Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan pendapatan premi industri asuransi jiwa sebesar Rp95,13 triliun pada Juli 2020. Pencapaian itu tercatat turun 8,74 persen (yoy) dibandingkan Juli tahun lalu sebesar Rp104,25 triliun.
Namun, angka itu tumbuh 19,78 persen secara bulanan (mtm) dari Rp79,42 triliun pada Juni 2020.
Deputi Direktur Pengawasan Asuransi II OJK Kristianto Andi Handoko menuturkan tren penurunan pendapatan premi sudah terlihat sejak Februari lalu. Sementara itu, total perusahaan asuransi jiwa saat ini tercatat sebanyak 54 perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mulai Februari sudah terlihat kita tidak bisa menyamai performa dari periode yang sama di 2019. Jadi, Februari hingga Juli terlihat performanya di bawah tahun lalu," ujarnya dalam Diskusi Asuransi Jiwa bersama LPPI, Kamis (10/9).
Tak hanya premi, aset asuransi jiwa juga tercatat turun 5,47 persen (yoy) menjadi Rp515,78 triliun. Namun, berhasil tumbuh 2,46 persen secara bulanan dari sebelumnya Rp502,44 triliun.
Andi menjelaskan penurunan aset dipicu kontraksi pada nilai investasi. Pasalnya, 80 persen aset asuransi jiwa dalam bentuk investasi.
Tercatat, investasi asuransi jiwa minus 5,46 persen (yoy) menjadi Rp453,40 triliun pada Juli 2020. Namun, angka investasi berhasil naik 2,83 persen secara bulanan dari Rp440,92 triliun di Juni 2020.
"Penurunan investasi asuransi jiwa disebabkan penurunan investasi saham dan reksa dana," imbuhnya.
Ia merincikan mayoritas portofolio investasi asuransi jiwa berupa reksa dana sebesar 33,71 persen dari total investasi. Disusul saham sebesar 23,27 persen.
Kemudian, secara berturut-turut Surat Berharga Negara (SBN) porsinya 17,01 persen, deposito 6,9 persen, obligasi korporasi 6,24 persen, properti investasi 3,36 persen, penyertaan langsung 2,35 persen, surat utang jangka menengah (MTN) 2,14 persen, dan lainnya 1,02 persen.
Sementara itu, rasio solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC), yakni 502,5 persen. "RBC masih bagus 502,5 persen, naik dari tahun lalu sekitar 400 persen sekian. Ini penyebabnya bisa jadi karena perusahaan tidak bisa jualan (produksi)," tuturnya.