Ekonom Nilai Pungut Cukai Minuman Pemanis Sekarang Tak Ideal

CNN Indonesia
Kamis, 10 Sep 2020 14:29 WIB
Sejumlah ekonom menilai rencana pemerintah memungut cukai jenis baru peredaran plastik dan minuman berpemanis buatan idealnya dilakukan saat ekonomi pulih.
Sejumlah ekonom menilai rencana pemerintah memungut cukai jenis baru peredaran plastik dan minuman berpemanis buatan idealnya dilakukan saat ekonomi pulih. Ilustrasi. (Istockphoto/monticelllo).
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah ekonom menilai rencana pemerintah memungut cukai jenis baru (ekstensifikasi), yaitu dari peredaran plastik dan minuman berpemanis buatan idealnya baru dilakukan saat perekonomian sudah mulai pulih.

Sebab, pungutan cukai baru di tengah pandemi virus corona justru berpotensi menambah tekanan bagi ekonomi masyarakat dan dunia usaha.

Ekonom CORE Mohammad Faisal mengatakan pungutan cukai jenis baru harus direm dulu karena kebijakan yang diberikan justru harus bersifat insentif. Misalnya, saat ini pemerintah memberikan insentif pajak, maka cukainya dilakukan dengan tidak memungut jenis baru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Justru malah lucu kalau pajak diberikan insentif, tapi cukainya tetap ditarik untuk jenis baru, sekarang memang lebih baik pertimbangkan tekanan ekonomi yang sudah ada di masyarakat karena pandemi," ujar Faisal kepada CNNIndonesia.com, Kamis (10/9).

Faisal bilang kebijakan pungutan cukai baru idealnya baru bisa dilakukan ketika ekonomi sudah mulai pulih, namun bukan di 2021. Menurutnya, meski pemerintah memperkirakan pemulihan ekonomi bisa terjadi di tahun depan, namun kebijakan yang dijalankan sejatinya tetap memberikan berbagi program bantuan sosial (bansos).

Artinya, pemerintah masih akan fokus memperbaiki daya beli dan membantu konsumsi masyarakat. Dengan begitu, kebijakan pungutan cukai baru juga belum tepat dijalankan karena akan kontraproduktif.

"Jadi kebijakan cukai baru pun rasanya belum bisa diberikan, karena masih fokus beri stimulus," tuturnya.

Senada, Ekonom INDEF Ahmad Heri Firdaus mengatakan ekstensifikasi memang ideal dilakukan ketika ekonomi pulih. Hanya saja, bila pemerintah bisa memastikan ekonomi benar-benar pulih sesuai target pada tahun depan, maka pungutan cukai baru dilihatnya bisa dilakukan.

"Tahun depan harus ada skenarionya, kalau bisa pemulihan dan kalau belum. Kalau benar bisa pulih, ya bisa dikenakan tahun depan, kalau belum, ya mungkin tahun depannya lagi," kata Heri.

Pasalnya, menurut Heri, ekstensifikasi cukai sejatinya tetap perlu dilakukan sesegera mungkin. Sebab, Indonesia sudah sangat tertinggal dari negara-negara lain dalam mengimplementasikan kebijakan cukai jenis baru.

Padahal, kajian cukai baru sudah dilakukan dari beberapa tahun lalu, namun eksekusinya tidak pernah berhasil. Hanya saja, ia mengggarisbawahi, pungutan cukai ini bukan serta merta demi penerimaan, apalagi bila ingin menutup pos pendapatan dari pajak yang seret akibat corona.

Sebab, fungsi cukai adalah pengendalian. Selain itu, sumbangan penerimaan dari cukai jenis baru tentu relatif kecil dan belum bisa menopang kebutuhan anggaran, yaitu hanya sekitar Rp1 triliun.

"Kalau ditanya perlu tidak, tetap perlu, tapi di saat yang tepat, tapi bukan untuk tutup penerimaan," tuturnya.

Sementara Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Oka Kusumawardani mengatakan saat ini pemerintah masih fokus pada penanganan dampak pandemi covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

"Sehingga apakah nanti ada barang kena cukai baru atau engga, masih tahap diskusi," ungkap Oka.

Sejauh ini, kebijakan cukai plastik sudah sempat dibahas pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sedangkan cukai minuman berpemanis dalam proses kajian dengan Kementerian Kesehatan.

[Gambas:Video CNN]



(uli/age)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER