Deflasi dan resesi di sejumlah negara menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sore ini, Senin (3/8). Terpantau, indeks saham anjlok 2,78 persen ke posisi 5.006.
"Pelemahan IHSG hari ini dibayangi oleh rilis data makro ekonomi Indonesia pekan ini dan resesi yang sudah terjadi di berbagai negara," ujar Founder sekaligus analis Ellen May Institute Ellen May, dikutip dari riset resmi, Senin (3/8).
Ia menuturkan deflasi pada Juli ini dipicu oleh penurunan konsumsi masyarakat akibat pandemi covid-19 dan pembatalan sosial. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi Juli sebesar minus 0,10 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini menggambarkan bahwa permintaan terus menurun, sehingga perusahaan tidak dapat menaikkan harga lalu terpaksa menurunkan harga untuk menjaga tingkat penjualan.
"Deflasi secara umum memiliki dampak negatif seperti penurunan UMR, penurunan pendapatan bisnis, dan terjadi PHK," imbuhnya.
Tak hanya itu, data BPS memaparkan inflasi secara tahunan (yoy) pada Juli sebesar 1,54 persen, merupakan inflasi terendah sejak Mei 2000 lalu. Sedangkan sejak awal tahun (ytd) inflasi baru mencapai 0,98 persen, atau kurang dari satu persen.
Dari global, lanjutnya, sentimen resesi ekonomi masih membayangi pasar, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi investor.
"Resesi sudah terjadi di berbagai negara seperti Singapura, Korea, AS, dan negara-negara di Eropa," katanya.
Singapura mengalami resesi ekonomi usai pertumbuhan ekonominya terkontraksi 12 persen pada kuartal II 2020. Penurunan itu lebih dalam dibandingkan kuartal I 2020 yang minus 0,7 persen.
Selain itu, Korea Selatan resmi masuk ke jurang resesi setelah ekonominya minus dua kuartal berturut-turut. Ekonomi Negeri Ginseng itu minus 1,3 persen pada kuartal I 2020 dan kembali minus 3,3 persen pada kuartal II 2020.
Negara adikuasa seperti AS, juga tak lepas dari jeratan resesi ekonomi. Ekonomi AS minus 5 persen pada kuartal I 2020, lalu kembali mengalami kontraksi lebih dalam 32,9 persen pada kuartal II 2020.
Selain ketiganya, sejumlah negara juga mengalami resesi ekonomi seperti Jerman, Prancis, dan Hong Kong.
Namun, kata dia, terdapat sentimen positif yang memberikan angin segar bagi pasar, yakni Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur. Tercatat, PMI Indonesia naik pada Juli menjadi 46,9 naik dari sebelumnya 39,1 pada Juni.
Menurutnya, kenaikan ini dipengaruhi oleh pembukaan pembatasan sosial sehingga industri manufaktur kembali bergerak.
"PMI adalah sebuah indikator yang menyediakan gambaran umum mengenai kondisi sektor industri manufaktur," katanya.
Selain data di atas, lanjutnya, pasar masih menanti rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 yang rencananya akan rilis pada 5 Agustus nanti. Para ekonom memprediksi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia turun.
Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi pertumbuhan Indonesia kontraksi di rentang minus 3,8 persen hingga 5,08 persen dengan titik tengah minus 4,3 persen. Kontraksi ini disebabkan pembatasan sosial sehingga ekonomi tidak berjalan.
Melihat kondisi itu, Ellen menyarankan investor lebih baik wait and see atau menunggu sambil mengamati perkembangan ekonomi Indonesia.
"Jika sudah memiliki saham maka saat ini kami sarankan wait and see dulu untuk cicil beli lagi. Namun jika belum, bisa cicil beli sebanyak maksimal 20 persen dari modal investasi," ucapnya.