Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi dari resesi sepanjang kuartal III tahun ini. Salah satunya, dengan mempercepat bantuan atau stimulus ekonomi dalam program penanganan covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Langkah ini diyakini dapat mengungkit daya beli masyarakat terdampak covid-19, baik di sektor formal maupun informal. Pada saat yang sama, pemerintah juga berharap dana yang digelontorkan dapat membantu pengusaha bertahan dan melewati krisis hingga pandemi berakhir.
Terkait dampak bantuan pemerintah terhadap perekonomian, Ketua Satgas PEN Budi Gunadi Sadikin punya hitung-hitungan sendiri. Menurutnya, tiap stimulus tersebut akan memberikan hasil yang lebih tinggi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) karena adanya efek pengganda atau fiscal multiplier.
Dalam hal ini, ia menggunakan formula Pengganda Keynesian di mana multiplier effect dari stimulus fiskal adalah 1:(1- marginal propensity to consume).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang saya dengar sekarang marginal propensity to consume kita sekitar 0,52 persen, sehingga fiscal multiplier-nya sekitar 2,1 kali," ujar Budi dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Sepanjang Juli-September sendiri, terang Budi, total dana PEN untuk perlindungan sosial, UMKM, pembiayaan korporasi serta sektoral K/L, dan Pemda sebesar Rp487,03 triliun di bawah tanggungjawabnya sudah terserap sebesar Rp137,89 triliun.
Artinya, dengan multiplier sebesar 2,1 Kali akan ada tambahan sebesar Rp289,56 triliun ke PDB di kuartal III 2020. Jumlah itu cukup untuk mengkompensasi kontraksi ekonomi kuartal II 2020 yang minus 5,32 persen.
Pasalnya, berdasarkan hitungan kasar yang ia lakukan, kontraksi sebesar 5,32 persen itu setara dengan kehilangan sumbangsih ke PDB sekitar Rp190 triliun. Angka tersebut berasal dari asumsi PDB Indonesia sebesar Rp3.625 triliun per kuartal-selama setahun total PDB mencapai Rp14.500 triliun.
Kendati demikian, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai hitung-hitungan tersebut sangat tak realistis. Pasalnya, marginal propensity to consume atau kecenderungan konsumsi marjinal yang jadi pijakan hitung-hitungan tersebut tak bisa diterapkan dalam kondisi pandemi.
Secara sederhana, marginal propensity to consume berasal dari gagasan bahwa peningkatan konsumsi terjadi seiring meningkatnya pendapatan. Ketika pendapatan meningkat, konsumsi akan bertambah. Ketika konsumsi naik, produsen akan merespons dengan menambah produksi dan meningkatkan lapangan kerja.
Dalam kondisi normal, kata Bhima, hitung-hitungan tersebut mungkin saja dapat dilakukan. Namun, ketika pandemi, di mana konsumsi masyarakat tertahan karena takut keluar rumah, stimulus yang diberikan pemerintah tak serta merta akan meningkatkan konsumsi.
"Masyarakat diberi bansos pun pada faktanya apa langsung belanja? Tidak, karena mereka khawatir keselamatan dirinya karena pandemi masih mengancam," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com.
Bhima berpandangan dampak stimulus dan bantuan dalam program PEN justru belum terlihat signifikan terhadap perekonomian. Terlebih, per 28 September lalu, total serapan anggaran baru mencapai Rp304,6 triliun atau 43,8 persen dari total pagu yang disiapkan sebesar Rp695,2 triliun. "Padahal itu per September, sisa 4 bulan lagi hingga tutup tahun anggaran 2020," tuturnya.
Hal ini pula, menurut Bhima, yang menyebabkan optimisme pemerintah menghindari resesi makin redup. Jelang akhir September lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah bisa memastikan pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga tahun ini kembali terkontraksi di kisaran -1 persen hingga -2,9 persen.
"Akibatnya indikasi adanya resesi yang berlanjut hingga kuartal IV makin kuat. Deflasi atau penurunan harga terjadi beberapa bulan berturut turut karena permintaan masyarakat lemah. Itu bukti PEN belum mampu tingkatkan perekonomian," jelasnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan besar kecilnya dampak dana PEN terhadap pertumbuhan ekonomi tak hanya bergantung dari kecepatan penyerapan melainkan juga ketepatsasaran.
Pria yang akrab disapa Rendy ini mencontohkan kontribusi dana perlindungan sosial terhadap perekonomian rendah karena menggunakan basis data yang tak mutakhir. Padahal, serapan anggaran perlindungan sosial merupakan yang tertinggi dibandingkan program PEN lain.
"Agresivitas PEN untuk mendorong ekonomi belum tercapai karena pemerintah juga mengakui pertumbuhan ekonomi kuartal III masih di zona negatif. Tapi kalau dibandingkan memang ada perbaikan. Artinya sebetulnya beberapa dari dana PEN berdampak tapi masih relatif kecil," ucapnya.
Rendy sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III akan berada di kisaran -2 persen sampai -4 persen dan tak jauh berbeda dengan kuartal sebelumnya. Pasalnya pemerintah masih kurang agresif menurunkan angka kasus covid-19.
Di sisi lain, serapan anggaran untuk sektor kesehatan yang masih rendah juga menunjukkan bahwa pemerintah masih menilai bahwa pemulihan ekonomi dan penanganan covid-19 bisa dijalankan sendiri-sendiri.
"Dana PEN untuk kesehatan realisasinya juga relatif masih lebih rendah dibandingkan yang lain. Padahal, kasus covid-19 relatif meningkat. Kalau ini terus terjadi di kuartal IV bisa dipastikan pertumbuhan ekonominya akan terus negatif sampai akhir tahun," tandas Rendy.