ANALISIS

Tak Cukup Buka Celengan Rp30 T Bantu UMKM dari Resesi Corona

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Kamis, 25 Jun 2020 07:37 WIB
Petugas menata uang di cash center Bank BRI di Jakarta, Kamis, 8 Desember 2016. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.
Sejumlah ekonom menyebut upaya pemerintah membantu UMKM dengan menggelontorkan Rp30 triliun ke bank supaya bisa disalurkan untuk kredit belum cukup. Pemerintah tetap perlu memberi insentif ke UMKM supaya selamat dari tekanan corona. Ilustrasi. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah memutuskan untuk membongkar celengan di Bank Indonesia (BI) dan mengalihkan sebagian dana mereka ke bank yang masuk dalam kelompok himpunan bank-bank milik negara (Himbara) karena virus corona. Total dana yang ditempatkan di bank Himbara Rp30 triliun.

Bank Himbara yang kecipratan dana itu adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (Persero) atau BTN, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) atau BNI. Bank yang mendapatkan kucuran likuiditas dari pemerintah dilarang menggunakannya untuk membeli surat berharga negara (SBN) dan valuta asing (valas).

Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara di Bank Umum dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional. Beleid itu diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 22 Juni 2020 lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sri Mulyani menyatakan seluruh dana penempatan pemerintah hanya bisa digunakan untuk penyaluran kredit di sektor riil. Kebijakan ini memang sengaja dibuat untuk membangkitkan lagi sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang terkena tekanan virus corona.

"Dana ini khusus untuk mendorong ekonomi sektor riil," ucap Sri Mulyani, dikutip Kamis (25/6).

Selain itu, pemerintah juga mewajibkan bank untuk menyalurkan kredit tiga kali lipat dari dana yang ditempatkan pemerintah. Artinya, jika pemerintah menempatkan dana di BRI sebesar Rp10 triliun, maka BRI harus menyalurkan kredit ke sektor riil minimal Rp30 triliun.

Kementerian Keuangan pun akan mengevaluasi proses penyaluran kredit bank-bank yang mendapatkan likuiditas dari pemerintah setiap tiga bulan sekali. Proses evaluasi ini akan dilakukan bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai kebijakan ini hanya seperti pemindahan uang negara dari yang semula ditempatkan di BI menjadi ke bank BUMN. Tak ada kerugian yang diterima pemerintah karena bunga yang diterima dari penempatan dana di bank sama seperti di BI.

"Penempatan dana ini kan sistemnya deposito. Bunga yang didapat sama seperti di BI," kata Aviliani.

Dalam aturannya, pemerintah akan mendapatkan bunga sebesar 80 persen dari suku bunga acuan BI. Ia memandang bunga yang didapat pemerintah terbilang sangat rendah, sehingga tak terlalu membebani perbankan.

Lantas, apakah kebijakan ini langsung berdampak pada penyaluran kredit ke sektor riil atau pelaku UMKM? Jika iya, apakah penyaluran kredit untuk UMKM akan langsung mendorong ekonomi domestik pasca dihantam pandemi virus corona?

Jawabannya tidak. Aviliani melihat perbankan saja masih banyak yang takut untuk menyalurkan kredit ke sektor UMKM. Bukan apa-apa, pandemi virus sudah membuat seluruh sektor usaha meradang, termasuk UMKM.

Banyak industri yang akhirnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), merumahkan, dan memotong gaji karyawan akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hal itu mengakibatkan permintaan di masyarakat menurun.

Jika penyaluran kredit tak dilakukan selektif, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) justru meningkat signifikan. Alhasil, kinerja bank akan semakin buruk di tengah pandemi virus corona.

"Hari ini sudah banyak yang mengajukan restrukturisasi pembayaran utang pokok dan bunga. Nah kalau ditambah kredit lagi, kan nasabah belum tentu bisa bayar," ucap Aviliani.

[Gambas:Video CNN]

Lagi pula, Aviliani menyatakan permintaan kredit juga masih sepi. Pasalnya, mayoritas industri belum benar-benar kembali beroperasi seperti sebelum pandemi.

"Kalau tidak ada kredit, justru biaya besar bagi bank. Bank juga sebenarnya likuiditas baik-baik saja, karena memang menahan untuk memberikan kredit dan permintaan kredit belum banyak," kata Aviliani.

Sementara, jika dana dari pemerintah benar-benar berhasil disalurkan ke UMKM, Aviliani pesimistis akan berdampak langsung bagi pemulihan ekonomi nasional. Ini karena permintaan di domestik yang masih melemah.

"Permintaan ini, baik dari masyarakat dan industri diperbaiki dulu. Kalau permintaan belum ada efeknya tidak akan terasa. Justru bisa menambah NPL di bank," ujar Aviliani.

Sebagai gambaran, UMKM mendapatkan kucuran kredit dari untuk kembali melakukan produksi. Namun, jika tak ada pihak yang membeli hasil produksi UMKM itu maka kucuran kredit dari perbankan akan percuma.

UMKM itu tak akan mendapatkan penghasilan. Ditambah, pelaku usaha akan pusing mencari biaya untuk membayar kredit kepada bank.

"Pemerintah jangan hanya fokus pada pasokan, tapi juga permintaan. Cari target yang bisa membeli produksi UMKM," tutur Aviliani.

Ia menyarankan agar pemerintah bekerja sama dengan perusahaan pelat merah untuk membina UMKM. Selain itu, BUMN juga nantinya harus membeli produksi hasil UMKM yang dibina tersebut.

"Jadi dibina sesuai fokus bisnisnya. Misalnya perusahaan di sektor kesehatan bekerja sama dengan UMKM di daerah yang memproduksi jahe merah. Jahe merah ini kan dibutuhkan perusahaan kesehatan untuk membuat obat. Dibina agar produksi sesuai standar perusahaan," jelas Aviliani.

Menurut dia, peluang kerja sama ini besar karena penempatan dana negara juga di bank BUMN. Dengan begitu, bank BUMN bisa bekerja sama dengan BUMN non bank dalam mengucurkan kredit untuk UMKM.

"Ini kan dana ditempatkan di bank BUMN, disalurkannya bisa juga ke BUMN lagi yang nantinya diberikan ke UMKM," imbuh Aviliani.

Tak lupa, ia mengingatkan agar evaluasi penyaluran kredit dari dana pemerintah dilakukan dengan transparan. Pasalnya, bisa saja dana negara tak benar-benar digunakan untuk penyaluran kredit kepada UMKM.

"Dilihat lagi jangan sampai dana dari BI nanti masuk lagi ke BI. Walaupun aturannya hanya untuk kredit ke sektor riil tapi kan tidak ada yang tahu," ungkapnya.

Senada, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengungkapkan likuiditas perbankan khususnya BUMN terbilang masih cukup aman. Perusahaan saat ini justru kehilangan selera untuk menyalurkan kredit demi menjaga tingkat rasio kredit bermasalah.

"Kalau dilihat kenyataannya di lapangan sulit sekali, karena perbankan menghindari risiko. Likuiditas mereka sebenarnya ada," tutur Fithra.

Namun, penempatan dana negara di bank BUMN bisa jadi pendorong bagi perusahaan untuk mulai berani menyalurkan kredit. Ini khususnya kepada UMKM.

Terlebih, sudah ada perjanjian antara pemerintah dan bank untuk menyalurkan kredit tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah dana yang didapat dari negara. Menurut Fithra, ini bisa menjadi sentimen positif di sektor keuangan dan UMKM.

"Mungkin ini bisa mengubah sikap perbankan untuk lebih berani menyalurkan kredit ke UMKM. Ini karena uang pemerintah yang ada di bank kan harus digunakan kan, jadi tidak mungkin didiamkan saja," ujar Fithra.

Ia berpendapat keinginan UMKM sebenarnya sudah mulai timbul dalam mengajukan kredit. UMKM berniat kembali melakukan produksi setelah pemerintah melonggarkan pembatasan di era new normal ini.

"Permintaan UMKM sudah ada, sudah mau beroperasi lagi. Tapi kan modal kerja mereka sudah habis dan butuh modal kerja baru. Tapi bank menghindari risiko," terang Fithra.

Untuk itu, perubahan sikap perbankan bisa membantu pemulihan UMKM pasca dihantam pandemi virus corona. Namun begitu, penyaluran kredit kepada UMKM bukan jaminan sektor itu akan pulih dalam waktu dekat.

Masalahnya, UMKM tetap butuh insentif fiskal dari pemerintah. Sejauh ini, realisasi stimulus untuk UMKM masih sangat rendah.

Berdasarkan catatan pemerintah, penyaluran UMKM hingga pertengahan Juni 2020 baru 0,6 persen dari dana yang dianggarkan sebesar Rp123,46 triliun. Pemerintah mengklaim pemberian stimulus pada sektor UMKM masih terkendala penyelesaian regulasi, persiapan data, serta persiapan IT untuk mendukung operasional.

"Stimulus yang diberikan masih rendah. Jumlahnya juga kurang. Padahal perbaikan ekonomi domestik butuh dorongan dari UMKM," ujar Fithra.

Ia berharap realisasi penyaluran stimulus fiskal untuk UMKM bisa lebih digenjot pada kuartal III 2020. Dengan begitu, dampaknya ke ekonomi juga bisa segera dirasakan.

Diketahui, pemerintah menyiapkan beberapa stimulus fiskal bagi UMKM. Salah satunya subsidi bunga kredit dan penundaan cicilan pokok kepada 60,66 juta rekening selama periode Mei 2020 hingga Oktober 2020.

Besaran subsidi untuk usaha mikro dan kecil adalah sebesar 6 persen selama Mei hingga Juli, dan 3 persen selama Agustus hingga Oktober. Sementara, subsidi bunga usaha menengah adalah sebesar 3 persen selama Mei 2020 sampai Juli 2020 dan 2 persen selama Agustus 2020 hingga Oktober 2020.

Kriteria debitur yang disasar dalam program subsidi bunga dan penundaan cicilan tersebut antara lain, UMKM dengan plafon pinjaman paling tinggi Rp10 miliar, tidak masuk daftar hitam nasional pinjaman dan memiliki kualitas kredit sebelum pandemi virus corona baik, serta memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

(agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER