Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat daya beli buruh tani dan buruh kembali turun pada November 2020 usai melemah pada Oktober lalu. Penurunan daya beli terjadi karena tertekan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari alias inflasi.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan upah nominal buruh tani sebenarnya masih meningkat sekitar 0,15 persen pada bulan lalu, yaitu dari Rp55.766 menjadi Rp55.848 per hari.
Namun, terjadi inflasi pedesaan sekitar 0,51 persen pada bulan lalu, sehingga daya beli buruh tani yang ditunjukkan oleh upah riil terkontraksi. Tercatat, upah riil buruh tani turun dari Rp52.755 menjadi Rp52.566 per hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi karena November ini terjadi kenaikan indeks konsumsi rumah tangga sebesar 0,51 persen, sehingga upah riil turun 0,36 persen," ujar Suhariyanto saat konferensi pers virtual, Selasa (15/12).
Begitu juga dengan tingkat daya beli buruh bangunan yang minus 0,24 persen dari Rp86.514 menjadi Rp86.311 per hari. Hal ini terjadi karena ada kenaikan harga kebutuhan sehari-hari di perkotaan sekitar 0,28 persen.
"Fenomena yang sama terjadi di upah buruh bangunan, dengan inflasi 0,28 persen, maka upah riil buruh bangunan turun 0,24 persen," jelasnya.
Padahal, upah nominal buruh bangunan masih naik 0,04 persen dari Rp90.771 menjadi Rp90.807 per hari. Tak hanya buruh tani dan bangunan, daya beli buruh potong rambut perempuan juga turun 0,02 persen dari Rp27.312 menjadi Rp27.308 per kepala.
Penurunan daya beli buruh potong rambut relatif kecil karena upah nominal yang mereka terima tumbuh 0,26 persen dari Rp28.656 menjadi Rp28.730 per kepala pada bulan lalu. Sedangkan daya beli asisten rumah tangga rontok 0,28 persen dari Rp400.216 menjadi Rp399.133 per bulan.
Hal ini terjadi karena pengeluaran tertekan inflasi, sementara pemasukan stagnan di kisaran Rp419.906 per bulan.