China menjadi sorotan publik ketika virus corona (covid-19) muncul di Kota Wuhan pada pengujung tahun lalu. Hanya dalam hitungan hari, Wuhan ditutup. Seluruh masyarakat diminta tinggal di rumah, aktivitas, mobilitas dan ekonomi pun terhenti. Wuhan bak kota mati.
Tak hanya Wuhan, Beijing hingga Shanghai pun terpaksa menghentikan hingar bingar industri dan bisnisnya.
Ekonomi Negeri Tirai Bambu pun berputar 360 derajat. Dari semula tumbuh di kisaran 6 persen menjadi minus 6,8 persen pada kuartal I 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
China menjadi negara pertama yang jatuh ke pertumbuhan negatif ketika covid-19 masih 'dalam perjalanan' menginfeksi ekonomi negara-negara lain. Setelah China, satu per satu negara yang terjangkit covid-19 dan terpaksa lockdown pun mulai tumbang ekonominya.
Singapura, Jepang, Korea Selatan, negara-negara di kawasan Eropa, Amerika Serikat, hingga Indonesia pun tertular pertumbuhan negatif. Tak sedikit di antaranya bahkan sudah 'terjeblos' ke jurang resesi alias pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
Ketika negara-negara lain menderita, China yang terpuruk paling pertama, justru bangkit lebih dulu. Kontraksi ekonomi berhasil disulap jadi positif 3,2 persen pada kuartal II 2020, ketika negara lain mulai resesi.
Juru Bicara Kementerian Perdagangan Fithra Faisal menilai China berhasil pulih lebih dulu karena memiliki kekuatan konsumsi domestik yang besar. Maklum saja, populasi China merupakan yang terbesar di dunia.
Konsumsi masyarakat yang terbatas pada kuartal I akibat lockdown berangsur-angsur naik lagi ketika negara mulai membuka diri dan mengaktifkan lagi kegiatan bisnis dan industrinya. Selain konsumsi, China juga dibantu oleh perdagangan.
Sudah jadi rahasia umum bahwa China adalah aktor utama dalam perdagangan internasional. Perannya turut menggerakkan ekonomi negara lain, meski mereka masih berjuang dalam kebijakan lockdown guna mencegah perluasan pandemi.
"China meski berperan di perdagangan global, tapi dorongan dari ekonomi domestiknya tinggi," ucap Fithra kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Sementara, negara-negara lain yang bergantung dan punya peranan penting dalam perdagangan dunia, seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, tidak memiliki kekuatan konsumsi domestik sebesar China. Begitu juga dengan Indonesia.
Tak heran, China berhasil pulih lebih dulu dan membalikkan ekonominya negatif menjadi positif dalam hitungan bulan. Di sisi lain, China termasuk negara yang disiplin dan cekatan dalam menangani pandemi.
Ketika satu per satu kotanya terpaksa lockdown, China berhasil membangun berbagai rumah sakit darurat dengan cepat hanya dalam hitungan hari. Hal ini membuat penanganan pandemi covid-19 di negara itu relatif efektif dan segera membuahkan hasil.
Hasilnya pun tak hanya mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat lokal, namun juga investor asing. Di tengah pandemi, China bahkan mengurangi daftar negatif investasinya dari 40 poin menjadi 33 poin.
Hal ini bertujuan untuk kembali menarik investasi. Pemulihan ekonomi yang cepat juga menambah kepercayaan investor, meski mereka juga melirik negara lain untuk menjadi tujuan investasi agar tak semua terpusat di China.
Lihat juga:Hemat Saat Resesi, Pangkal Depresi Ekonomi |
Sementara negara-negara dengan aliran modal besar, seperti di kawasan Eropa dan Amerika tidak mampu menyulap investasi yang mereka miliki. Ekonomi yang tertekan pandemi pun tak bisa segera disulap menjadi positif.
Satu per satu pun jatuh ke jurang resesi. Mulai dari AS, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Kanada, dan negara-negara ekonomi besar lainnya di dunia. Pertumbuhan negara-negara ini bergantung pada investasi, pasar keuangan, dan industri.
Begitu juga dengan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini bergantung pada konsumsi masyarakat sontak 'sakit' ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan.
Seperti halnya China, ekonomi Indonesia langsung berbalik 360 derajat, dari positif 5 persen menjadi negatif 5,32 persen pada kuartal II 2020. Masalahnya, menurut Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet, penanganan pandemi covid-19 di Indonesia belum semaksimal negara lain.
Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah kasus positif baru per hari. Rekor tertinggi bahkan menembus 8.369 kasus per hari pada Kamis (3/12) lalu.
Meski ekonomi membaik pada kuartal III, namun kontraksi masih dirasakan. Tercatat ekonomi minus 3,49 persen pada periode Juli-September 2020.
"Kalau kasus meningkat dan membuat kebijakan harus PSBB lagi, bisa menurunkan ekonomi ke level kontraktif. Artinya, ekonomi pun tidak akan lebih tinggi sebelum kasus bisa dikendalikan," kata Yusuf.
Belajar dari China, perlu kedisiplinan dalam penanganan pandemi di Indonesia. Pemerintah juga perlu serius mengadakan dan mendistribusikan vaksin covid-19, meskipun belum ada bukti klaim keampuhannya.
![]() |
Selain itu, pemerintah juga perlu menggenjot lagi penyaluran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) agar segera sampai dan tepat sasaran ke masyarakat.
Tercatat, realisasi penggunaan dana PEN baru mencapai Rp431,54 triliun atau 62,1 persen dari pagu Rp695,2 triliun per 25 November 2020. Padahal, targetnya, dana itu habis terpakai di penghujung tahun ini.
"Dalam waktu tinggal sebulan lagi, pemerintah harus memaksimalkan dana ini agar bisa mengangkat ekonomi pada kuartal IV, sehingga ekonomi bisa lebih baik lagi pada tahun depan," tuturnya.
Sementara, menurut perkiraan Yusuf, ekonomi Indonesia pada kuartal IV masih berada di teritori negatif, yaitu di kisaran 0,5 persen sampai 1,5 persen.