Pemerintah mulai blak-blakan mengakui kemungkinan RI bakal terjerat resesi ekonomi pada kuartal III 2020.
Terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap potensi resesi akibat pertumbuhan ekonomi dalam skenario terburuk diprediksi minus hingga 2 persen. Meski begitu, ia menyatakan resesi ekonomi tidak berarti bahwa kondisi Indonesia sangat buruk.
Alasannya, ia menilai sejumlah indikator ekonomi sudah membaik pada periode Juli dan Agustus dibandingkan posisi Mei hingga Juni, di mana pandemi corona sangat memukul ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayang, keyakinan Ani tak lantas menghilangkan gundah yang telah dirasakan Nadia (45) beberapa bulan belakangan. Ibu 2 anak itu cemas kalau suaminya yang bekerja sebagai montir lepas akan kehilangan pekerjaan.
Jangan kan kalau resesi, tak resesi saja Nadia mengaku hatinya tak tenang sebab upah harian suaminya kian menipis akibat sepinya permintaan akan jasa yang ditawarkan. Apalagi, ia kerap mendengar keluhan serupa dari sanak keluarga.
"Khawatir lah (kalau resesi). Ekonomi makan susah, kerjaan suami saya gimana? Penghasilannya gimana?" curhat Nadia.
Walau pendapatan tak menentu, Nadia menyebut rata-rata pemasukan suaminya turun hampir 50 persen sejak April lalu. Mau tak mau, untuk bertahan hidup, ia harus pintar-pintar menata keuangan keluarga.
Segala upaya dilakukannya, mulai dari mengirit pengeluaran tidak mendesak hingga memangkas pos pengeluaran rutin yang bisa diirit seperti mengurangi konsumsi daging.
Sementara, Ami (53) menyebut meski dia tak lagi bekerja mencari penghidupan, namun ancaman resesi membuatnya cemas. Menggantungkan hidupnya dari kiriman bulanan anak-anaknya, Ami khawatir jika resesi menggerus pendapatan buah hatinya yang merantau jauh dari rumah.
Meski kiriman bulanan yang diterima Ami tak berkurang, namun ia memilih untuk menekan pengeluaran dengan memangkas biaya listrik dan lebih disiplin dalam membelanjakan uang belanjanya.
Ami yang juga pelaku usaha mikro mengaku kehilangan pendapatan sampingannya. Ia yang biasanya menjual makanan di kantin sekolah kini tak lagi memiliki pemasukan sejak sekolah ditutup.
Dia juga pernah ingin menjajal jualannya lewat daring seperti yang kerap digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun karena pasar yang dijajalnya tak besar, Ami mengaku kesulitan memasarkan nasi bungkus andalannya.
Ami juga tak lagi muda, pemahamannya akan teknologi tak seperti ibu-ibu muda yang dengan mudah dapat menggunakan koneksinya untuk mulai berjalan secara daring.
"Pernah mau coba jual online tapi ga ada yang beli. Anak-anak sudah ga dapat uang jajan lagi," katanya.
Memang, Ami tak pernah menggantungkan hidupnya dari hasil jualannya. Tapi, jika di saat ekonomi susah seperti ini pendapatan sampingan masih bisa didapat, Ami mengaku bisa lebih tenang karena memiliki bantalan uang yang cukup menghadapi kemungkinan terburuk.
Ibu beranak empat ini mengaku tak paham dengan konsep rumit ekonomi, namun bercermin dari pendapatan jualan kecil-kecilannya yang kini nihil, Ami tahu ada yang tak normal.
Harapan Ami, pemerintah juga akan memberikan bantuan kepada masyarakat 'tanggung' sepertinya yang tak masuk ke golongan 40 persen masyarakat termiskin, namun juga terdampak pandemi virus corona.
"Saya ga ngerti lah soal ekonomi begini, tapi harapan saya pemerintah bisa melihat dan membantu kami juga yang selama ini ga dapat (bantuan) apa-apa," ujarnya.
Padahal, menurut Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi, di tengah potensi resesi, menghemat tak disarankan. Sebab, jika masyarakat tak menggelontorkan konsumsi, perekonomian bakal semakin tertekan.
Resesi sendiri merupakan keadaan di mana pertumbuhan ekonomi sebuah negara mengalami koreksi atau minus selama dua kuartal atau 6 bulan berturut-turut.
Fithra menyebut resesi adalah dampak dari shock yang terjadi di dua sisi ekonomi, pasokan (supply) dan demand (permintaan). Kala masyarakat tak melakukan konsumsi, maka sisi pasokan akan melambat dan merembes ke sisi permintaan.
Jika berlarut, bukan tak mungkin negara akan mengalami krisis dan berujung pada depresi ekonomi. Oleh karena itu, Fithra menilai jika konsumsi minim, khususnya rumah tangga, perekonomian bakal sulit bertumbuh.
Karena, konsumsi rumah tangga memberi kontribusi sebesar 57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Secara teori Nadia dan Ami seharusnya tak mengerem pengeluaran. Namun kenyataannya, keuangannya tak memungkinkan demikian.
Pemasukan turun dan ketakutan resesi sudah membuat mereka mengerem pengeluaran. Beda ceritanya jika sejak awal, ketika pendapatan masyarakat belum tergerus, pemerintah memberikan stimulus atau bantuan uang tunai (BLT) untuk memastikan konsumsi terjadi di masyarakat.
Meski terbilang telat, namun Fithra menyebut jika pemerintah getol mencairkan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN), bisa jadi ekonomi RI di sisa 2020 tumbuh positif.
Jika tidak, Fithra menyebut wong cilik seperti Nadia lah yang bakal merasakan dampak terparah dari resesi. Apalagi, krisis ekonomi kali ini diikuti oleh pembatasan aktivitas.
Menurut Fithra dampaknya nyata, tengok saja pelaku usaha UMKM yang pada krisis sebelumnya pada 1998 dan 2008 menjadi tulang punggung ekonomi nasional, kini malah terseok-seok.
Dalam survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen UMKM mengalami penurunan penjualan.