Virus corona resmi masuk ke Indonesia pada awal Maret lalu. Didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan juga Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Jokowi kala itu mengatakan 2 orang warga negara Indonesia sudah terinfeksi virus tersebut.
Setelah 2 kasus itu, penyebaran virus corona terus meningkat dan berdampak tak hanya ke sektor kesehatan masyarakat, tapi juga ekonomi dan sosial. Di sektor ekonomi, penyebaran virus corona telah mengakibatkan tekanan hebat.
Itu salah satunya tercermin dari kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal II dan III 2020. Data BPS menunjukkan akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilaksanakan pemerintah untuk menekan penyebarluasan virus corona, ekonomi kuartal II 2020 tertekan hingga minus 5,32 persen dan kuartal III 2020 minus 3,49 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penurunan kinerja itu tak ayal membuat angka pengangguran dan kemiskinan yang selama beberapa tahun pemerintahan Jokowi berhasil ditekan kembali melonjak. Untuk angka kemiskinan misalnya,
Data BPS menunjukkan pada 2020 kemarin angka kemiskinan yang berhasil ditekan tinggal 24,79 juta orang pada September 2019, melesat lagi ke level 26,42 juta orang.
Sementara itu angka pengangguran melonjak 2,67 juta orang jadi tembus 9,77 juta orang pada Agustus 2020. Tak ingin masalah itu terus menggerogoti ekonomi dalam negeri, Jokowi menggelontorkan bantuan sosial. Dengan bansos, Jokowi berharap orang miskin dan pengangguran tetap bisa makan di masa krisis ini.
Saat virus corona baru masuk ke Indonesia pada Maret 2020 lalu, pemerintah memutuskan untuk menambah alokasi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sebesar Rp405,1 triliun.
Dana itu digelontorkan untuk berbagai hal, termasuk bansos. Di sini, bansos masuk dalam klaster perlindungan sosial.
Total dana yang dialokasikan untuk klaster perlindungan sosial mencapai Rp110 triliun. Dana tersebut dikucurkan melalui program keluarga harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM), kartu sembako untuk 20 juta penerima, dan Kartu Prakerja untuk 5,6 juta peserta.
Selain itu, ada pula diskon listrik gratis selama 3 bulan untuk 24 juta pelanggan listrik berdaya 450 VA dan diskon 50 persen untuk 7 juta pelanggan berdaya listrik 900 VA bersubsidi, tambahan insentif perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dukungan logistik sembako, dan kebutuhan pokok.
Selang beberapa bulan, jumlah alokasi untuk perlindungan sosial ditambah menjadi Rp203,9 triliun. Kemudian, anggaran kembali naik menjadi Rp233,69 triliun.
Kenaikan terjadi seiring dengan penambahan beberapa program bantuan dari pemerintah. Beberapa contohnya, seperti bantuan langsung tunai (BLT) dana desa, bansos Jabodetabek, bansos non-Jabodetabek, hingga BLT bagi pekerja bergaji di bawah Rp5 juta.
Secara keseluruhan, total dana yang disiapkan pemerintah untuk penanganan pandemi virus corona dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2020 mencapai Rp695,2 triliun. Tapi sayang gelontoran dana besar itu belum bisa dimanfaatkan dengan baik.
Dari sisi pemanfaatan misalnya, dana itu baru terealisasi 62,1 persen per 25 November 2020.
Total dana yang disalurkan pemerintah per 25 November 2020 tercatat sebesar Rp431,54 triliun. Rinciannya, realisasi penyaluran klaster perlindungan sosial sebesar Rp207,69 triliun dari pagu Rp233,69 triliun, klaster kesehatan sebesar Rp40,32 triliun dari pagu Rp97,9 triliun, dan sektoral kementerian/lembaga (k/l) atau pemerintah daerah (pemda) Rp36,25 triliun dari pagu Rp65,97 triliun.
Lalu, realisasi penyerapan klaster dukungan untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebesar Rp98,76 triliun dari pagu Rp115,82 triliun, insentif usaha Rp46,4 triliun dari pagu Rp120,6 triliun, dan pembiayaan korporasi Rp2 triliun dari pagu Rp61,2 triliun.
Sementara, data Kementerian Sosial menunjukkan realisasi anggaran perlindungan sosial sebesar Rp112,72 triliun per 3 November 2020. Jumlah tersebut setara dengan 87,44 persen dari total dana yang disiapkan mencapai Rp128,92 triliun.
Mayoritas dana terserap untuk program sembako dengan jumlah Rp37,31 triliun dari target Rp43,12 triliun. Lalu, pemerintah juga menyalurkan dana untuk PKH sebesar Rp36,71 triliun, bansos tunai Rp25,86 triliun, bansos semabako Jabodetabek Rp5,65 triliun, bansos tunai bagi keluarga penerima manfaat sembako non PKH sebesar Rp4,5 triliun, dan bansos beras Rp3,29 triliun.
Realisasi ini terbilang masih minim karena pemerintah hanya punya waktu kurang dari satu bulan lagi untuk menghabiskan seluruh dana perlindungan sosial. Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Reza Yamora Siregar mengakui pemerintah menghadapi kendala berupa permasalahan data dalam menyalurkan bansos.
Ia bilang persoalan data terjadi lantaran banyak masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor informal. Dengan demikian, tidak ada data valid tentang tenaga kerja Indonesia.
"Waktu kami mau mengadakan bansos, Kartu Prakerja, kami tidak punya banyak data terhadap lebih dari 50 persen tenaga kerja. Itu menjadi permasalahan dan harus diselesaikan, bagaimana formalisasi sektor-sektor lapangan kerja," ujar Reza pada November 2020 lalu.
Sementara, Eks Menteri Sosial Juliari Batubara mengungkapkan terdapat 92 kabupaten/kota yang tak pernah memperbarui data jumlah masyarakat miskin di wilayahnya. Hal itu membuat jumlah orang miskin di kabupaten/kota tersebut tercatat paling banyak dibandingkan dengan kawasan lainnya.
Lalu, 319 kabupaten/kota lainnya memperbarui data jumlah orang miskin di wilayahnya, tetapi tidak sampai 50 persen. Dengan kata lain, mayoritas data kemiskinan di 319 kabupaten/kota itu masih data lama.
Kemudian, 103 kabupaten/kota yang memperbarui data kemiskinan di masing-masing wilayah yang melebihi 50 persen. Ini berarti, sebagian besar datanya saat ini adalah yang terbaru.
Permasalahan data juga muncul karena sikap culas kepala daerah. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan beberapa kepala daerah akan mengubah data jumlah orang miskin jelang pemilihan kepala daerah (pilkada).
Biasanya, kepala daerah akan membuat jumlah orang miskin lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, ketika kepala daerah itu kembali terpilih, mereka akan berusaha menurunkannya secara drastis, sehingga akan dinilai sebagai prestasi bagi kepala daerah itu.
Penyaluran makin lambat
Selain penyaluran kurang maksimal akibat masalah data, bantuan juga dinodai dugaan kasus korupsi yang melibatkan Menteri Sosial Julairi Piter. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira memproyeksi penyaluran bansos semakin terhambat oleh kasus itu. Apalagi, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Juliari sebagai tersangka korupsi dalam program bansos penanganan virus corona.
Kasus tersebut katanya, akan membuat pejabat semakin hati-hati dalam menyalurkan bansos ke depannya.
"Pejabat teknis mungkin akan lebih hati-hati, khususnya bansos yang pendataannya bermasalah, kemudian tidak tepat sasaran," ucap Bhima.
Selain itu, kelambanan juga akan dipicu oleh evaluasi yang dilakukan pemerintah usai kasus dugaan korupsi bansos covid terungkap. Bukan tidak mungkin, katanya, karena kasus itu beberapa program bansos akan disetop sementara.
"Bisa dikaji kembali beberapa program bansos, di-hold beberapa, khususnya bansos Jabodetabek. Ini menghambat penyaluran bansos. Jadi pesimistis juga untuk mencapai angka 100 persen," terang Bhima.
Selain itu, persoalan data yang tak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah juga menambah daftar masalah penyaluran bansos di dalam negeri. Tak ayal, realisasinya masih rendah.
Selain itu, dampak penyaluran bansos terhadap ekonomi juga tak signifikan. Bansos yang diharapkan bisa mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat nyatanya tak bisa membuat daya beli tetap terjaga di masa pandemi.