Peluang Indonesia jatuh ke jurang resesi semakin terlihat jelas. Hal ini tak lepas dari proyeksi pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal III setelah terkontraksi minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.
Resesi merupakan kondisi ketika perekonomian suatu negara tumbuh negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Proyeksi resesi sempat keluar dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan negatif pada kuartal III.
Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya 0 persen sampai minus 2 persen pada kuartal III 2020. Sinyal resesi juga disampaikan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Luhut tidak serta merta mengeluarkan proyeksi angka pertumbuhan. Ia hanya meminta masyarakat tidak khawatir bila Indonesia benar-benar jatuh ke jurang resesi.
"Kami jangan ditakut-takuti kalau ada sampai negatif di kuartal III ini, kami berjuang sekuat kuatnya. Tapi kalau itu pun terjadi, itu bukan akhir dari segala-galanya," kata Luhut, akhir pekan lalu.
Lantas, seperti apa gambaran resesi yang semakin nyata peluangnya di dalam negeri?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengatakan resesi sudah sulit dihindari. Namun, menurutnya, resesi yang terjadi tidak separah krisis ekonomi pada 1998.
Sebab, tanda-tanda resesi itu sejatinya sudah terjadi saat ini dan dialami oleh masyarakat.
"Sekarang sudah terlihat, resesi adalah di saat daya beli masyarakat turun, kinerja perekonomian turun, pengangguran meningkat, kemiskinan meningkat, tapi ini semua pelan-pelan sudah terjadi. Tidak separah dengan krisis-krisis sebelumnya. Karena, dulu itu semua terjadi secara tiba-tiba dan dalam kurun waktu yang cepat langsung anjlok," ujar Eko kepada CNNIndonesia.com, Senin (31/8).
Kala itu, Indonesia tiba-tiba terpapar krisis yang mulanya terjadi di Thailand, sesama negara kawasan Asia Tenggara. Lalu, krisis merambat ke dalam negeri.
Selain itu, resesi ekonomi akibat pandemi covid-19 saat ini tidak semenakutkan krisis ekonomi 1998 karena kemerosotan ekonomi terjadi secara bertahap. Hal ini bisa tercermin dari perubahan angka pertumbuhan yang tidak terlalu drastis.
"Waktu itu, ekonomi Indonesia anjlok ke minus 13 persen dari sebelumnya positif 6 persen. Sekarang ini, ekonomi dari 2,97 persen baru turun ke minus 5,32 persen, jauh lebih rendah dari kemerosotan dulu. Krisis ekonomi 1998 juga terasa berbeda karena ada perbedaan rezim dari sisi politik, jadilah lebih porak poranda," katanya.
Lalu bagaimana dibandingkan krisis keuangan 2008?
Menurut Eko, resesi ekonomi akibat corona pada tahun ini mungkin juga tidak sehebat krisis sekitar satu dekade lalu itu.
Sebab, kala itu Indonesia dibuat geger akibat rupiah yang anjlok hingga kisaran Rp17 ribu per dolar AS. Sementara saat ini, rupiah masih berada di kisaran Rp14 ribu per dolar AS.
Lebih lanjut, Eko melihat tingkat keparahan resesi di depan mata untuk menjadi depresi masih cukup kecil. Pasalnya, pertumbuhan negatif pada kuartal III 2020 diperkirakan lebih rendah dari kuartal II.
"Peluang (resesi) jadi depresi ada, tapi kecil, tapi sangat bergantung pada kemampuan pemerintah itu sendiri dalam mengerem resesi. Kalau vaksin bisa ditemukan, ada peluang terhindar dari depresi ke depan," jelasnya.
Sementara Ekonom dari Perbanas Institute Piter Abdullah Redjalam menilai resesi ekonomi akibat corona tidak 'semenakutkan itu' karena sudah dirasakan masyarakat saat ini. Itu tercermin dari daya beli sudah melemah sejak beberapa bulan terakhir.
"Jadi memang tidak perlu khawatir resesi ke depan karena sudah dijalani, titik terendah bahkan sudah dilewati, yaitu pada kuartal II kemarin. Sekarang, arahnya membaik di kuartal III dan IV," tutur Piter.
Ia pun meyakini depresi mungkin tidak akan dirasakan Indonesia ke depan karena perkembangan vaksin cukup positif. Asal catatannya, nanti bisa didistribusikan seluas mungkin, sehingga wabah bisa ditangani dan perekonomian pulih.