Gubernur Bank Indonesia (BI) memproyeksi neraca keuangan bank sentral akan defisit hingga Rp21 triliun pada 2021 nanti. Defisit dikarenakan skema burden sharing antara BI dan pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Dari prognosa sampai Agustus tahun depan, BI akan defisit Rp21 triliun dari surplus tahun ini yang relatif besar," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (28/9).
Dalam program pemulihan ekonomi, BI menyepakati dua skema burden sharing dengan Kementerian Keuangan. Salah satu skemanya akan diperpanjang hingga 2022 mendatang. Sedang lainnya, berencana berakhir tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pun begitu, tak tertutup kemungkinan skema menanggung beban bersama ini akan diperpanjang bila realisasi pendanaan public goods belum mencapai target yang ditetapkan, yaitu Rp397,56 triliun.
Saat ini, semua rencana, lanjut Perry, masih dipertimbangkan lebih detail dengan memantau dampaknya terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, termasuk kondisi ekonomi domestik dan global.
Selain karena burden sharing, potensi defisit keuangan bank sentral juga berasal dari penurunan suku bunga global yang berimbas pada penurunan devisa asing.
Karenanya, BI bakal mencari alternatif lain, seperti efisiensi operasi agar penerimaan hasil devisa dapat ditingkatkan.
"Dulu sebagian pakai SBI, tapi sekarang kan semua menggunakan SBN, tapi yang kami miliki sebagian untuk burden sharing juga, itu kan bebannya untuk mendanai APBN," katanya.
Di kesempatan sama, ia mengungkapkan bahwa SBN yang ada di tangan BI sebesar Rp640,6 triliun per 25 September 2020. Jumlah ini termasuk pembelian SBN dari pasar sekunder untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sebesar Rp166,2 triliun.