Menteri BUMN Erick Thohir berencana menggabungkan data pelanggan milik PT PLN (Persero) dan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) untuk memudahkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial (bansos).
Begitu pula dengan data PT Pegadaian (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) untuk data UMKM di Indonesia. Tujuannya, agar bansos lebih tepat sasaran.
"Supaya kalau ada bantuan, langsung mengena kepada masyarakat. Tidak menjalar panjang yang akhirnya takutnya rentan untuk korupsi," ungkap Erick, akhir pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya saja, menurut Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal, hal ini tidak cukup akurat untuk menjadi fondasi bagi program bansos maupun UMKM. Pasalnya, data tersebut tidak cukup rinci dibandingkan sumber data lain.
Misalnya, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) hingga Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2KI) meski kedua sumber data tersebut juga masih banyak kekurangannya.
"Seharusnya datanya kan lengkap, sampai ke bagaimana fisik rumah, alamat, pengeluaran, dan lainnya. Kalau di PLN misal, itu paling hanya berada data yang listriknya kapasitas 450 VA, itu lebih ke untuk crosscheck saja," ujar Faisal kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/8).
Menurutnya, pemerintah tetap perlu sumber data utama dan valid dari kalangan kementerian/lembaga. Kemudian, barulah dicocokkan dengan data pelanggan PLN dan Telkom.
"Kekurangan lain, datanya juga belum menjangkau, misalnya belum menyasar ke kelompok yang tidak pakai listrik, ini masih ada sebagian orang miskin ekstrem di pelosok desa yang tidak pakai listrik. Jadi, data masih kurang," ucapnya.
Begitu pula dengan data UMKM dari para perusahaan pelat merah. Menurutnya, data itu hanya pendukung karena sejatinya tidak semua pengusaha mikro dan kecil mendapat pembiayaan dari pemerintah dan badan usaha.
Faktanya, sambung Faisal, banyak UMKM, misalnya pedagang kaki lima di pinggir jalan yang tidak mendapat akses pembiayaan. Hal ini memungkinkan mereka tidak masuk dalam pendataan dari BUMN meski membutuhkan bantuan modal dari pemerintah.
Untuk itu, Faisal mengatakan pemerintah sudah saatnya segera melakukan reformasi data kemiskinan di Indonesia. Selama ini, data yang ada tidak diperbaharui, sehingga kerap menyulitkan pemerintah ketika ingin menjalankan program bansos, seperti di tengah pandemi virus corona (covid-19).
![]() |
"Pandemi adalah momentum untuk berbenah. Ini harus dikelola lebih serius dan jangka panjang karena menjadi dasar untuk kebijakan," tuturnya.
Caranya, kata Faisal, cukup banyak. Pertama, pemerintah pusat sendiri harus mengeluarkan anggaran khusus untuk pembenahan DTKS, sehingga ada basis data yang paling dasar. Hal ini perlu dilakukan oleh Kementerian Sosial serta Kementerian Koperasi dan UKM.
Kebetulan, alokasi anggaran itu baru dipersiapkan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 sebesar Rp1,36 triliun. Namun, mengingat baru dianggarkan untuk tahun depan maka tidak bisa segera dijalankan.
Tapi, ada cara kedua, integrasi data dari pemerintah daerah, baik gubernur, bupati, wali kota, hingga tingkat terendah, kepala desa. Sebab, mereka dianggap sebagai pihak yang seharusnya paling tahu kondisi dan persebaran masyarakat miskin dan UMKM di daerah.
"Jelas butuh reformasi data, tapi tunggu reformasi itu mau kapan? Jadi perlu langkah realistis juga, misal dengan crosscheck juga ke daerah, buka laporan data dari daerah, pemda hingga ormas, tapi memang harus hati-hati, jangan sampai risiko titipan," terangnya.
Titipan ini, misalnya, pemda sengaja memberikan data penduduk miskin yang terlalu berlebihan dan tidak tepat sasaran hanya demi kepentingan kampanye. Risiko ini kerap terjadi ketika jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Maka kepala daerah punya perlu inisiatif untuk survei orang miskin dan UMKM di daerah mereka," imbuhnya.
Ketiga, tetap manfaatkan crosscheck dari para badan usaha. Mulai dari BUMN hingga swasta, misalnya bisa juga memanfaatkan data UMKM dari Bukalapak, Tokopedia, dan lainnya, meski lagi-lagi terbatas karena tidak semua UMKM berusaha secara online.
Terakhir, beri pendampingan, khususnya bagi UMKM. Dengan begitu, pemerintah tidak hanya sekadar mendapatkan data, namun juga bisa membuat mereka naik kelas.
"Kalau serius, jadi ada update skala usaha. Nanti mereka pun bisa bayar pajak dan punya NPWP. Pendekatannya tidak cukup hanya beri modal untuk usaha saja," katanya.
Sementara, Ekonom merangkap Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad bersikukuh bahwa basis data penyaluran bansos seharusnya merujuk pada DTKS. Sebab, berbagai data pelanggan dari para badan usaha sejatinya tidak akurat.
Data pelanggan listrik dari PLN misalnya. Memang, ada pembagian kelas pelanggan sesuai kapasitas penggunaan listrik. Namun, hal ini tidak mencerminkan skala ekonomi masyarakat.
"Karena ada pelanggan yang 450 VA itu karena tinggal di kontrakan, tapi belum tentu dia berpenghasilan rendah. Bisa saja dia memang tinggal sendiri. Di desa juga, kapasitas listriknya rendah karena sederhana, tapi bukan berarti miskin," ungkap Tauhid.
Begitu pula dengan kebijakan pemerintah yang menggunakan data ketenagakerjaan di BP Jamsostek (dulu BPJS Ketenagakerjaan) untuk program bantuan subsidi upah bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp5 juta. Toh, para buruh tani yang seharusnya dibantu justru tidak masuk dalam pendataan.
"Jadi susah mencari alternatif lain selain DTKS. Satu-satunya adalah perlu pembenahan DTKS itu sendiri. Lagipula UU Satu Data menyatakan seharusnya ada sumber data acuan, misal BPS," ujarnya.
Menurutnya, data dari para badan usaha memang hanya bisa untuk crosscheck. "Dari data pelanggan kan ada NIK, itu bisa diintegrasikan," tandasnya.