Sebagai negara dengan salah satu sumber energi alami terbesar di dunia, kinerja Indonesia dalam memanfaatkan sumber energi bersih cukup menyedihkan.
Dengan menghitung luasan garis pantai, wilayah bukaan angin, limpahan sinar matahari, simpanan panas bumi, dan material limbah hewan dan tumbuhan untuk biogas, besar konsumsi energi terbarukan di seluruh republik saat ini baru berkisar 10% dari seluruh konsumsi energi yang dipakai secara nasional.
Target mencapai transisi energi dengan meninggalkan ketergantungan dari energi bersumber fosil termasuk minyak bumi dan batu bara yang sudah berhasil dicapai sejumlah negara masih jadi bayangan samar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang kita lihat sampai saat ini insentif masih sangat jauh diterima industri fosil dibanding industri EBT (Energi Baru Terbarukan). Untuk BBM dan batubara muncul macam-macam dukungan pemerintah terutama setelah pengesahan UU Minerba tahun ini," kata Hindun Mulaika, peneliti energi Greenpeace Indonesia.
"Sementara untuk EBT nyaris tidak ada insentif. Listrik dari panel surya misalnya, dihargai 65% dari harga listrik PLN saat ini. Tanpa insentif, instalasi energi dengan EBT akan tetap mahal dan akibatnya "listrik tenaga surya cuma untuk orang kaya saja."
Hindun merujuk laporan Greenpeace edisi September 2020 yang memberi skor F dalam pengembangan EBT di Indonesia.
Skor ini menunjukkan Indonesia berada pada papan penilaian terendah di wilayah Asia Tenggara karena ketergantungan tinggi pada sumber energi fosil, terutama batu bara. Sebagai pembanding, Malaysia atau Vietnam sudah mulai mengekspor kelebihan listrik dari EBT-nya ke luar negeri.
Urusan dukungan dan insentif ini lah yang ditunggu-tunggu kemunculannya dalam UU EBT yang masuk daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 dan merupakan inisiatif DPR.
Dimulai pembahasannya sejak September lalu, Komisi Energi di DPR sudah beberapa kali menggelar agenda dengar pendapat dengan berbagai kalangan energi Indonesia untuk menjaring masukan. Sejauh ini, kajian akademik maupun draft RUU yang beredar belum dianggap memuaskan publik.
Salah satu yang dipersoalkan adalah masuknya energi nuklir dalam kategorisasi EBT. Padahal di banyak negara nuklir tidak dianggap sebagai energi bersih sekaligus berkelanjutan, dua karakter utama EBT.
Nuklir dalam kategori EBT diduga karena 'diselipkan' dalam kategori "Energi Baru" yang diterjemahkan sebagai energi yang didapat dengan munculnya teknologi baru.
"Pertama teknologi nuklir jelas bukan baru, karena sudah ada selama beberapa dekade bahkan di Indonesia. Kedua, nuklir sulit masuk dalam kategori bersih dan berkelanjutan, bahkan ancaman radiasi dan bahaya kebocoran reaktornya berlawanan dengan karakter energi berkelanjutan tersebut. Dengan masuknya nuklir dalam RUU EBT, justru akan mencederai semangat EBT itu sendiri," kata peneliti lembaga kajian hukum lingkungan ICEL, Griya Anindarini.
Alih-alih menerjemahkan 'B' dalam "EBT" sebagai 'baru', pegiat mengusulkan agar huruf tersebut dimaknai sebagai 'bersih' sehingga EBT merupakan kependekan dari "Energi Bersih Terbarukan".
Dengan demikian unsur energi non-terbarukan seperti nuklir atau gasifikasi batubara (energi yang didapat dari pengubahan batubara menjadi gas) yang juga masuk dalam kategori teknologi dan sumber baru untuk energi listrik.
"Energi berkelanjutan ini makin lama teknologinya makin murah, sementara sumber dayanya di Indonesia melimpah. Jangan sampai kita terus-terusan terbawa kesan bahwa sumber energi kita hanya minyak dan gas padahal negara lain sudah banyak yang beralih pada EBT dan membuktikan keuntungan dari transisi ke EBT daripada terus tergantung pada sumber energi berbasis fosil," kata Janata Giwangkara, Manajer Program Transformasi Energi IESR (Institute for Essential Services Reform).
Jadi, berapa harga beli EBT yang atraktif?
Isu paling ditunggu dari RUU ini tentu saja sejauh mana negara bersedia memberikan kepastian tentang insentif harga untuk mendukung pemakaian EBT lebih luas di Indonesia. Soal insentif sudah berkali-kali disampaikan kementerian ESDM namun hampir selalu dalam tataran rencana.
Salah satu yang beberapa kali disebut Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan pada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM, Harris MT, adalah isu listrik dari energi terbarukan harus dibahas semua pihak.
Namun, menurutnya, isu insentif dan subsidi harus lebih dulu lolos dengan persetujuan DPT dan Kementerian Keuangan. Harris menyebut proyek Energi Surya Nusantara, sebuah skema listrik PLTS Atap murah yang diadopsi dari usulan kelompok pendukung energi bersih, sebagai model yang direncanakan dipakai pemerintah.
Rencananya pelanggan listrik kapasitas 450 watt yang rata-rata menerima subsidi pemerintah, akan diubah sumbernya dari BBM/batubara jadi listrik surya atap.
"Panel surya dan alat listrik akan disediakan oleh PLN, sementara kelebihan produksi listrik di rumah-rumah ini akan diserap kembali oleh PLN. Kalau ini bisa diimplementasikan maka secara sistem PLN sudah mampu menyerap (kelebihan daya listriknya). Ingat sifat intermittensi PLTS, daya yang dihasilkan tidak selalu konstan, jadi peran PLN sangat penting. Dengan kewajiban Sertifikat Laik Operasi (SLO), bisa pakai cara cicilan dan sewa equipment juga akan membuat biaya listrik atap makin murah," kata Harris.
Anggota Komisi Energi DPR, Mulyanto mengatakan isu harga energi menjadi isu sentral dalam pengembangan listrik bersumber dari EBT, apalagi ketika harga batubara dan BBM tengah merosot tajam, karena pengaruh pandemi.
Sepanjang harga listrik EBT masih mahal, konsumen listrik tetap akan jadi pemakai energi murah dan terjangkau dari fosil. Sementara bila PLN diwajibkan membeli listrik EBT dengan harga tinggi untuk mendorong konsumsi EBT, dampaknya menurut Mulyanto bisa sangat buruk.
"BUMN yang utangnya segunung ini bisa kolaps. Pemerintah berencana membentuk Peraturan Presiden tentang Pembelian Tenaga Listrik EBT oleh PLN, agar harga listrik EBT ini lebih kompetitif. Namun sampai hari ini belum terbit juga. Karenanya RUU ini harus menitik-beratkan pada pengaturan dukungan pemerintah dalam aspek harga, kemudahan termasuk soal kelembagaan, untuk mendorong pengembangan EBT di tanah air," tambah Mulyanto.
Tapi Mulyanto tak menyebut, berapa harga beli listrik EBT yang cukup atraktif untuk industri EBT.
Janata Diwangkara dari IESR melihat draft RUU sudah mengarah pada pembahasan ini. Kebijakan terakhir pemerintah tentang harga beli listrik EBT adalah Permen ESDM 4/2020 di mana penetapan harga listrik energi terbarukan mengacu kepada Biaya Pokok Produksi (BPP) pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat hingga maksimum 85%.
Tetapi teknologi yang dpakai dalam ekstraksi energi terbarukan sangat berpengaruh terhadap harga; makin tinggi investasinya, makin tinggi harga jual listriknya.
"Harga listrik tertinggi dalam studi kami, pembangkit listrik tenaga bayu/angin (PLTB) tahun 2019 di Indonesia adalah 16,1 sen Dolar Amerika per kWh listrik yang dibangkitkan. Sedangkan BPP pembangkitan nasional di tahun 2018 adalah 7,86 sen Dolar Amerika per kWh, atau hampir setengah dari harga listrik dari PLTB tertinggi. Sehingga dengan mekanisme penetapan harga ini harga menjadi atraktif bila minimal sama dengan harga yang diatur, yakni 85% dari BPP pembangkitan setempat."
Janata menunjuk rencana pemerintah memberi feed-in-tariff (FIT) sebagai salah satu insentif menjanjikan untuk industri EBT.
FIT adalah mekanisme untuk mendorong investasi dengan menawarkan kontrak jangka panjang bagi pengusaha EBT. Mekanisme ini disebut-sebut jadi salah satu kunci sukses Vietnam mengembangkan EBT sejak mengadopsi FIT tahun 2012.
Catatan IESR menunjukkan investasi total EBT Vietnam dalam 5 tahun terakhir mencapai USD 9 miliar sama dengan total investasi Indonesia selama 11 tahun.
Kabar baiknya, rancangan FIT dalam bentuk Perpres menurut Kementerian ESDM sudah ada di meja Presiden. Kabar kurang baiknya, makin lama waktu menunggu insentif terbit, makin jauh peluang Indonesia mengejar target investasi EBT nasional.
(vws/vws)