Kementerian ESDM menyatakan minyak goreng bekas atau minyak jelantah memiliki potensi bisnis menjanjikan di masa depan. Pasalnya, minyak jelantah dapat diolah menjadi sumber energi alternatif biodiesel.
Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Kementerian ESDM Saleh Abdurrahman menyampaikan pemanfaatan minyak jelantah untuk biodiesel ini menjadi salah satu opsi yang baik sebagai bagian dari peningkatkan sirkular ekonomi.
Dalam hal ini, pelaku bisnis melakukan daur ulang pemanfataan sumber daya untuk terus menghasilkan manfaat ekonomi sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengingat besarnya potensi minyak jelantah menjadi potensi bisnis yang bagus termasuk bagi generasi muda di Indonesia," ungkap Saleh kepada tim esdm.go.id di Jakarta, dikutip dari keterangan resmi, Senin (7/12).
Saleh mengungkapkan kajian awal TNP2K dan Traction Energi Asia tentang Potensi Minyak Jelantah Untuk Biodiesel dan Penurunan Kemiskinan di Indonesia (2020) mencatat bahwa pada tahun 2019, konsumsi minyak goreng sawit nasional mencapai 16,2 juta kilo liter (KL).
Dari angka tersebut rata-rata minyak jelantah yang dihasilkan berada pada kisaran 40-60 persen atau berada di kisaran 6,46 - 9,72 juta KL. Sayangnya, minyak jelantah yang dapat dikumpulkan di Indonesia baru mencapai 3 juta KL atau hanya 18,5 persen dari total konsumsi minyak goreng sawit nasional.
Kajian tersebut juga menemukan bahwa hanya sebagian kecil minyak jelantah di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai biodiesel. Dari total minyak jelantah yang terkumpul, hanya sekitar 570 KL yang dikonversi untuk biodiesel dan kebutuhan lainnya, sementara sisanya sekitar 2,4 juta kilo liter digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor.
TNP2K dan Traction EnergyAsia menyebut, hal itu disebabkan belum ada mekanisme pengumpulan minyak jelantah baik dari restoran, hotel dan rumah tangga. Sebaran lokasi sumber minyak jelantah yang tidak simetris dengan lokasi pabrik pengolahan biodiesel, teknologi pengolahan (terutama yang dikelola oleh masyarakat) yang belum cukup efisien dan kualitas biodiesel hasil olahan minyak jelantah yang masih perlu diuji lebih jauh, menjadi tantangan selanjutnya.
Padahal, pengolahan minyak jelantah untuk biodiesel dapat mendatangkan banyak manfaat baik dari sisi ekonomi, kesehatan maupun lingkungan.
Dari sisi ekonomi, pengelolaK elompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Tarakan Timur Sardji Sarwan mengatakan bahwa omzet produksi biodiesel yang dihasilkan kelompoknya sudah mencapai Rp 2 juta per hari. Ia mempekerjakan sembilan karyawan yang bekerja 4 jam per hari, dengan bayaran Rp 2 juta per bulan per orang. Produk biodiesel yang dihasilkan bisa mencapai 180 liter per hari dan dijual dengan harga Rp11.000 per liter.
Walaupun data yang ada memang menunjukkan bahwa biaya konversi biodiesel berbahan baku minyak jelantah lebih besar daripada biaya konversi biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit, harga indeks produksi (HIP) minyak jelantah untuk biodiesel lebih rendah dibanding HIP minyak kelapa sawit karena faktor bahan baku.
Dari sisi kesehatan, serapan minyak jelantah untuk produksi biodiesel bisa mengurangi alokasi penggunaan minyak jelantah yang didaur-ulang sebagai bahan masakan, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi risiko meningkatnya kadar HNE atau zat beracun yang mudah diserap dalam makanan pada makanan yang dapat mengakibatkan stroke, alzheimer dan Parkinson. Dari sisi lingkungan, pengolahan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel bisa berdampak positif terhadap pengurangan limbah B3.
Tak hanya itu, pengolahan kembali dapat mengurangi pembuangan minyak jelantah yang dapat mencemari lingkungan dan mengganggu ekosistem.
Sebagai catatan, minyak jelantah yang dibuang sembarangan memberikan risiko meningkatnya kadar Chemical Oxygen Demand(COD) dan Biological Oxygen Demand(BOD) di perairan. Hal ini menyebabkan tertutupnya permukaan air dengan lapisan minyak.
Imbasnya, sinar matahari tidak dapat masuk ke perairan yang mendorong matinya biota dalam perairan, serta berpotensi mencemari air tanah.