Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengisyaratkan bahwa subholding di PT Pertamina (Persero) tidak akan melanggar amanah Pasal 33 UUD 1945. Meski, subholding membuat penugasan negara kepada Pertamina akan diteruskan ke anak-anak usaha yang berorientasi komersial.
Pembentukan subholding, kata Arya, memang perlu dilihat kesesuaiannya dengan UU yang ada. Namun, di sisi lain, ia menekankan subholding perlu dilakukan karena memberi manfaat efisiensi dan efektivitas bisnis dalam mengejar target-target dan tren energi di masa depan.
"Apakah melanggar dari UU? Ini perlu kita pikirkan, tapi tantangan ke depan yang namanya bisnis fosil itu akan ditinggalkan, kemungkinan kita akan masuk ke bisnis baterai. Dengan begitu, perlu ada perubahan pandangan bisnis Pertamina," terang Arya di diskusi virtual Subholding Pertamina, Melanggar Hukum?, Kamis (22/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, lanjut dia, tren energi sudah mulai ada perubahan sejak saat ini. Dunia kini melirik sumber energi yang lebih ramah lingkungan, yang cadangannya masih tersedia banyak. Salah satunya, nikel untuk menjadi baterai.
"Ke depan, bisa dibilang fosil tidak vital tapi baterai yang vital. Jadi, bisa mengubah cara pandang kita terhadap UU juga, bisnis akan bergerak, tidak stuck (mandek). Misal, dulu nikel bukan yang terpenting, tapi sekarang nikel jadi rebutan orang," jelasnya.
Karena itu, Kementerian BUMN mempersiapkan perubahan bisnis di tubuh Pertamina melalui pembentukan subholding. Saat ini, rencananya ada enam subholding di BUMN minyak raksasa itu.
"Nantinya subholding ada shipping, upstream, commercial & trading, gas, refining & petrochemical, power & NRE," jelasnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai kebijakan subholding tak melanggar UU karena tetap sejalan dengan amanah Pasal 33 UUD 1945.
"Pembentukan subholding Pertamina dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi adalah merupakan suatu langkah tepat yang dilakukan dan hal tersebut tidak melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan," kata Yusril.
Bahkan, Yusril melanjutkan Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memberi pandangan bahwa Pasal 33 UUD 1945 sejatinya tidak menolak privatisasi.
Asalkan, privatisasi itu meniadakan penguasaan negara.
"Pasal 33 UUD 1945 tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," terangnya.
Di sisi lain, Yusril berpandangan bila ada pihak yang menggugat rencana subholding, maka tidak akan tepat karena eksekusinya belum final di lapangan.
"Memang, sudah ada tahapan-tahapan dilalui, tapi belum sampai akhir. Karena ini belum sampai ke tahap yang bisa digugat, ini masih proses yang berjalan," tutur Yusril.
Lebih lanjut ia mengatakan pembentukan holding dan subholding sebenarnya praktek lama yang sudah dijalankan sejak pemerintahan Presiden ke-2 Indonesia Soeharto.
Hal ini terjadi di PT Antam (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan PT Timah (Persero) Tbk, di mana semuanya merupakan pengelola sumber daya alam.
Begitu pula dengan Partner PwC Consulting Indonesia Lenita Tobing. Ia menilai subholding Pertamina sah saja dilakukan karena bertujuan mendorong pengembangan bisnis perusahaan pelat merah itu.
"Bahkan, sebenarnya penurunan bisnis dengan subholding itu terjadi di perusahaan lain. Dengan ini diharapkan bisa lebih fleksibel dan bisa menggali potensi energi terbarukan, mengejar tren energi global, dan mencapai ketahanan energi Indonesia," tuturnya.
Saat ini, ia mencatat ada beberapa perusahaan energi dunia yang menjalankan skema subholding. Di antaranya, Petronas, PTT, Total, hingga ExxonMobil.
VP Corporate Communication & Investor Relations Pertamina Agus Suprijanto bilang langkah subholding digagas untuk menjawab tantangan yang dihadapi perusahaan saat ini. Pertama, harga minyak dunia dan kurs rupiah yang naik turun.
Kedua, penurunan perkembangan ekonomi akibat pandemi virus corona atau covid-19. Ketiga, perkembangan teknologi energi baru seperti baterai listrik.
Keempat, melaksanakan program ketahanan energi pemerintah. Kelima, memperbaiki kinerja keuangan dan mengatasi tantangan keterbatasan pendanaan.
"Untuk itu, kami menyusun masterplan pengembangan portofolio dengan subholding. Dengan ini kami memiliki fleksibilitas dalam operasional end-to-end business dan pengembangan bisnis eksisting," jelasnya.
Agus membagi fungsi masing-masing subholding di Pertamina ke depan. Subholding corporate diharapkan bisa memaksimalkan integrasi infrastruktur migas dari hulu ke hilir, digitalisasi, portofolio bisnis baru, dan lainnya.
Subholding upstream untuk akuisisi bisnis dan meningkatkan aset. Subholding midstream, refining, petchem untuk LNG terminal, pengembangan RDMP, GRR, dan lainnya.
Subholding NRE untuk pengembangan EV baterai, pengubahan biomass ke ethanol, hingga biodiesel. Terakhir, subholding new stream untuk perubahan gas ke methanol hingga pengembangan oleochemical.
"Masa transisi (subholding) akan terus dilanjutkan sampai 2021. Saat ini kami fokus ke pemenuhan aspek yang dibutuhkan," tandasnya.
(uli/bir)