Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menuding stimulus yang diberikan pemerintah untuk sektor properti berupa subsidi bunga KPR untuk tipe rumah 70 ke bawah atau KPR di bawah Rp500 juta salah sasaran.
Pasalnya, dia menyebut yang dibutuhkan saat ini bukan keringanan bunga melainkan penundaan cicilan KPR karena banyaknya debitur yang tak mampu membayar cicilan karena dirumahkan atau bahkan di-PHK akibat pandemi covid-19.
Paulus menyebutkan pemerintah harus lebih jeli melihat kebutuhan di lapangan jika tujuannya ingin membangkitkan sektor properti. Ia menyebut fatal urusannya apabila sampai sektor properti dibiarkan terpuruk karena ada 70 sektor turunan lainnya yang juga terancam keberadaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah memutuskan saya dikasih permen kok masih lapar, saya kasih kopi kok tambah lapar. Padahal, saya kasih gratis. Ternyata, butuhnya bukan itu, butuhnya nasi untuk makan," ungkapnya menganalogikan pada diskusi daring Mark Plus bertajuk 'Property Industry Perspective' pada Jumat (2/10).
Lebih lanjut ia menilai bantuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 138 tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin dalam Rangka Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional ini tak berdampak signifikan.
Karena, subsidi bersifat sementara, yakni enam bulan dan terbatas untuk kredit rumah murah.
Sedangkan, ia memaparkan bahwa bantuan dibutuhkan secara merata baik untuk rumah tipe murah hingga rumah menengah. Termasuk juga properti mewah seperti hotel dan pusat perbelanjaan (mal).
Dia mengusulkan agar pemerintah memberikan bantuan dalam 4 paket sekaligus. Pertama, penurunan tarif PPh Final Sewa Tanah dan Bangunan yang semula sebesar 10 persen menjadi 5 persen untuk jangka waktu 12-18 bulan. Lalu, juga penurunan tarif PPh Final Jual Beli, PPN, dan kelonggaran waktu pembayaran.
Kedua, berupa keringanan pajak/retribusi daerah, yakni pengurangan PBB hingga 50 persen, penurunan BPHTB dari 5 persen menjadi 2 persen dan khusus rumah sederhana menjadi satu persen, serta kelonggaran waktu pembayaran baik PBB mau pun BPHTB.
Ketiga, pemangkasan biaya operasional, seperti subsidi listrik dan air untuk serta kelonggaran pembayaran bagi hingga 9 bulan.
Terakhir, berupa relaksasi pelaporan transaksi properti. Ia ingin pembelian properti baik perorangan maupun badan usaha yang sumber dananya belum tercatat dalam SPT dikenakan pajak sebesar 5 persen, serta selanjutnya dapat dimasukkan untuk pelaporan pajak tahun selanjutnya.
"Yang ingin saya sampaikan, pemerintah harus melihat dengan jeli data-data yang ada di masyarakat atau di ekonomi mikronya supaya penentuan bisa benar dan agar bagaimana (sektor) properti bisa bangkit," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperluas program subsidi bunga untuk debitur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor. Bantuan tersebut merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di tengah pandemi virus corona (covid-19).
Perluasan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 138 tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin dalam Rangka Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional. Beleid pengganti PMK Nomor 85/2020 itu diteken Sri Mulyani pada 25 September 2020.
Sesuai Pasal 7 PMK 138/2020, Ani mensyaratkan subsidi bunga KPR diberikan kepada debitur perbankan atau perusahaan pembiayaan sampai dengan tipe 70.
"Perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme pelaksanaan pemberian subsidi bunga/ subsidi margin untuk mendukung pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional termasuk menambahkan jenis debitur yang dapat diberikan subsidi bunga/ subsidi margin," ujarnya dalam pertimbangan PMK 138/2020, dikutip beberapa waktu lalu.