Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkap alasan bank sentral nasional belum kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRR) saat Indeks Harga Konsumen (IHK) menurun atau deflasi dalam beberapa tahun terakhir.
Padahal, deflasi beruntun bisa mencerminkan rendahnya daya beli masyarakat, sehingga membutuhkan tingkat bunga yang lebih rendah.
Saat ini, tingkat bunga acuan BI berada di posisi 4 persen. BI belum mengubah lagi tingkat bunga acuan sejak terakhir turun pada Juli lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:BLT 2,8 Juta Pekerja Cair Awal Pekan Depan |
"Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah," ungkap Perry saat konferensi pers hasil RDG BI periode September 2020 secara virtual, Kamis (17/9).
Selain itu, menurut Perry, tingkat suku bunga acuan yang saat ini sudah cukup rendah. Tercatat, BI sudah menurunkan bunga acuan sebesar 200 basis poin (bps) atau 2 persen dalam setahun terakhir, yaitu dari 6 persen pada Juni 2019.
"Bahkan ini adalah yang terendah sejak 2016," imbuhnya.
Lebih lanjut, Perry mengaku sadar bahwa harapan penurunan bunga acuan mungkin dibutuhkan masyarakat agar tingkat bunga kredit bank ikut turun. Dengan begitu, masyarakat mendapat bunga murah yang kemudian bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Hanya saja, menurut Perry, persoalan bunga kredit rendah sejatinya tidak serta merta bergantung pada kebijakan BI. Sebab, Perry melihat bank masih punya ruang penurunan bunga kredit sebelum BI menurunkan lagi tingkat acuannya.
Berdasarkan data BI, saat ini tingkat bunga kredit modal kerja sudah turun dari 9,47 persen menjadi 9,44 persen pada Juli 2020. Begitu pula dengan bunga deposito yang turun dari 5,63 persen menjadi 5,49 persen pada bulan yang sama.
"Dalam kondisi seperti ini, ketersediaan dana lebih menentukan daripada suku bunga. Apalagi suku bunga sudah rendah," tuturnya.
Sayangnya, penurunan tingkat bunga kredit belum bisa mendongkrak pertumbuhan penyaluran kredit dari bank ke masyarakat. Namun Perry melihat hal ini bukan karena tingkat bunga masih tinggi, melainkan permintaan yang masih rendah akibat tekanan ekonomi di tengah pandemi virus corona atau covid-19.
"Ini karena dari berbagai faktor, dari sisi mobilitas manusia, dari sisi permintaan domestik, konsumsi, ekspor, investasi, yang semuanya juga dipengaruhi faktor kecepatan realisasi anggaran, kredit, penjaminan kredit, bunga, kinerja ekspor ke depan," jelasnya.
Di sisi lain, ia menyatakan bank sentral tetap akan mendukung pertumbuhan ekonomi, meski belum menurunkan lagi bunga acuan. Dukungan diberikan dengan berbagi beban (burden sharing) dengan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN untuk penanganan covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Semuanya itu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," pungkasnya.