Sekretaris Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Bali Putu Winastra menyayangkan keputusan pemerintah mewajibkan syarat tes rapid antigen H-2 kepada calon wisatawan ke Bali.
Hal ini disayangkan karena pengumuman dilakukan secara mendadak. Dia menilai 'mepetnya' pemberitahuan ini menimbulkan kebingungan dan kekecewaan bagi calon wisatawan yang sudah jauh-jauh hari merencanakan kunjungan.
Imbasnya, ia menyebut banyak calon wisatawan dari luar Pulau Bali yang membatalkan perjalanan, terutama untuk mereka yang merencanakan wisata akhir tahun bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, test rapid antigen cukup mahal, yakni dibanderol di kisaran Rp500 ribu-Rp700 ribu per orang. Bayangkan jika harus ditanggung oleh keluarga beranggotakan 6 orang atau lebih, mau tak mau liburan pun harus dibatalkan.
Meskipun telah mendapat laporan soal pembatalan dari pelaku usaha wisata Bali, namun ia belum dapat mengestimasi potensi pendapatan yang hilang.
"Yang perlu saya sampaikan, sangat disayangkan pemerintah memberlakukan aturan ini secara mendadak, last minute sekali. Ini memberikan dampak kebingungan dan kekecewaan terhadap calon wisatawan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/12).
Namun, ia menyebut di luar itu, ada pertimbangan lebih besar yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu mengendalikan penyebaran covid-19 agar pada tahun depan Bali sudah bisa dibuka untuk wisatawan luar.
Ia bilang kebanyakan wisatawan lokal yang datang ke Bali adalah masyarakat Pulau Jawa yang berasal dari zona merah. Khawatirnya, jika tidak dibatasi, Bali akan kena imbasnya dan ikut menjadi zona merah.
"Sepertinya menurut kami Bali akan segera dibuka untuk wisatawan internasional, karenanya Bali perlu dijaga kondusifitasnya agar tidak terjadi klaster baru setelah musim liburan," jelasnya.
Winastra berharap pemerintah pusat dapat memberikan solusi atau jalan keluar yang tidak memberatkan calon wisatawan ke Bali dan tidak mencekik leher pelaku wisata yang memang menunggu momen Nataru.
Jeritan Pelaku Usaha
Wayan (36) pemilik The Umah Bamboo di Canggu, Bali mengaku dirugikan oleh peraturan tersebut. Pasalnya, baru diumumkan beberapa hari saja, ia sudah meraup pembatalan pesanan sebanyak 20 persen dari tingkat keterisian homestay-nya (okupansi).
Apes memang, karena kebanyakan pemesanan sudah dilakukan jauh-jauh hari. Sebelum ketentuan dikeluarkan, Wayan mengaku sudah meraup pemesanan sampai 98 persen.
Ia khawatir pembatalan akan kian marak. Pasalnya, rata-rata pelacong yang datang merupakan pelancong lokal yang memiliki daya beli terbatas di tengah pandemi.
Apalagi, untuk mereka yang datang sekeluarga atau dalam kelompok besar, besarnya biaya test antigen pun memicu keputusan membatalkan rencana bersantai di Bali pada momen libur akhir tahun.
"Saya sebagai pelaku wisata walau pemula saja terasa sekali, apalagi mereka yang hotel besar. Ibarat kata kami sudah puasa panjang, mau buka puasa sekarang batal buka," katanya menyesali.
Baru membuka penginapannya selama 1,5 tahun, Wayan sudah merasa mendapat 'pukulan' telak. Sejak covid-19 melanda dari April-Juni ia bilang tak ada sama sekali tamu yang datang.
Baru setelahnya ada beberapa tamu lokal yang berani berkunjung, itu pun dengan diberikan harga super murah.
Sejak dua bulan terakhir, okupansi sudah mulai mencapai 50 persen, namun karena kebijakan wajib antigen, ia cemas okupansi akan merosot lagi.
"Selaku pelaku pariwisata di bidang akomodasi, terkait hal seperti ini harapannya bisa konsultasi ke pemilik hotel agar dikaji dulu mumpung belum telat. Masih pertengahan bulan mungkin bisa dipermudah, harapan saya biar pelaku wisata bisa semakin membaik," ujar Wayan.
Agus Badung (28) pemilik Bonewood Guesthouse mengaku baru mendengar pengumuman tersebut. Hal pertama yang terlintas di benaknya ialah kebingungan.
Pasalnya, ia baru membaca di media massa kalau Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) mengatakan Bali siap membuka diri untuk wisatawan mancanegara.
Dari pandangannya, Bali memang sudah siap menerima tamu karena protokol kesehatan dilaksanakan dengan ketat. Namun, tak lama berselang pemerintah malah membatasi pelancong lokal untuk mendatangi Bali.
"Kemarin kan ada Bali Democracy Conference di Nusa Dia dan PBB sudah bilang kalau protokol kesehatan Bali sudah siap menerima tamu internasional, tapi kok kesannya ditunda terus?" sebutnya heran.
Selain itu, pemberitahuan dilakukan secara mendadak, tentu ia menilai banyak yang dirugikan oleh hal ini. Meski belum mengecek total pembatalan, namun ia membayangkan akan banyak pembatalan yang terjadi.
Karena, banyak wisatawan lokal yang memiliki daya beli terbatas. Padahal, penginapan di Bali saat ini saja sudah banting harga hingga 60 persen. Apalagi, kalau masih dibebankan biaya test rapid antigen.
"Saya pribadi bertanya kenapa harus sekarang dikeluarkan peraturannya? Kan menyusahkan lah yang kami jalan usahanya susah, jauh lah omzet kami jatuh 80 persen loh," imbuh dia.
Seperti diketahui, pemerintah mewajibkan wisatawan yang akan naik pesawat ke Bali melakukan tes PCR H-2 sebelum penerbangan serta mewajibkan tes rapid antigen H-2 sebelum perjalanan darat masuk ke Bali. Kebijakan ini berlaku mulai 18 Agustus hingga 4 Januari 2020.
"Kami minta untuk wisatawan yang akan naik pesawat ke Bali wajib melakukan tes PCR H-2 sebelum penerbangan ke Bali serta mewajibkan tes rapid antigen H-2 sebelum perjalanan darat masuk ke Bali," ujar Luhut dalam keterangan resmi, Senin (14/12).
Ketentuan itu diputuskan dalam Rapat Koordinasi Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim dan Bali secara virtual. Selanjutnya, dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 2021 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat Selama Libur Hari Raya Natal dan Menyambut Tahun 2021 dalam Tatanan Kehidupan Era Baru di Provinsi Bali.
(wel/bir)