KALEIDOSKOP 2020

Jurus Jokowi Atasi Resesi di Tengah Keculasan dan Korupsi

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Rabu, 23 Des 2020 06:47 WIB
Jokowi berupaya mati-matian menyelamatkan ekonomi dalam negeri dari tekanan corona. Satu jurus yang dikeluarkannya adalah bansos covid-19.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki).

Selain dihadapkan pada permasalahan penyaluran, bansos yang digelontorkan oleh Jokowi di era covid-19 juga menghadapi masalah dengan tingkat efektifitasnya dalam mengerek daya beli. Bhima mengatakan amunisi yang diberikan pemerintah untuk mengerek daya beli masyarakat melalui bansos tidak maksimal.

Pasalnya dana bansos yang digelontorkan tak sampai 5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jika terus begini, maka penyalurannya tak akan merata ke seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan.

"Bansos harusnya ditambah, jumlah harus lebih besar dari sisi penawaran di pasar. Korporasi dapat banyak bantuan, nah jumlahnya tidak sebanding ini, perlindungan sosial kecil," kata Bhima.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bhima menambahkan kalau tidak segera dibenahi, masalah itu bisa berdampak ke seluruh sektor atau berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, bagi banyak tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan tempatnya bekerja tak bisa bertahan di masa pandemi.

Ketika mereka tidak tertolong oleh program bantuan itu, banyak pekerja yang pindah ke pedesaan. Hal ini akan menambah masalah sosial di desa.

Kemudian, jika angka pengangguran tinggi, maka akan berdampak pada konflik sosial baik di kota maupun di desa. Masyarakat akan semakin mudah tersulut oleh isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pembenahan sektor lain

Tak hanya dari sisi sosial, Jokowi kata Bhima juga harus memberikan perhatian ke masalah lain agar resesi tak berdampak ke sektor lain salah satunya perbankan. Itu karena potensi peningkatan kredit macet setelah relaksasi kredit yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di masa corona berakhir.

Diketahui, OJK memberikan relaksasi kredit hingga Maret 2022. Selama ada fasilitas relaksasi, bank bisa melakukan restrukturisasi tanpa harus memasukkan kredit itu menjadi kredit macet.

Ini berarti, kredit yang direstrukturisasi tersebut masih terhitung sebagai kredit lancar oleh perbankan. Dengan demikian, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) perbankan tak melonjak.

Likuiditas perbankan pun bisa dibilang stabil. Namun, jika fasilitas relaksasi selesai, maka NPL berpotensi naik signifikan dan likuiditas menipis.

"Jadi banyak bank yang sudah menyiapkan pencadangan untuk antisipasi lonjakan NPL 2021, ini efek dari resesi," tutur Bhima.

Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan belanja yang besar untuk menyalurkan bansos tahun depan. Bansos dibutuhkan untuk mendorong daya beli masyarakat kelas menengah bawah.

Ongkos yang dikeluarkan pemerintah pun tak sedikit. Tahun ini saja, pemerintah memproyeksi APBN 2020 defisit mencapai 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Defisit terjadi lantaran jumlah penerimaan negara diproyeksi hanya Rp1.699,9 triliun. Namun, belanja negara ditargetkan mencapai Rp2.739,2 triliun.

Begitu pula dengan 2021. Defisit APBN diproyeksi masih menganga lebar.

Dalam APBN 2021, pemerintah menargetkan belanja negara sebesar Rp2.750 triliun. Sementara, penerimaan negara hanya Rp1.444 triliun.

Artinya, defisit tahun depan diprediksi sebesar Rp1.006 triliun. Angka tersebut setara dengan 5,7 persen terhadap PDB.

"Defisit bisa melebar 3 persen-5 persen sampai 2023. Ini akan sulit mengembalikan defisit anggaran di bawah 3 persen," ucap Bhima.

Perlu dorong orang kaya belanja

Di sisi lain, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet berpendapat jatuhnya tingkat konsumsi masyarakat bukan semata-mata karena bansos yang disalurkan pemerintah tak efektif. Ia menyatakan bansos hanya alat untuk mempertahankan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.

Sementara, kontribusi konsumsi kelas menengah ke bawah tak sampai 50 persen terhadap total konsumsi masyarakat di Indonesia. Ini berarti, tingkat konsumsi lebih banyak dipengaruhi oleh belanja masyarakat kelas menengah ke atas.

"Jadi ini sebenarnya tidak serta merta bahwa masalah konsumsi karena bansos tidak efektif. Konsumsi di Indonesia masih banyak disumbang oleh kelompok menengah ke atas," kata Yusuf.

Oleh karena itulah, ia mengatakan itu harus didorong. Ia mengakui itu semua bukan perkara mudah ketika pandemi corona belum bisa diatasi.

Ia memproyeksi konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas masih melambat selama penularan virus corona terus meningkat seperti sekarang. Saat ini, mereka menahan untuk berbelanja karena masih ada ketidakpastian ekonomi akibat corona.

Selain itu, masyarakat kelas menengah ke atas juga ragu untuk bepergian ke luar rumah. Mereka masih khawatir tertular virus corona.

"Selama tren penularan virus corona masih seperti ini (naik), maka konsumsi masih seperti ini terus," terang Yusuf.

Menurut Yusuf, ekonomi baru bisa pulih atau kembali ke level positif pada kuartal II 2021 mendatang. Sebab, proses kedatangan vaksin masih berlangsung bulan ini hingga awal 2021.

Setelah vaksin datang, pemerintah masih harus mengurus izin edar sebelum didistribusikan. Untuk itu, dampak vaksin belum terasa pada kuartal I 2021.

"Dengan asumsi tidak ada gelombang kedua peningkatan kasus yang signifikan, pertumbuhan ekonomi bisa positif pada kuartal II 2021," tutup Yusuf.

(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER