lebih baik membayar iuran dua kali lipat namun sehat, daripada menderita sakit."
(rea)