Dengan catatan tersebut, maka pemerintah perlu melakukan evaluasi pelaksanaan program penanganan pandemi covid-19 tahun depan. Jika tidak, gelontoran dana jumbo itu hanya jalan di tempat atau menguap tanpa menimbulkan dorongan pada roda ekonomi.
Ahmad menuturkan pemulihan ekonomi bergantung pada perkembangan kasus pandemi covid-19. Namun, pemerintah tidak boleh menggantungkannya kepada vaksin corona.
Selama vaksin corona belum ditemukan, maka pemerintah perlu menggelontorkan dana pemulihan ekonomi. Belum lagi, distribusi vaksin itu sendiri membutuhkan waktu lama untuk menjangkau semua masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagian masyarakat, ketika pandemi masih tinggi, risiko masih tinggi, mereka sudah aware (sadar) akan risiko ini. Jadi, mereka tidak ke pusat perbelanjaan, mengurangi transportasi umum, berkumpul, sehingga ekonomi tak akan optimal," katanya.
Oleh sebab itu, ia mendukung rencana pemerintah melanjutkan program PEN pada 2021. Tahun depan, pemerintah mengalokasikan PEN sebesar Rp356,5 triliun, atau sekitar 51,28 persen dari pagu PEN tahun ini.
Dana tersebut dialokasikan untuk perlindungan sosial Rp110,2 triliun, bantuan UMKM Rp48,8 triliun, kesehatan Rp25,3 triliun, insentif usaha Rp20,4 triliun, sektoral K/L dan pemda Rp136,7 triliun, dan pembiayaan korporasi Rp14,9 triliun
Namun, Ahmad menilai program itu membutuhkan modifikasi, sehingga lebih bertaji memulihkan ekonomi. Menurutnya, pemerintah perlu memaksimalkan penyaluran pada program PEN yang realisasinya tinggi pada tahun ini, yakni perlindungan sosial dan UMKM.
Untuk perlindungan sosial, misalnya, pemerintah masih memiliki ruang mengerek besaran bantuan yang diberikan ke KPM, khususnya masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.
Pasalnya, ia menilai bantuan kepada kelompok ekonomi terbawah sebesar Rp600 ribu masih tergolong rendah karena hanya mewakili 15 persen-20 persen dari pengeluaran bulanan mereka.
Idealnya, bantuan bagi kelompok tersebut, yakni Rp1 juta hingga Rp1,5 juta, sehingga bisa mengkompensasi pendapatan mereka yang hilang akibat pandemi. Besaran itu, mewakili 50 persen dari pengeluaran mereka dalam sebulan yakni Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan.
Menurutnya, bantuan tersebut tidak harus sama rata. Dengan catatan, pemerintah juga harus memastikan DTKS diperbarui, sehingga bantuan tersebut tepat sasaran.
"Kelompok bawah kan paling sensitif, dengan situasi krisis, mereka lah yang paling mudah kehilangan pekerjaan, bila kehilangan pekerjaan tambahannya hanya kecil itu, tidak akan banyak mengubah," imbuhnya.
Selain perlindungan sosial, program yang bisa dimaksimalkan tahun depan adalah bantuan kepada UMKM. Mengingat, realisasinya mencapai tertinggi kedua, yakni 73,24 persen.
Ahmad mengatakan masih banyak UMKM yang belum tersentuh melalui bantuan itu, karena baru menyasar 12 juta pelaku UMKM. Di sisi lain, jumlah pelaku UMKM sendiri berdasarkan data Kemenkop UKM mencapai 60 juta pelaku.
"Sebagian besar UMKM penjualannya turun, akhirnya diikuti dengan produksi turun. Keuntungan turun, bahkan banyak yang sudah tidak sanggup lanjut, itu otomatis multiplier-nya ke ekonomi besar sekali," ucapnya.
Faktanya, alokasi PEN pada kedua program tersebut berkurang cukup signifikan. Perlindungan sosial turun dari Rp203,9 triliun menjadi Rp110,2 triliun dan bantuan UMKM dari Rp123,46 triliun menjadi Rp48,8 triliun.
Sebaliknya, pemerintah mengerek anggaran sektoral K/L dan pemda dari Rp106,11 triliun menjadi Rp136,7 triliun, padahal realisasinya saat ini saja baru 23,48 persen.
"Komposisinya harus dilihat kembali, saya kira masih ada kesempatan. APBN sudah diketok, tapi ada evaluasi akhir tahun ini, bisa menjadi bahan masukan untuk formulasi baru," ucapnya.
Sebetulnya, Sri Mulyani telah melemparkan wacana perubahan alokasi anggaran PEN tahun depan karena alokasinya dinilai cukup rendah. Namun, hingga saat ini pemerintah belum mengumumkan perubahan alokasi anggaran PEN 2021 itu.
Pendapat lain disampaikan Yusuf. Ia menyebut pemerintah hendaknya memaksimalkan upaya memulihkan kembali konsumsi rumah tangga yang sumbangannya mencapai 60 persen kepada PDB. Mengingat, konsumsi rumah tangga masih jeblok minus 5,51 persen pada kuartal II 2020.
Caranya, memperluas basis penerima program bansos, seperti PKH, maupun bansos non reguler, seperti Kartu Prakerja dan bantuan UMKM.
"Untuk mendorong agar daya beli tidak selemah tahun ini, misalnya, memperluas target penerima PKH saya kira ini langkah yang bagus dilakukan pemerintah untuk jaga daya beli," katanya.
Hal lain yang menjadi catatan pemerintah untuk pelaksanaan PEN tahun depan, adalah percepatan realisasi penyalurannya. Seperti diketahui, Presiden Jokowi beberapa kali meluapkan kemarahannya lantaran realisasi PEN masih lambat.
"Pemerintah harus mencari cara agar spending-nya lebih cepat. Tahun depan realisasi belanja PEN yang lambat tidak bisa diterima lagi," tandasnya.
(ulf/bir)