Direktur PT Freeport Indonesia Claus Wamafma menyebut produksi tambangnya di Kabupaten Mimika, Papua, sekitar 60 persen di tengah masa transisi dari tambang terbuka ke bawah tanah.
Diperkirakan, produksi Freeport kembali normal pada 2022 atawa 2023 mendatang. "Hari ini, kami sudah transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah. Produksi tambang Freeport sekarang ini tidak dalam kapasitas normal. Produksinya baru 60 persen," ujarnya, mengutip Antara, Minggu (11/10).
Dengan kapasitas produksi 60 persen, kata Claus, maka pendapatan perusahaan pun terpengaruh. Termasuk juga berdampak pada alokasi dana kemitraan yang dikucurkan kepada masyarakat lokal melalui Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau produksi kami hanya 60 persen, otomatis dana ini akan terganggu. Bahkan, dana satu persen juga akan terganggu sampai kondisi tambang kami kembali normal. Sebab, selama masa transisi, tidak ada lagi kegiatan penambangan di atas. Semua turun ke bawah untuk menyiapkan area dan infrastruktur," imbuh dia.
Pun demikian, VP Government Relations Freeport Johny Lingga menuturkan saat ini produksi tambang Freeport di Tembagapura, Mimika, masih terus berjalan di tengah pandemi covid-19.
"Semua berjalan sesuai dengan target dan rencana yang ditetapkan perusahaan, tentu dengan mengedepankan protokol covid-19. Produksi tetap jalan lancar, tidak ada kendala," terang Johny.
Memang, dia mengakui, sempat ada hambatan saat terjadi pemalangan dan mogok karyawan di Mile 72. Karyawan menuntut penyediaan bus untuk cuti kerja sementara di Timika dan pembayaran insentif selama pandemi covid-19.
"Saat pemogokan itu produksi sempat terhenti selama empat hari. Kalau sekarang sudah normal kembali, sudah tidak ada lagi persoalan dengan rekan-rekan karyawan," jelasnya.
Sebelumnya, manajemen PT Freeport Indonesia bersama (YPMAK) diundang oleh Bupati Mimika Eltinus Omaleng guna membicarakan kelanjutan pengelolaan dana kemitraan atau yang populer dikenal sebagai dana satu persen.
Dana kemitraan itu dihitung satu persen dari pendapatan kotor hasil penjualan produk (bijih tambang) Freeport sebelum dikurangi dengan pajak dan komponen biaya lainnya.
Dana kemitraan dikucurkan Freeport Indonesia sejak 1996 silam untuk tujuan pemberdayaan masyarakat asli sekitar area pertambangan, yaitu Suku Amungme dan Kamoro, serta lima suku kekerabatan di Kabupaten Mimika, Papua.