Bank Indonesia (BI) tengah menyiapkan kebijakan pinjaman khusus bagi bank yang sudah masuk kategori bermasalah secara sistemik atau bisa mempengaruhi kondisi bank lain.
Selain itu, bank sentral juga menyiapkan penyempurnaan kebijakan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) untuk bank yang kekurangan likuiditas, namun masih sanggup membayar utang (solvent).
Asisten Gubernur sekaligus Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung menjelaskan BI tengah menyiapkan instrumen Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) bagi bank sistemik itu tengah dibahas di bawah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PLK ini untuk bank sistemik jika sudah akses Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek dan masih memerlukan (tambahan likuiditas), ini harus dijaga jangan sampai ganggu stabilitas sistem keuangan," ujar Juda di forum diskusi Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Kamis (23/7).
Sebagai catatan, instrumen PLJP biasanya diberikan BI bagi bank yang arus dana masuknya lebih kecil daripada dana keluar. Biasanya bank sudah tidak bisa ditolong hanya dengan kebijakan makroprudensial berupa pelonggaran setoran cadangan kas bank di BI atau Giro Wajib Minimum (GWM).
Saat ini, sambung Juda, penyempurnaan kebijakan PLJP masih dibahas.
"BI lakukan penyempurnaan PLJP untuk mempercepat in case jika ada perbankan yang alami masalah likuiditas temporer, tapi masih solvent. PLJP adalah peran bank sentral sebagai lender of the last resort," ungkapnya.
Juda mengatakan kebijakan ini diambil untuk memitigasi masalah 'seretnya' likuiditas yang mungkin dialami oleh beberapa bank, meski ia mengklaim secara keseluruhan likuiditas industri bank masih cukup baik.
Hal ini tercermin dari rasio Alat Likuid per Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang masih berada di kisaran 25 persen sampai 26 persen per Juni 2020.
Begitu pula dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 22,14 persen pada periode yang sama. Sementara pertumbuhan DPK masih berkisar 8 persen sampai 9 persen dengan pertumbuhan kredit yang cuma 1,4 persen.
"Jadi ada tambahan likuiditas bank karena outflow lebih kecil daripada inflow," imbuhnya.
Juda mengatakan kedua instrumen ini akan menambah benteng pertahanan likuiditas bank seperti beberapa kebijakan yang sudah dilakukan BI sejak jauh-jauh hari. Sebelumnya, BI sudah mengupayakan tambahan likuiditas bank melalui pelonggaran GWM.
Dengan kebijakan GWM, bank tidak perlu memarkirkan dana yang besar di BI. Dana itu selanjutnya bisa digunakan bank untuk mencukupi kebutuhan dana di tengah pelaksanaan kebijakan restrukturisasi kredit dan penyaluran kredit baru di tengah pandemi virus corona atau covid-19.
Selain GWM, BI juga sudah menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI 7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) sebanyak empat kali, masing-masing 25 basis poin (bps), sehingga total mencapai 100 bps pada tahun ini.
Dengan kebijakan ini, bank bisa menurunkan tingkat suku bunga deposito yang menjadi acuan bagi biaya sumber dana bank kepada nasabah.
"Berbagai langkah antisipatif sudah dilakukan BI sebelum covid-19 melanda, saat masih di China. Kami siapkan berbagai instrumen agar sistem keuangan bisa bertahan kalau covid-19 menjalar ke Indonesia, maka BI sejak itu melonggarkan likuiditas dengan GWM yang diturunkan," pungkasnya.