Mencari Celah Murah Listrik Surya untuk Indonesia

Dewi Safitri | CNN Indonesia
Senin, 30 Nov 2020 12:10 WIB
Dengan wilayah cakupan alam nusantara yang luas, kapasitas energi surya RI ditaksir mencapai 207.898 MW. Namun hingga saat ini kapasitas PLTS Atap baru 11,5 MW.
Pengembang perumahan bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa panel surya menjual rumah yang sudah dilengkapi listrik surya atap. (Dok. Victor Wirawan/Baran Energy)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pagi baru saja tiba. Cahaya matahari masih remang, tapi Bagyo sudah bersiap-siap berangkat bekerja. Listrik di rumah yang dihidupkan dengan tenaga surya akan padam tepat pukul 06.00 pagi, setelah menyala sepanjang malam dari pukul 18.00 sore sebelumnya.

Ngadiyem, istrinya, mencabut kabel pengisi daya telepon genggam (charger) setelah pengisian selesai.

"Kalau pakai listrik surya ini kita mesti disiplin. Pakai listrik seperlunya. Sudah selesai ya harus dicopot (kabelnya) supaya listrik tidak cepat habis. Juga menyalakan alat elektronik jangan bareng semua, kalau tidak diperlukan banget," Ngadiyem menjelaskan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasangan Ngadiyem-Bagyo sudah hampir empat tahun melistriki rumah dengan sumber tenaga surya. Langganan listrik dari PLN tidak putus, tetapi digabungkan dengan listrik dari sinar matahari. Hasilnya adalah pasokan daya listrik yang lebih dapat diandalkan dan hemat.

"Dulu kan saya masang listrik PLN kapasitas 900W. Kalau sebulan ya habisnya sekitarnya 100 ribu-an lah. Sekarang saya ngirit Bu, cuma bayar setengahnya aja, 50 ribu," timpal Bagyo melalui sambungan telepon dari rumahnya di Dusun Ngemplek, Desa Piyaman Kecamatan Wonosari Gunung Kidul, Yogyakarta.

Murah adalah kriteria utama listrik surya untuk rumah tangga miskin di Yogyakarta ini. Meski kesannya tak seberapa, untuk warga kelas bawah penghematan sebesar Rp50 ribu per bulan bisa menjadi daya tarik beralih pada listrik surya.

Listrik tenaga surya bisa jadi sumber energi paling murah untuk kelompok ekonomi lemah seperti Pak Bagyo di Gunung Kidul, Yogyakarta ini.Listrik tenaga surya bisa jadi sumber energi paling murah untuk kelompok ekonomi lemah seperti Pak Bagyo di Gunung Kidul, Yogyakarta ini.(Dok Muhammad Awad Abdullah)

Pionirnya adalah seorang warga setempat, Muhammad Awad Abdullah, 47 tahun yang sudah mulai bereksperimen dengan listrik tenaga surya sejak Yogya dilanda gempa dahsyat tahun 2006.

Sebagai sukarelawan tanggap bencana, saat itu Awad yakin bencana alam akan sering melanda wilayah Yogyakarta dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan parah pada infrastruktur energi, telekomunikasi dan transportasi.

"Waktu habis gempa itu kan jalanan itu gelap sekali. Setelah itu sulit untuk rehabilitasi pasca bencana karena jalan rusak, jembatan rusak, listrik padam, telekomunikasi putus. Gara-gara ndak ada listrik semua terhambat," kata Awad yang sehari-hari bekerja sebagai panitera pengganti di Pengadilan Negeri Bantul.

Tanpa latar belakang pendidikan teknik, Awad mulai belajar dan bereksperimen dengan pemasangan solar panel untuk listrik. Solar panel dipilih karena sinar matahari dianggap sumber energi paling murah dan tersedia sepanjang masa yang bisa dimanfaatkan langsung semua orang.

"Mulanya pasang di rumah. Setelah itu pasang di jalan-jalan kampung saya ini, kan tadinya gelap. Terus kita bikin cakruk (pos kumpul warga kampung) yang juga pakai listrik surya. Tiap malam nyala sendiri, paginya mati sendiri."

Warga sekitar pun tertarik dan mulai banyak bertanya soal cara, biaya dan manfaat tenaga surya untuk listrik ini. Awad memilih fokus pada tetangga dan warga sekitar yang berpenghasilan rendah, sebagai upaya untuk membantu mereka mengurangi pengeluaran untuk energi sekaligus memasarkan ide solar panel yang sederhana, energi yang bersih dan mudah.

Untuk rumah tangga ekonomi lemah yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, kapasitas terpasang listrik PLN biasanya mencapai 450W sd 900W- kelompok yang selama ini menerima subsidi untuk listrik dari negara.

Kapasitas ini biasanya cukup untuk beberapa buah lampu penerangan, pesawat televisi/radio model lama, satu koneksi untuk memasak atau alat rumah tangga seperti setrika, pompa air dan satu charger telepon genggam.

Alat-alat ini tak bisa dipakai berbarengan seluruhnya, atau listrik akan kelebihan beban dan akibatnya padam (anjlok).

Untuk menekan biaya, Awad menganjurkan pemakaian barang bekas pakai dengan kualitas baik. Daya yang berhasil dipanen dari sinar matahari misalnya, disimpan dalam aki bekas. Lampu untuk penerangan jalan dan rumah bisa memakai lampu bekas dengan penutup (kap) dari ember bekas dan tiang dari bambu atau kayu yang mudah ditemukan di sekitar rumah.

"Sekali pasang untuk satu rumah biayanya kira-kira Rp2,5 jutaan lah. Lumayan untuk keluarga-keluarga menengah ke bawah tapi masih terjangkau. Hitung-hitung sekali investasi bisa dipakai bertahun-tahun."

Awad berhasil mengajak sekitar 15 rumah tangga menggunakan listrik tenaga surya dan bahkan kemudian mendirikan pusat edukasi listrik tenaga surya untuk orang-orang yang tertarik belajar praktiknya di lapangan.

"Kadang-kadang malah saya diparani mahasiswa teknik dari universitas dating ke sini mau belajar dan tukar pengalaman. Lha, padahal saya sendiri malah ndak punya Pendidikan Teknik," komentarnya sambil tertawa.

Listrik tenaga surya bisa jadi sumber energi paling murah untuk kelompok ekonomi lemah seperti Pak Bagyo di Gunung Kidul, Yogyakarta ini.Pasangan Ngadiyem-Bagyo sudah hampir empat tahun melistriki rumah dengan sumber tenaga surya. (Dok. EBT)

PLTS Atap Murah di Perumahan

Pertumbuhan pemakai listrik dengan panel surya (rooftop solar panel atau dikenal dengan PLTS Atap) merupakan sumber listrik non-fosil dari Energi Baru Terbarukan (EBT) yang paling agresif penyebarannya di Indonesia.

Sempat lama dilanda ketidakpastian akibat aturannya di lapangan, sampai September lalu menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah ada 2300 unit PLTS Atap dibangun di Indonesia dengan kapasitas 11,5 MW.

Ini jumlah yang sangat kecil dibanding kapasitas potensial yang bisa dipakai Indonesia. Dengan wilayah cakupan alam nusantara yang sangat luas, kapasitas energi surya Indonesia ditaksir mencapai 207.898 MW. Sementara target konsumsi listrik tenaga surya pada tahun 2025 adalah 6,5 giga watt (GW).

Proyek pemasangan PLTS Atap massal menjadi opsi yang dipandang paling memungkinkan untuk menggeber konsumsi dan produksi EBT di Indonesia, yakni 23% dari seluruh bauran energi pada tahun 2025.

Di Jabodetabek, pengusaha dan penyedia jasa layanan instalasi PLTS Atap mencoba beragam cara memasarkan konsumsi listrik dari tenaga surya.

Victor Wirawan, CEO Baran Energy, melakukan terobosan dengan bermitra dengan perusahaan pengembang perumahan. Kemitraan semacam ini dipakai sebagai jembatan mendekatkan diri pada konsumen yang umumnya beranggapan instalasi PLTS Atap mahal dan hanya terjangkau kelompok menengah atas.

"Memang yang paling umum konsumen rooftop panel untuk rumah tangga adalah mereka yang tagihan listriknya rata-rata 3,5 jutaan ke atas per bulan. Dengan biaya sebesar itu, investasi instalasi dianggap lebih ekonomis dalam jangka panjang. Nah, sekarang kami dekati konsumen dengan langsung memasang solar panel di rumah yang akan dibeli. Rp300 juta sudah dapat rumah dua lantai dengan atap solar panel," kata Victor.

Baran Energy tengah terikat kontrak untuk memasok atap surya untuk 400 unit rumah di sebuah proyek perumahan di Sukabumi, dari rencana seluruhnya 1.200 unit rumah.

Ini harga yang cukup miring bila dibandingkan dengan pemasangan mandiri di rumah-rumah tinggal yang sedikitnya berbiaya puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Pengembang perumahan bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa panel surya menjual rumah yang sudah dilengkapi listrik surya atap.Pengembang perumahan bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa panel surya menjual rumah yang sudah dilengkapi listrik surya atap. (Victor Wirawan/Baran Energy)

Target vs Realita PLTS Atap

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan pada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM, Harris MT mengatakan pemerintah sedang menimbang sebuah proyek kolosal ke arah pemanfaatan masal listrik tenaga surya.

Saat bicara di depan sekelompok wartawan September lalu, Harris menyebut proyek Energi Surya Nusantara dirancang menyasar "pelanggan listrik bersubsidi kelas 450-900W yang akan diubah menjadi listrik PLTS Atap".

"Dengan shift ke rooftop panel ini diharapkan biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan akan turun, dan dengan demikian subsidi yang harus dikeluarkan PLN juga turun. Negara akan diuntungkan karena sudah cost-nya turun ada tambahan energi lagi yang ditaksir besarnya bisa sampai 1 Giga Watt per tahun," kata Harris.

Pada kenyataannya, tidak mudah untuk sampai ke arah sana. Asosiasi Energi Surya Indonesia, AESI, yang mewadahi berbagai perusahaan penyedia jasa layanan PLTS Atap sempat mencanangkan program 1 juta unit listrik atap (rooftop panel) sejak 2017, tapi hingga tiga tahun kemudian baru tercapai 1700 atap.

Upaya mengatrol konsumsi listrik dari EBT bisa sangat terbantu dengan memfasilitasi PLTS Atap untuk kelompok miskin yang selama ini memakai kapasitas 450W dengan subsidi pemerintah sebanyak 24 juta rumah tangga.

Teknologi batere yang makin canggih memungkinkan storing daya listrik yang makin besar dengan biaya makin hemat. Namun dianggap tetap belum feasible untuk pelanggan kelas menengah ke bawah.Teknologi batere yang makin canggih memungkinkan storing daya listrik yang makin besar dengan biaya makin hemat. Namun dianggap tetap belum feasible untuk pelanggan kelas menengah ke bawah. (Dok. EBT)

Masalahnya ada dua; apakah pemerintah benar berkomitmen melistriki kelompok R1 (klasifikasi pelanggan PLN dengan paling rendah dengan daya rata-rata 450W dan mendapat subsidi negara) ini, dan dua, apakah PLN bersedia menyediakan infrastruktur penunjang termasuk fasilitas penyimpan kelebihan daya (energy storage) untuk lebihan listrik dari rumah-rumah menengah bawah ini?

"Secara prinsip sih bisa saja, tergantung pada konsumsi listrik, luasan atap, dan kesediaan jaringan PLN sebagai energy storage. Kalau pelanggan R-1 misalnya, konsumsinya 10 kWh/hari, maka untuk wilayah Jakarta dia perlu sekitar 3kWp, dgdengan luas atap 36 m2. Tetapi PLN harus menyerap kelebihan energi siang hari dan mensuplai utk malam hari," jelas Andhika Prastawa, Ketua AESI.

Biaya pengadaan dan pemasangan PLTS atap yang berkapasitas 3 kWp ini, menurut AESI bisa disediakan oleh pemerintah dengan 'mengumpulkan' subsidi listrik yang seharusnya diterima setiap bulan langsung di muka.

Pertanyaannya lagi: apakah pemerintah betul-betul punya minat dan komitmen soal ini?

Sejak serangkaian target ditetapkan dalam Rancangan Umum Energi Nasional 2017 lalu, target pencapaian untuk konsumsi listrik tenaga surya adalah 1 GW. Namun lima tahun sebelum tenggat waktu pencapaiannya di 2025, kapasitas pemakaian baru sampai 10% nya.

Sebagian besar pengusaha menunjuk aturan EBT yang dianggap belum berpihak pada industri dan konsumen sebagai penyebab lambatnya pertumbuhan konsumsi PLTS Atap di Indonesia.

Inisiatif lokal seperti yang muncul di Gunungkidul dan Sukabumi menunjukkan industri dan konsumen PLTS Atap sudah siap menangkap peluang listrik EBT murah dari sinar matahari. Tetapi bila tak kunjung dibantu dengan realisasi komitmen pemerintah, pertumbuhan akan jauh dari optimal dan target pencapaian konsumsi EBT lagi-lagi terancam gagal.

----


Artikel ditulis oleh Dewi Safitri yang menjadi fellow dalam Program penulisan bertema Energi Baru Terbarukan (EBT) diselenggarakan oleh AJI dan Internews.

(vws)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER